19

6.6K 615 83
                                    

Siders shareloc ... !

_____

Pagi ini Evano datang bersama Marvin ke sekolah karena kepala sekolah kukuh menyuruh Marvin beserta Evano datang, sungguh jika hanya Marvin yang harus datang ia tak masalah, tapi ini Evano? Bahkan Evano berjalan saja masih harus dibantu tongkat kruk.

Marvin membantu Evano berjalan ke ruang kepala sekola, sepanjang perjalanan di koridor warga sekolah menatap Evano dengan berbagai macam tatapan, iba, jijik, benci, dan biasa saja, semuanya ada bahkan yang tengah belajar pun mengintip dari jendela kelas, yang Evano lakukan hanya menunduk.

Andai Marvin memiliki kuasa besar sungguh ia ingin mencokel setiap mata yang menatap anaknya sinis.

Saat sampai di ruang kepala sekolah, keduanya langsung masuk saat dipersilahkan.

"Selamat datang Pak," ucap kepala sekolah, yang tentu saja di balas senyuman oleh Marvin.

Marvin dan kepala sekolah terlibat perbincangan dan sesekali berdebat yang dilakukan Evano hanya diam, Marvin sudah berusaha menggunakan uangnya agar Evano tetap sekolah tapi tetap saja seperti kata Samuel, tak segalanya selesai dengan uang.

Lagi pula jika pun Evano tetap sekolah yang ada putranya ini akan mendapat perlakuan buruk dari teman-teman sekolahnya, alhasil Evano terpaksa dikeluarkan secara tidak hormat.

Bukan hanya Evano yang terpukul akan fakta itu, begitupun dengan Marvin sang ayah kini tak henti-henti menyalahkan dirinya setelah keluar dari ruang kepala sekolah, baru kali ini uangnya tak bisa membantu sang Putra.

"Maaf sayang," ucap Marvin lirih, ia memapah Evano.

Evano tersenyum tipis. "Aku akan memiliki baby jadi ini tak masalah," ucapnya.

Bohong, kebohongan Evano adalah mengatakan tak apa padahal hatinya meraung masih ingin sekolah, ia khawatir di masa depan anaknya akan kecewa jika dirinya tak lulus sekolah kejuruan.

Marvin membukakan pintu mobil untuk sang anak, hatinya sakit orang tua mana yang akan baik-baik saja saat anaknya yang notebene korban tapi tak ada yang mengerti. Keduanya masuk ke dalam mobil, dengan kekecewaan yang berat.

"Dad, it's okay. Aku baik-baik saja, di rumah tak buruk." Evano mengelus tangan Marvin yang masih menonjolkan urat-urat kekesalan.

"Sorry, kali ini Daddy tak bisa membantu Evan. Dulu Daddy suami yang gagal tapi kali ini Daddy ayah yang gagal juga," tutur Marvin serak, tenggerokannya terasa tercekat saat mengatakannya.

Evano menggeleng ribut, Marvin bukan ayah yang gagal, semuanya Marvin yang berjuang. Daddynya sudah melakukan yang terbaik.

"Dad, aku tak apa ayolah ... bukankah bayimu ini akan mempunyai bayi, lagipula sekolah membosankan di rumah lebih enak aku bisa bersantai," ucap Evano, ia berusaha membuat Marvin sedikit ringan.

"Evan ... Daddy benar-benar merasa bersalah, semua ini karena Daddy. Dari kecil kamu terpisah dengan Papamu dan sekarang nasib malang harus menimpamu, bagaimana ini? Maafkan Daddy Evan," Marvin menundukkan kepalanya, ia tak tahan, ia lelah.

Evano sudah tak bisa berkata-kata lagi, ini pertama kalinya Marvin mengungkapkan perasaannya, baru kali ini lagi Marvin menangis dihadapannya. Ia memeluk ayahnya itu, keduanya sama-sama menangis menyalurkan rasa sayang tanpa kata, hanya tangis lirih yang menyayat hati saling bersautan tepat di dalam mobil diparkiran sekolah.

