30

7.7K 605 51
                                    

Siders? Wahh parah kata gue teh. Please ada typo tandain.

_____

Jeano mengelus pipi Evano yang semakin berisi, jejak air mata masih tersisa. Jeano yakini jika Evano terlelap karena menangis.

"Evan," ucap Jeano sebenarnya ia tak tega membangunkannya tapi ia tak mau sampai Evano semakin kecewa.

"Eunghh ... " Evano melenguh saat di rasa tidurnya terganggu, kedua mata sembapnya terbuka menatap Jeano yang tengah duduk menatapnya.

"Maaf Evan," ucap Jeano. Ia meraih tangan Evano mengusap tangan yang sudah terasa kasar karena sudah bekerja selama beberapa bulan ini.

Evano mendudukan dirinya. "Ada apa?" tanyanya.

Jeano tak menyahut ia memilih memeluk Evano. Entahlah, ia tak sanggup jika harus melihat Evano menangis lagi. Rasanya aneh, ia tak mau sampai mendengar suara lirih Evano lagi.

"Maaf." Lagi gumaman itu keluar dari mulutnya.

"Aku tak apa. Mungkin itu karena bawaan hamil." Evano melepas pelukannya, ia menggenggam tangan Jeano. Bodoh, terlalu baik itulah yang pantas untuk Evano untuk saat ini.

"Jean ... aku tahu aku tak kuliah, aku tak merasakan apa yang kau rasakan. Tapi kau juga tak merasakan apa yang aku rasakan, jadi Jean mari saling melengkapi dan memahami," tutur Evano.

Jeano menunduk, betapa bajingan dirinya sudah mengabaikan Evano begitu lama sedangkan Evano masih menyikapi dengan sikap baik walau terkadang Evano selalu cerewet dan menyebalkan.

"Eum yah, aku membawa kari ayam pesananmu. Maaf aku terlambat," ucap Jeano, sontak membuat Evano berseri seakan telah mendapatkan undian.

"Kau mau makan sekarang? Akan kusiapkan," ucap Jeano yang diangguki Evano.

Jeano bak melayani Evano dengan baik, ia menyuruh sang submisif untuk duduk di sofa agar nyaman.

"Makanlah." Jeano menyodorkan semangkuk kari ayam.

"Terima kasih." Evano menerimanya dengan senang hati, rasanya perutnya sudah bergejolak menginginkan ini. Walau sejujurnya ia sudah tak mood untuk makan ditambah ini sudah malam tapi karena ini usaha Jeano ia tak mau menyia-nyiakannya.

"Pelan-pelan saja tak akan ada yang minta," ucap Jeano membuat Evano tersenyum kikuk.

Jeano menemani Evano makan ditengah menunggunya ia memainkan ponsel dan langsung mendapat spam chatt dari Ola, kepalanya terasa berdenyut saat membaca deretan pesan Ola. Jeano menggulir matanya menatap Evano yang masih makan dengan semangat.

Tidak. Kali ini Jeano tak mau kehilangan senyuman itu, Jeano memilih mematikan ponselnya sama halnya saat ia mengabaikan Evano tadi.

"Ada apa? Apa kau ada tugas lagi?" tanya Evano dengan pipi mengembung.

"Makanlah jangan pedulikan aku," ucap Jeano membuat Evano mendengus.

"Evan, maaf karena tak bisa membantumu. Kau pasti kesulitan bekerja di kantor, berhenti mengirim uang ke rekeningku. Aku akan bekerja mulai minggu depan, dan akan kukembalikan uangmu yang sebagian sudah kupakai," tutur Jeano.

Evano berdecak. "Bagus jika kau mau bekerja, jadi kau bisa menabung," ucapnya.

"Kau tahu selama aku bekerja dikantor aku seperti kuda dongo, untung saja ada paman Erwin yang selalu membantuku ditengah kesibukannya kuliah," ucap Evano. Ia tak akan melarang Jeano bekerja atau dengan baik hati akan terus memberikan uang pada Jeano, karena selain Jeano yang hanya menjadi bebannya itu juga akan melukai harga diri Jeano sebagai dominan.

"Benarkah, tapi jujur saja. Walaupun sekolahmu tak tamat kau hebat Evan, apalagi usiamu masih delapan belas," ucap Jeano.

"Eum, sejujurnya sebagai pemimpin itu hanyalah nama saja. Karena faktanya dibalik itu yang bekerja adalah paman, aku hanya menyimak dan diam. Seperti anak magang," tutur Evano, malu rasanya ia selalu membebani keluarganya.

"Itu wajar, lagipula tak ada orang yang mampu menjadi pemimpin perusahaan di usianya yang masih belasan, itu terlalu mustahil dan tak masuk akal. Tapi aku percaya seiring berjalannya waktu kau bisa berdiri sendiri," ucap Jeano memberikan senyuman manis.

Evano mengangguk, ini sebuah anugerah karena selama pernikahan baru kali ini ia saling bercerita dengan Jeano. Ya, tak seharusnya ia tak insecure dengan posisinya yang di dapat karena keturunan Marvin sampai bisa duduk dikursi pemimpin, seperti kata Jeano tak ada orang yang bisa memimpin perusahaan besar di usia belasan. Tapi suatu saat ia akan bisa berdiri sendiri setelah berusaha belajar.

"Bagaimana rasanya?" ucap Jeano ia terkekeh melihat mangkuk yang sudah kosong.

"Rasanya enakk ... terima kasih Jean, besok sepertinya aku akan terlambat karena kekenyangan." Evano mengusap bibirnya dengan tisu.

"Eum, aku akan membangunkanmu jika begitu," ucap Jeano.

Evano beranjak dari duduknya, ia mencium pipi Jeano lama.

"Sekali lagi terima kasih," ucapnya. Senyuman Evano mengembang membuat Jeano terdiam kaku, apa orang hamil akan semakin manis? Lihat pipi berisi Evano bersinar di bawah terangnya lampu.

"Manis," cetus Jeano tanpa sadar membuat pipi Evano memerah.

"Aku tahu aku manis tak perlu mengingatkannya," celetuk Evano ia mengedipkan matanya lalu berbaring kembali diranjang.

Jeano tersenyum kikuk, ia segera melesat pergi membawa mangkuk kotor ke dapur.

"Aw apa itu tadi, manis sekali." Evano menggulung dirinya dengan selimut. "Kau dengar, dia mengatakan aku manis," lanjutnya. ia mengelus perutnya seakan mengajak si kecil bicara.

Di akhir tangisnya ada senyum, jika tadi ia tidur karena menangis sekarang Evano akan tidur dengan senyuman. Ia senang dan berharap sikap Jeano akan seperti itu di setiap saat.

__________

Pagi ini terasa ringan dan cerah, Evano menyiapkan sarapan dengan riang.

"Selamat pagi Jean!" Evano menyambut Jeano yang sudah rapih.

"Pagi," sahut sang empu, ia duduk untuk sarapan.

"Hari ini aku masak seadanya, karena takut terlambat. Jean maaf ya aku tak bisa menemanimu makan, aku terburu-buru paman pasti sudah menunggu, aku akan terlambat," jelas Evano.

"Eum ... pergilah," ucap Jeano, "dan semangat Evan," lanjutnya.

Evano akan mencatat hari ini, sepertinya Jeano tengah dirasuki penghuni arwah gank sampai ia mengatakan itu. Evano mengangguk, ia mencium pipi Jeano sebelum pergi.

Sepeninggalan Evano, Jeano memakan sarapannya dengan tersenyum senang. Ah, baru kali ini ia merasa hidupnya tak ada beban. Ya untuk saat ini, ia merasa lega.





Rain [sekuel Astrophile]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora