8

7.3K 706 66
                                    

Ruangan bernuansa putih itu menjadi ciri khas yang sudah pasaran bagi rumah sakit, Evano pemuda manis putra kesayangan Marvin tengah terbaring lemah diatas ranjang dengan selang infus yang tertancap sempurna dipunggung tangannya.

Orang-orang terdekat silih berganti menjenguk keadaannya, berbeda dengan Jeano yang sudah sadar paska kecelakaan, sudah seminggu ini Evano masih memejamkan matanya.

"Kau lihat pria itu? Dia kakakku, asal kau tahu, dia kakakku dan dia yang telah menyelamatkan hidupmu." Darel membantu mendorong kursi roda Jeano, karena pria itu masih belum kuat untuk berjalan. Keduanya menatap Evano yang masih saja belum sadar.

Jeano menunduk, ia ingat bagaimana dia membawa mobil dengan kecepatan tinggi dan bagaimana Evano berteriak ketakutan.

"Apa kau pikir aku rela melihatnya seperti itu? Kau boleh saja mengatakan aku selalu bersikap acuh padanya, tapi tetap saja dia kakakku, kau telah menyakitinya bajingan," tutur Darel penuh penekanan, boleh saja semua orang mengatakan ia dingin dan selalu cuek pada Evano, tapi jauh dalam lubuk hatinya ia sangat menyayangi kakaknya itu, tak rela saat kabar kecelakaan itu sampai pada telinganya, hatinya memanas bahkan rasanya Darel ingin membunuh Jeano saat Jeano sudah sadar sedangkan Evano belum juga kunjung sadar.

Jeano hanya diam membisu seakan pita suaranya putus, ia melihat Evano tanpa ekspresi. Semua orang menyalahkannya, tapi apa semuanya tak berpikir jika ini semua salah Evano juga? Jika Evano tak bertingkah seperti bocah, ia tak akan lepas kendali.

"Sampai kau membuatnya sekarat, akan kupastikan gadis sok cantik itu merasakan hal sama seperti Evano, simpan baik-baik ucapanku." Darel menekan bahu Jeano.

"Sampai kau berani menyentuhnya, aku tak akan diam saja," balas Jeano setelah diam sedari tadi, membuat Darel terkekeh sinis.

"Punya apa kau bajingan? Evano memiliki kami, jangan berlaga seakan dunia dibawah kakimu di saat uang dari paman Marvin ditarik dari toko ibumu saja bisa membuatmu jatuh miskin, katakan jika aku sombong, aku sombong karena aku memilikinya dan kau? Pantaskah kau mengancamku dengan keadaan seperti ini? Dengan keadaan dimana kau bergantung pada kakakku? Bersyukurlah, sibodoh Evano itu mencintaimu jika tidak kau tak lebih dari gembel jalanan," tutur Darel, ia melangkah pergi tanpa peduli dengan Jeano, akan bahaya jika ia tak pergi mungkin saja leher Jeano sudah patah karena ulahnya.

Saat keluar ia mendapati Marvin yang sudah kembali, lihat betapa khawatirnya Marvin kantung mata yang menghitam bukan tanda kurang tidur melainkan tanda betapa terluka dirinya saat Evano terluka. Makan saja Darel yang menyuruhnya tadi, Marvin terlalu memikirkan Evano dibanding dirinya sendiri.

"Kau sudah selesai paman? Aku pamit mencari udara segar dulu, di dalam ada bajingan itu," ucap Darel, yang diangguki Marvin.

Dengan langkah gontai Marvin masuk ke ruangan sang anak, menatap sedih pada Evano yang berwajah pucat. Ia menggulir matanya, rasanya jika menyalahkan Jeano juga itu bukan hal yang benar karena keduanya juga terluka bedanya putranya terluka lebih parah. Marvin hanya diam, seakan tak menganggap keberadaan Jeano, ia terlalu marah pada dirinya sendiri yang membiarkan Evano harus pergi hari itu. Helaan napas lelah keluar dari Marvin.

"Kau tak mencintai putraku 'kan?" celetuk Marvin tiba-tiba, Jeano langsung mendongak.

"Aku tahu sulit menerima orang baru dalam hidupmu, walau kalian sudah bertunangan dan jalan satu tahun itu pasti sulit. kau tahu? Aku pernah berada diposisimu, menolak siapapun demi orang yang kucintai, bahkan aku menolak keras kehadiran Papa Evano, sampai pada akhirnya aku hidup sendiri. Aku tak menyalahkanmu, aku hanya berbagi kisahku ini. Kau boleh tak mencintainya, tapi bisakah kau pikirkan perasaan aku sebagai Daddynya? Submisif yang kau lukai adalah putra kesayangan ayahnya, seburuk apapun dia, dia sosok terbaik dalam hidup ayahnya. Kumohon setidaknya jika kau tak bisa menerimanya berbuatlah baik padanya, anggap dia teman itu tak terlalu buruk." Marvin berucap panjang.

"Evano kesepian karena kesalahanku dimasa lalu, seharusnya ia tak menerima karma atas perbuatanku pada Papanya, ini bukan salahmu tapi aku yang bersalah. Kesalahanku dimasa lalu berimbas pada putraku dan jangan sampai putramu merasakan apa yang Evano rasakan, karma itu kejam ia bisa saja menyakiti orang yang tak bersalah,"  lanjut Marvin, keduanya tangan menggenggam tangan Evano. Ia tahu, Evano tengah terkena karma dirinya. Seharusnya saat melukai Samuel ia sadar dan ia ingat jika karma tak selamanya terjadi pada dirinya sendiri.

Jeano diam mendengar setiap tutur kata Marvin, ada luka yang terselip disetiap perkataannya. Tapi entah kenapa ia merasa Marvin hanya mengarang agar Evano mendapat kebahagiaan, menurutnya Marvin ayah egois yang menghalalkan segala cara hanya untuk membahagiakan anaknya. Pada akhirnya orang lemah sepertinya akan tunduk pada orang yang berkuasa macam Marvin, Jeano merasa Tuhan tak adil padanya, bagaimana bisa ia hidup dibawah kaki orang lain.

Marvin kembali diam, rasanya hanya sia-sia ia mengoceh. Anak muda macam Jeano tak akan mengerti, dan menganggapnya ingin diberi belas kasihan, menjijikan.

Lama terdiam suara pintu terbuka mengalihkan atensi keduanya, wajah manis yang nyaris sama macam Evano versi lain datang dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya.

"Ah, hallo. Apa aku mengganggu?" Samuel melebarkan senyumannya.

"Tidak," sahut Marvin dan Jeano bersama.

Samuel menghampiri Evano, ia sudah berjaga kemarin malam sampai pagi dan kembali ke rumah siang, dan sore ini Samuel sudah kembali untuk menjaga putranya ini.

"Jeano ya? Sudah lama tak bertemu, bagaimana keadaanmu apa masih sakit, kudengar dari ibumu kau sudah lumayan baik," ucap Samuel ramah.

"Iy-iya," ucap Jeano. Samuel terkekeh, ia tak sempat melihat Jeano kemarin karena sibuk mengurus Evano, ia terlalu khawatir.

"Semoga saja Evano segera bangun eum, pasti kau ingin berbicara dengan Evan 'kan?" Samuel mengusap kepala Evano.

Jeano diam tak menyahut, hanya anggukan kecil yang ia lakukan. Samuel yang melihat itu hanya tersenyum tipis, pasti Jeano tak mau disalahkan walaupun nyatanya dirinya yang membawa mobil tak hati-hati, namanya juga kecelakaan Samuel tak bisa menyalahkan siapapun, keduanya sama-sama terluka.

"Apa gadis kemarin sudah pulang?" tanya Samuel, ia tahu gadis berambut sebahu yang menjadi saingan putranya, Ola.

"Ah ya, tadi Ola baru pulang." Jeano menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mengapa Samuel sesantai ini? Seakan Jeano bukan tokoh jahat dalam hidup anaknya.

"Ouh nama yang bagus Ola dia juga cantik, pantas saja calon menantuku ini sangat menyukainya, pasti dia gadis yang baik," tutur Samuel mengandung sindiran halus. "Tak apa, aku memaklumi anak muda. Mereka memang masih labil, hari ini kau boleh saja menyukainya mungkin esok kau akan menyukai Evanoku," lanjutnya.

Rain [sekuel Astrophile]Where stories live. Discover now