23

7K 572 65
                                    

Hal yang paling menakutkan bukanlah kematian diri sendiri melainkan kematian orang tua, karena tanpa mereka rasanya hidup akan menjadi gelap, tak akan sama lagi. Rumah tanpa lentera akan penuh kegelapan.

Evano menatap hujan deras dari jendela, dihari ke tujuh kepergian Marvin bumi basah diguyur hujan seakan ikut bersedih setelah kepergian sang empu. Ucapan pria itu, pituahnya, tawanya bahkan masih terasa terdengar di rumah.

Lelehan air mata kembali mengalir, ikhlas? Apa ada seorang anak akan baik-baik saja di saat orang tuanya pergi? Seburuk apapun orang tuanya di masa hidup tetap saja akan ada secuil rasa sedih, apalagi ini Marvin seorang ayah yang telah merawat putranya dari kecil, seorang ayah yang tetes demi tetes keringatnya ia habiskan untuk menghidupi sang anak, apa Evano akan ikhlas? Evano sakit, ia hancur bahkan sedari pagi yang ia lakukan hanya diam di kamar termenung dengan derai air mata.

"Evan ... "

Dulu suara Samuel adalah hal yang paling ia rindukan, tapi Evano rasa saat ini dan ke depannya suara Marvinlah yang akan ia rindukan, suara berat sang ayah yang akan ia harapkan untuk didengar.

Samuel mengusap bahu Evano, ia datang di hari kedua setelah Marvin pergi. Ia sangat terkejut dan bahkan tak kuasa untuk tak menangis, dulu ia pernah sangat mencintai pria itu bahkan rasanya sesak saat harus berpisah dengan Marvin, ia sama sekali tak menyangka Marvin akan pergi begitu saja.

"Maaf ... selama ini Papa tak bisa menemani Evan, pasti putra Papa ini sangat sedih eum," ucap Samuel serak.

"Apa Daddy kedinginan saat ini?" cetus Evano tak mengubris ucapan Samuel, pandangannya masih lurus menatap hujan.

Samuel membuang pandangannya, ia tak kuat tapi ia harus menguatkan Evano.

"Dulu aku dan Daddy selalu bermain hujan, aku sangat menyukai hujan setiap kali hujan aku akan merengek meminta Daddy menemaniku hujan-hujanan, ini baru seminggu tapi aku sudah merindukan Daddy, bagaimana jika sudah satu tahun? Apa aku akan hancur?" Evano meremat celananya.

Samuel mencium kepala sang anak, ia memeluk Evano dengan penuh kasih sayang. Tapi tetap saja, sehangat apapun pelukan Samuel yang saat ini Evano harapkan adalah Daddynya, ia selalu berharap bisa dipeluk setiap hari oleh Samuel tapi saat ini ia butuh pelukan Marvin.

"Ini pasti menyakitkan, tapi Evan tetaplah bertahan tetaplah semangat untuk baby, jadikan baby alasan semangat eum, Daddy akan marah jika Evan tak menjaga kesehatan dan terus bersedih," tutur Samuel.

Evano menghapus air matanya, ia mengangguk pelan. Tak seharusnya ia terus berlarut dalam kesedihan karena mau bagaimanapun bukan dirinya saja yang ditinggalkan Marvin, ada Oma yang juga kehilangan putranya.

"Pa, aku akan semangat dan aku akan selalu baik-baik saja demi baby," ucap Evano lirih.

Samuel tersenyum, ia kembali mengecup pucuk kepala sang anak. Rasanya ingin memaksa Evano untuk ikut ke China tapi putranya ini menolak keras dengan alasan tak mau meninggalkan rumah yang sudah menjadi kenangan bersama Marvin.

"Kau yakin tak mau ikut bersama Papa?" ucap Samuel kembali bertanya untuk ke sekian kalinya.

"Pa, aku tak akan meninggalkan rumah ini dan juga Papa pasti kerepotan di sana, Papa harus mengurus paman Kai, lagipula di sini masih ada Oma," ucap Evano. Andai jika Samuel tak memiliki keluarga lain mungkin Evano dengan cepat akan memilih ikut dengan sang Papa tapi ia dan Samuel kini berbeda, ia tak mau merepotkan Samuel di saat ia sudah repot dengan keluarganya, ia juga tak enak dengan Kai yang mungkin akan merasa canggung dengan kehadirannya ralat dirinya yang selalu canggung jika bersama Kai.

Samuel akan kembali ke China dihari ke sepuluh dan Evano sudah mengizinkan, ia mengerti akan posisi Samuel walaupun Papanya bilang jika Kai mengizinkan tinggal lama tetap saja akan tak enak jika mengganggu kehidupan Samuel. Evano akan menjalankan semuanya dengan kakinya sendiri, ia tak boleh bersandar pada siapapun lagi karena ia tahu bagaimana sakitnya saat sandaran itu pergi.

Sedangkan di sekolah pria yang seharusnya menjadi sandaran Evano tengah duduk diam dihadapan Ola, gadis itu tak henti-hentinya mendesak pernikahan. Apa Ola pikir menikah hal mudah? Jeano sendiri tak habis pikir dengan Ola.

"Jean, kali ini apa lagi?" Ola menggenggam tangan Jeano.

"Mengertilah situasi tak memungkinkan, Evano tengah bersedih setelah Pak Marvin pergi. Aku tak sebajingan itu untuk melakukan hal yang akan membuatnya terluka," tutur Jeano.

Ola menunduk sendu menatap sepatunya, ia merasa harus terlihat lebih menyedihkan dibanding Evano. Ia tak mau sampai Jeano lebih mementingkan Evano, ia tak sudi Jeano merasa iba pada submisif itu.

"Jadi kau tak kasihan padaku?" Ola meremat roknya.

Jeano menghela napas, lagi-lagi Ola berkata lirih dengan air mata.

"Aku mengerti, kau takut aku pergi. Tapi sekolah kita juga sebentar lagi dan juga ... "

"Aku tahu! Dan saat lulus nanti bagaimana kau pergi? Kau terus saja bicara omong kosong Jean, kau terus mengatakan akan bertanggung jawab dan melarangku aborsi, jika aku tahu kau terus memikirkan Evano sudah sejak dulu aku melakukan aborsi," tutur Ola sengit.

Jeano menekan pangkal hidungnya, bagaimana jika anak yang di dalam perut Ola di aborsi, mungkin Jeano akan menjadi pembunuh tapi ia juga tak bisa menikahi Ola di saat Evano dalam keadaan sekarang, bahkan submisif itu enggan untuk keluar kamar untung saja ada Samuel yang dengan sabar membawakan makanan untuk Evano jika tidak, mungkin Evano tak akan makan.

"Apa kau mencintai Evano?" ucap Ola tiba-tiba membuat kerutan dikening sang empu. Cinta? Kata apa itu, Jeano bahkan sangat tak suka pada Evano, baginya Evano hanya hama yang perlu dimusnahkan.

"Setelah Daddynya pergi ia tak memiliki senjata untuk berlindung, bukankah saat kau mengatakan akan menikahiku Daddynya yang mengancam akan menjebloskanmu ke penjara? Bukankah saat ini sudah tak ada halangan? Mungkin ini terdengar jahat tapi itu benar adanya, mungkin Pak Marvin peran baik bagi putranya tapi bagiku? Bagiku Pak Marvin tokoh penghalang dalam tujuan yang ingin kugapai, aku hanya ingin pertanggung jawaban dan tak mau sampai anakku lahir tanpa ayah," tutur Ola panjang lebar.

"Aku ... aku tak mau di cap pembunuh saat harus aborsi, aku takut Jean ... maaf telah memaksamu, padahal tak seharusnya aku membuat masalah dalam hubungan kalian. Sekali lagi, maafkan aku Jean," lanjut Ola terdengar tulus dan penuh merendah, seakan tak mau merebut Jeano dari Evano. Ia berusaha tenang dan sabar menghadapi Jeano.

"Aku akan bicarakan ini lagi dengan Evan secepatnya."

Rain [sekuel Astrophile]Where stories live. Discover now