Evano hancur saat melihat betapa rapuhnya Marvin, ia tahu ini semua buah dari perbuatan Marvin pada Samuel, tapi Evano bisa apa? Ia tak akan pernah dan tak akan bisa membenci Marvin, dari kecil hanya Marvin yang selalu ada selalu menemaninya sampai sekarang Daddynya banyak berjuang untuk dirinya, betapa tak bergunanya Evano selain hanya memberi beban untuk Marvin ia telah mengecewakan sang ayah.

"Jika aku besar aku ingin menjadi dokter," ucap Evano kecil.

"Tidak, Daddy tak suka Evan jadi dokter. Bagaimana jika jadi pengacara saja, itu sangat keren." Sang ayah mengelus surai lembut sang anak.

"Eum, Oma juga tak suka dengan dokter kenapa Dad? Bukankah jadi dokter itu hebat,"

Evano semakin terisak saat bayangan masa kecil terlintas diotaknya, bagaimana dengan semangat Evano menyatakan mimpinya, ia menangis histeris saat Marvin mengatakan tak suka ia menjadi dokter tapi saat ia sudah dewasa ia tahu mengapa ayahnya ini tak suka karena dokter profesi sosok yang telah membuat Marvin hancur. Tapi sekarang entah mimpi jadi pengacara maupun dokter ia sudah tak bisa.

"No .. no ... " Marvin mendongak menangkup pipi Evano agar menatap mata kelamnya, "putraku tak akan menangis lagi," lanjutnya.

"Dad, maaf. Aku telah mengecewakanmu," ucap Evano dibarengi derai air mata.

"Sstt ... sudahi tangis ini, aku tak mau melihat putraku yang manis ini menangis, berjanjilah kau tak akan menangis lagi jika si bajingan Jeano menyakitimu hajar saja eum, bukankah segalanya akan dibalas, hukum tabur tuai itu nyata, ia akan menyesal karena pernah melukai Evanoku," tutur Marvin.

Evano berusaha tersenyum kembali. Marvin segera melajukan mobilnya, tak baik jika ia tak segera melajukannya, yang ada Evano akan terus mengatakan hal-hal yang selalu ia hindari, ia tak bisa melihat Evano menangis.

Dari kejauhan seseorang menatap kepergian mobil hitam itu tanpa ekspresi, dari tadi ia menunggu kepergian kedua orang itu entah kenapa Marvin dan Evano tak langsung pergi ia tak tahu.

"Jean kau sedang apa?" Ola menghampiri Jeano yang masih menatap parkiran yang sudah tak ada lagi mobil Marvin.

"Kau melihat apa Je?" tanya Ola lagi, yang hanya di tanggapi gelengan pelan.

"Kita sekolah tinggal beberapa bulan, jangan sampai kehamilanmu juga terbongkar, aku tak mau kau bernasib sama seperti Evano," ucap Jeano, ia mengelus kepala gadis pujaannya itu.

"Eum, aku ikut prihatin dengan Evano pasti sulit menjadi dia, Evano sangat hebat," ucap Ola.

Jeano tak habis pikir dengan Ola, gadis itu selalu baik dengan siapa saja. Padahal Evano sudah jelas menyakitinya, seharusnya yang menikah dengan dirinya adalah Ola, apa Ola tak memikirkan dirinya sendiri? Bahkan gadis itu tak membenci Evano yang telah merebut posisinya.

"Berhenti memikirkan orang lain, pikirkan dirimu sendiri. Ayo kita masuk kelas, pasti jam kedua tak ada jam kosong lagi." Jeano menarik Ola. Keduanya ke kelas.

Ola hanya menampilkan senyuman manis, ia tak akan bertingkah agresif agar Jeano tak tahu jika dirinya lah yang telah menyebar foto-foto Evano, dirinya yang telah menyebarkan aib submisif itu.

Rain [sekuel Astrophile]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang