29

6.6K 570 55
                                    

Ada typo tandain, mohon bantuannya😚

________


Evano menggenggam ponselnya gelisah, ia bimbang. Matanya masih menatap fokus pada siaran televisi yang tengah ia tonton, ia ingin kari ayam itu. Menyesal rasanya menonton acara masak-masak, ia menjadi ingin.

Evano ingin menghubungi Jeano, agar pulang dengan kari ayam. Tapi ia takut, takut jika Jeano menolak. Lebih baik menghindari sakit hati bukan? Evano tak mau sampai mendapat penolakan yang akan membuatnya sakit hati. Tapi ia ingin dan juga akan menyenangkan jika Jeano yang membawanya.

"Apa kucoba saja?" monolognya.

Evano mulai menghubungi sang suami tapi panggilannya tak di angkat, bahkan panggilan ke tiga ditolak membuatnya berkecil hati. Ada apa dengannya? Kenapa bayinya ini sangat rewel, ia sungguh ingin itu, pasti rasanya enak. Evano mengirim beberapa pesan berharap Jeano akan membacanya.

Di tempat lain pria yang tengah dihubungi Evano tengah menatap layar ponselnya datar, saat ini ia tengah menghabiskan waktu bersama Ola karena perempuan itu tengah dalam masa mengidam yang merepotkan. Jeano dengan tulus menemani dan membantu Ola dalam masa sulitnya ini. Ia brengsek, ia tahu karena telah mengabaikan Evano tapi ia tak bisa meninggalkan Ola sendirian.

"Matikan saja ponselmu, kenapa berisik sekali. Lagi pula siapa yang terus menelponmu?" Ola mendengus, ia merapatkan tubuhnya memeluk Jeano.

"Tidak, bukan siapa-siapa." Jeano mematikan ponselnya. Ia tak mau sampai Ola marah dan perutnya kembali kram.

Jeano mengabaikan submisif manis yang saat ini tengah uring-uringan sendiri menghadapi masa ngidamnya. Selama kehamilannya, baru kali ini Evano meminta pada dominannya terakhir kali ia meminta pada Marvin dan itu membuatnya kehilangan Marvin. Ia berpikir mungkin lebih baik Jeano mengabaikannya dibanding harus berakhir seperti Marvin.

Helaan napas pasrah sarat akan kekecewaan, rumah besar ini selalu sepi. Tak pernah sekalipun Evano duduk berdua saling bertukar cerita dengan Jeano, rasanya jika di ingat-ingat selama ini hanya dirinya yang memperjuangkan pernikahan ini.

"Cepat lahir eum, agar aku tak kesepian." Evano mengelus perutnya, ia membayangkan jika anaknya sudah lahir pasti rumah ini tak begitu sepi dan mungkin Jeano akan berhenti mengabaikannya.

Evano menikmati kesepian ini seorang diri sampai menit demi menit berganti jam, ini sudah hampir larut. Ia beranjak dari duduknya, menatap sekilas pada pintu yang masih tertutup rapat tak ada tanda-tanda kepulangan Jeano. Evano memilih mengistirahatkan tubuhnya di kamar.

Ini sudah pukul sebelas malam dan Jeano baru saja pulang. Saat masuk ke kamar, ia mendapati Evano tengah menatapnya tajam. Submisif itu bahkan melemparkan vas bunga yang ada di atas nakas.

"Apa-apaan kau ini?!" Jeano menghindar dari lemparan itu, tak bisa dibayangkan jika vas itu sampai mengenai kepalanya.

"Kau yang apa-apaan!" Evano balas berteriak. "Jam berapa ini Jean? Apa tugas kampusmu sangat banyak?" lanjutnya.

"Ya, memang banyak," ucap Jeano.

"Banyak?" Evano terkekeh. "Banyak atau kau main-main di luar sana!" ucap Evano menggebu, ia sudah kesal dan sangat kecewa.

"Kau tak akan mengerti karena kau tak kuliah," sahut Jeano tajam.

"Ya, aku tahu. Aku tak kuliah bahkan aku tak tamat sekolah, tapi bukan berarti aku bodoh dalam hal ini. Ini hampir larut Jean dan kau baru pulang, dari tadi aku terus menghubungimu tapi kau menolak panggilanku, apa sesibuk itu walau hanya mengangkat panggilanku?" Napas Evano terengah, tangannya terkepal akan rasa kecewa dan amarah yang menggebu.

"Kau cerewet, syukur aku pulang." Jeano mendengus.

Evano melangkah lebih maju menghampiri Jeano.

"Apa tak ada secuilpun rasa pedulimu padaku?" Evano mencengkram kemeja Jeano dengan tangan bergetar. "Aku selalu menunggumu Jean," lanjutnya dibarengi dengan isakan. Jeano membuang pandangannya.

"Aku sendirian, aku selalu merasa kesepian dihari libur ini," ucap Evano serak, cekalannya pada kerah Jeano terlepas. "Katakan apa saja yang kau lakukan di luar sana sampai kau mengabaikanku? Apa kau masih tak percaya di dalam sini bukan anakmu?" Evano menunjuk perutnya yang menonjol, ia mendudukan dirinya di tepi ranjang.

"Setiap hari kau mengabaikanku, menganggapku tidak ada di rumah ini, setiap pagi kau meninggalkanku lebih dulu di saat aku akan pergi ke kantor, aku lelah Jean. Aku berusaha menjadi yang terbaik, menyisihkan waktuku yang semakin sibuk hanya untuk menunggumu tapi yang kutunggu selalu datang terlambat dan terkadang tak pernah datang," tutur Evano, ia menunduk menatap lantai tak kuasa menatap Jeano yang hanya diam membisu.

"Maaf." Hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulut Jeano, hanya kata itu yang menjadi balasan dari banyaknya rentetan kata penuh luka Evano.

Evano terkekeh. "Sudahlah, ini sudah malam. Aku ingin tidur," ucapnya.

Evano membaringkan tubuhnya, menggulung dirinya dengan selimut. Sakit, kecewa, marah semuanya tercampur sampai rasanya Evano tak tahu harus menjelaskannya dengan cara apa.

Sedangkan Jeano memilih meninggalkan Evano, ia kembali pergi meninggalkan rumah penuh kesepian itu membiarkan Evano terisak di balik selimutnya. Evano sampai terlelap dengan tangis yang masih membasahi pipinya.

"Kau melukainya lagi Jean," monolog Jeano saat melajukan motornya membelah kegelapan malam.

Ia pergi bukan untuk meninggalkan Evano, ia membaca pesan Evano yang memintanya pulang membawa kari ayam. Evano pasti menunggunya, ia dengan jelas melihat tatapan yang binarnya sudah hilang itu semakin gelap sirat akan menyimpan banyaknya luka. Sesak saat melihat Evano menangis seperti itu, sepanjang perjalanan ia terus merutuki dirinya yang sudah keterlaluan.







Rain [sekuel Astrophile]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang