2

12.2K 759 17
                                    


"Van, ku dengar Jeano akan ikut perlombaan," ucap Fernan.

"Memang, aku bahkan sudah menyiapkan poster besar dan juga menyiapkan hal-hal yang lainnya," sahut Evano, ia masih fokus dengan game diponselnya.

Jeano, laki-laki yang lebih tua satu tahun darinya. Jeano kakak kelasnya, yang memiliki aura menarik bagi Evano. Semua orang yang mengenalnya tahu apa hubungan mereka. Evano sangat ber-effort terhadap Jeano, apapun yang berhubungan dengan Jeano ia sangat mendukung dan siap mengeluarkan banyak uang.

Tahun lalu Evano yang dengan terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya terhadap Jeano, namun kakak kelasnya itu dengan mentah-mentah menolaknya. Evano si manja dan tak terbantahkan dengan rayuan maut dan segala akalnya meminta sang Daddy untuk membuat Jeano berlutut padanya. Benar, Marvin benar-benar mengabulkannya, ia dengan uang bagai membeli Jeano dari orang tuanya. Marvin menjamin toko milik ibu Jeano dengan syarat Jeano harus bertunangan dengan Evano.

Siapa yang tak suka saat tokomu akan diberi modal besar? Bahkan sekarang ibu Jeano sudah memiliki cabang dimana-mana, dan itu karena Marvin dan ia harus dengan rela menerima syarat Marvin. Baginya Evano tak terlalu buruk, ia menyukai pemuda manis baik itu.

"Evan!" Daniel teman dekat Jeano datang ke kelas Evano dengan tergesa.

"Ada apa?" tanya Evano, ia sungguh kesal saat jam istirahat diganggu seperti ini.

"Maaf, tapi ini soal Jeano. Jeano masuk UKS dia babak belur," adu Daniel, membuat Evano terjengit. Jeanonya terluka? Tanpa bertanya siapa dan kenapa, Evano langsung berlari menuju ruang kesehatan.

Tak ada yang bisa melukai Jeanonya, ia akan membuat siapapun yang melukai Jeano menyesal.

"Jean ... " Evano menghampiri Jeano yang tengah diobati anak kesehatan, ia meringis melihat luka diwajah tampan sang pujaan hati.

"Ini kenapa?" Evano mengusap pipi Jeano.

"Bukan apa-apa," sahut Jeano cuek, jujur saja ia sangat tak menyukai Evano si cerewet ini. Baginya Evano itu merenggut kebebasan hidupnya, ia bak kuda yang diikat tali tak bisa berlari dengan kencang.

"Jean, ayo ke rumah sakit," ucap Evano, dengan jelas Jeano melihat ke khawatiran diwajah Evano.

"Kau berlebihan, lebam sedikit tak akan membuatku mati." Jeano mendengus, ia muak dengan sikap berlebihan Evano.

Evano merengut, berlebihan? Ia merasa sangat khawatir dengan kondisi Jeano, bagaimana jika kekasihnya ini infeksi atau menjadi sakit karena lebam-lebam itu.

"Yasudah jika kamu tak mau, aku akan meminta surat izin ke guru piket agar kamu bisa istirahat dirumah," ucap Evano. Jeano tak peduli ia membiarkan Evano pergi, dan pulang mungkin akan lebih baik. Ia sama sekali tak berniat bertengkar tapi sungguh Hilyas sangat memancing emosinya.

Setelah ia diobati oleh anak kesehatan, ia segera bergegas pergi, namun langkahnya terhenti karena Evano sudah menghadangnya didepan pintu.

"Ayo kita pulang, biar aku yang membawa mobil." Evano tersenyum manis, dipunggungnya sudah ada dua tas satu miliknya dan satunya milik Jeano.

"Aku akan pulang naik motor," ucap Jeano.

"Tidak, aku sudah menghubungi bibi jika kau akan pulang denganku, dan memintanya untuk menyiapkan ranjangmu agar dibersihkan agar kamu bisa beristirahat dengan nyaman, kamarmu kan selalu berantakan," jelas Evano. Jeano menghela napasnya, kelemahannya adalah sang ibu yang dengan tulus selalu percaya dan berbaik hati pada Evano.

Sudah begini ia tak bisa menolaknya bukan? Dengan terpaksa ia pulang bersama Evano. Evano terlihat senang, ia bahkan tak merasa keberatan membawakan tasnya.

Selama perjalanan Evano sudah bukan hal yang aneh lagi jika pemuda itu banyak bicara, ia tak membiarkan Jeano  untuk tenang dengan celotehannya. Mulai dari bercerita tentang suasana kelas, pelajaran, guru, dan hal lainnya.

Siapapun yang tak mengenal Evano mereka akan merasa aneh jika ada laki-laki yang banyak bicara macam orang ini.

"Bisakah kau diam?" Jeano mengusap wajahnya kasar, ia sudah muak dengan semua celotehan tak bermanfaat dari mulut Evano.

"Tidak, memangnya kenapa jika aku tak diam?" Evano masih fokus membawa mobilnya.

"Kau berisik," ucap Jeano, ia memang selalu blak-blakan.

"Inikan mulutku, kenapa kau mengatur," cetus Evano tak mau kalah. Yang satunya blak-blakan yang satunya seakan tak sakit hati dengan mulut pedas sang pasangan.

Berdebat dengan Evano hanya akan membuang waktu, dan pada akhirnya ia yang kalah. Jeano memilih untuk diam membiarkan submisifnya itu bicara sepuasnya, bahkan sampai mulutnya berbudah sekalian ia tak peduli.

Tak butuh waktu lama, Evano memarkikan mobilnya di halaman rumah besar ber-cat putih kediaman Jeano. Evano membuka kan pintu untuk Jeano, ia sangat lembut jika Jeano sedang sakit seperti sekarang, bahkan Evano menggandeng tangan Jeano seakan jika tak ia pegang tubuh tegap Jeano akan runtuh terjatuh ke tanah.

Evano membuka pintu. "Bibi aku datang bersama Jeano!" teriaknya, macam dihutan.

"Ya Tuhan Jean, apa ini? Kamu kenapa, kamu berkelahi dengan siapa?" Gress menatap khawatir melihat luka-luka diwajah Jeano.

"Tak apa Ma, jangan berlebihan sepertinya." Matanya menatap Evano, ia menyingkirkan tangan Evano yang menggandengnya.

"Itu bukan berlebihan, tapi kami khawatir. Jean, lagipula kenapa kamu bisa seperti ini?" Gress tak mau menyerah ia ingin tahu siapa pelaku dari luka-luka putranya ini.

"Hilyas, biasalah Ma. Kita hanya berselisih sesuatu," ucap Jeano, membuat Evano kesal langsung saat mendengarnya.

"Jean masalah apa lagi sama dia? Apa karena Ola lagi?" ucap Evano, wajahnya sudah masam saat menyebutkan nama Ola.

Jeano tak menjawab, ia tak mau mendengar deretan kata menyebalkan Evano lagi.

"Kau tak perlu tahu, aku akan ke kamar." Jeano dengan cuek melangkah menaiki tangga, pergi ke kamarnya.

Evano merengut. "Bibi apa Jean tak bisa melupakan Ola?" tanyanya.

Gress menghela napas, Ola gadis cantik dan lembut mantan kekasih putranya memang menantu idaman. Ia pikir Jeano dan Ola kelak akan menikah dan ia akan memiliki menantu cantik, tapi takdir berkata lain. Hubungan Ola dan Jeano harus kandas karena kesepakatan dirinya dan Marvin.

"Evan, mungkin Jean masih sulit untuk melupakan Ola. Bibi yakin nanti setelah lulus sekolah dan kalian menikah lalu kuliah bersama, Jean akan dengan mudah menerima kamu," tutur Gress, terkutuklah dirinya yang dengan kejam mengorbankan putranya demi uang dan harus terikat dengan submisif seperti Evano. Tidak, bukan berarti ia tak menyukai Evano. Hanya saja terkadang ia berpikir Jeano terlalu memaksakan diri hanya demi dirinya.

"Bibi ini tas milik Jean, sebenarnya aku masih ingin di sini menemani dia. Hanya saja kurasa Jean akan marah, aku titip ini saja." Evano memberikan tas Jeano. Ia pamit pulang, ia selalu merasa menyedihkan jika sudah diabaikan karena Ola.


Rain [sekuel Astrophile]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang