7

7.4K 683 69
                                    

"Kelulusan sebentar lagi, kau ingin hadiah apa dariku?" Evano bersandar dibahu Jeano, keduanya tengah duduk dibatang pohon tumbang yang terbengkalai ditanah, suasana kebun teh yang menyegarkan membuat suasana sangat nyaman.

"Bisakah aku memintanya?" Jeano menatap hamparan kebun teh hijau tanpa ekspresi.

"Apa? Apapun yang kau minta akan aku kabulkan, asal jangan pernah meminta untuk pergi," ucap Evano.

"Tapi yang aku inginkan bebas, aku tak bisa bersamamu, aku merasa hidup dibawah kakimu," tutur Jeano, ia terkekeh ringan menertawakan hidupnya yang seperti lelucon.

Evano mendongak menatap Jeano, ia sangat mencintai Jeano apa Jeano tak merasakannya? Ia bahkan rela melempar harga dirinya hanya untuk Jeano, apa kurangnya ia?

"Cukup kelulusanmu membuatku sedih Jean, karena setelah kau lulus kita tak bisa bertemu disekolah lagi, nanti aku harus bersama siapa saat jam istirahat?" Evano merengut, ia meneggakkan tubuhnya tak lagi bersandar.

"Sampai kapanpun aku tak akan melepaskanmu, kau itu hanya untukku." Evano berucap tegas, tak mau dibantah.

Jeano menghela napas, kesialan apa yang tengah menimpanya ini.

"Dan sampai kapanpun aku tak akan sudi menerimamu Evan, kau hanya beban dihidupku. Kau bagai tokoh penyihir gila yang telah mengikatku dengan rantai panas, aku membencimu." Jeano menatap sengit, ia tak becanda dengan ucapannya. Evano memang sosok paling ia benci dalam hidupnya, kenapa ia harus terjerat dengan pria gila macam Evano.

Evano hanya diam tak menyahut, ia hanya terkekeh ringan entah menertawakan apa. Pikirnya, selama Jeano ada digenggamannya sekalipun Ola ingin merebutnya itu tak akan terjadi, Jeano hanya boleh bersamanya.

Lama keduanya hanya diam menatap pegunungan dan kebun teh yang hijau. Sampai pada akhirnya Evano memutuskan ingin pulang lagipula ini sudah pukul enam petang. Tentu saja Jeano dengan senang hati menyanggupi, lagipula ia sudah menerima spam chatt dari Ola. Jeano membawa Evano untuk mampir ke mini market sebelum pulang.

Ia membeli banyak cemilan dan mie instan, Evano mengerutkan keningnya saat Jeano mengambil dua kemasan pembalut. Ia pikir itu untuk Gress.

"Tak apa, aku yang bayar." Evano memberikan kartu kreditnya, ia yang membayar semua belanjaan Jeano saat dikasir.

Keduanya keluar beriringan, Jeano menjingjing tiga kantong belanja.

"Untuk siapa kamu membeli semua ini?" tanya Evano.

"Ola," sahut Jeano, satu kata dan satu nama yang selalu menjadi mimpi buruk Evano.

Evano mengepalkan tangannya. "Untuk apa kamu membelikannya, bahkan sampai pembalut itu juga kamu yang belikan? Kupikir ini untuk Bibi, makanya aku yang membayar," tuturnya.

"Tak ada yang menyuruhmu membayar semua ini, kau sendiri yang menawarkan diri dan semua ini hanya untuk Ola, dia tengah datang bulan dan kesulitan untuk pergi belanja," jelas Jeano.

"Gadis tak tahu malu, sudah tahu kau itu tunanganku tapi dia masih saja berani memintamu membelikannya!" emosi Evano menggebu-gebu.

"Dia tak tahu apa-apa, dia hanya mengatakan jika dia sakit perut karena datang bulan dan kesulitan keluar rumah, apa aku salah membelikan semua ini bentuk membantunya?" Jeano balas dengan tajam.

"Salah! Kau jelas salah, kau itu tunanganku tak seharusnya kau peduli pada gadis itu," ucap Evano, napasnya terengah kentara menahan amarah yang terus bergejolak.

"Andai jika kau tak masuk ke dalam kehidupanku, mungkin yang sekarang tunanganku itu Ola bukan kau," ucap Jeano penuh penekanan, jujur ini semua bukan salah Evano karena mau bagaimanapun ia sendiri ia memutuskan hubungannya dengan Ola.

Evano semakin emosi, ia menarik kantong belanja ditangan Jeano dengan tanpa perasaan ia menghamburkannya ke tanah. Banyak pasang mata yang menatap keduanya, bayangkan saja mereka masih berada diparkiran mini market.

Jeano berdecih, ia menarik tangan Evano kasar lalu memaksanya masuk ke dalam mobil, Jeano hilang kendali. Ia mencengkram bahu Evano, menekannya membuat sang submisif tak bisa bergerak. Mata tajamnya bagai menghunus dada Evano, ia sudah diselimuti amarah.

"Aku hanya menyukai Ola!" Jeano semakin menekan bahu Evano.

"Dengar sialan, kau itu murahan tak tahu malu. Apa kau pikir uangmu bisa membeliku, semua butuh uang tapi kau tak bisa membeliku dengan uang."

Napas Evano memburu, kakinya berusaha bergerak tapi tak bisa, Ia kesulitan bernapas seakan ada beban batu yang menghimpitnya, Jeano sangat menakutkan saat ini.

"Jean ... maaf, ak-arghh!" Evano benar-benar dibuat kewalahan, Jeano beralih mencengkram kedua pipinya.

"Menjijikan, cinta? Kau pikir yang kau lakukan itu cinta, kau pemaksa sialan." Jeano melepas cengkramannya, ia segera memakai sabuk pengamanannya. Jeano membawa mobil seperti orang mabuk, ia seperti tengah simulasi menjadi pembalap.

Evano dengan bergetar memakai sabuk pengamannya, takut jika akan terjadi sesuatu. Ia meremat sabuk pengaman kentara jika ia sangat ketakutan.

"Kau mencintaiku? Jadi mari kita mati bersama," ucap Jeano, ia menambah kecepatan mobilnya.

"Jean ... Jean stop! Ayo menepi."

Jeano seakan tuli, ia menganggap ucapan Evano angin lalu. Ia tak peduli dengan pekikan ketakutan sang submisif. Jeano gila, sampai ia tak sadar ada mobil box yang sama-sama membawa  dengan kecepatan tinggi.

"No! Jeano stop!"

Terlambat.

Mobil yang keduanya tumpangi tertabrak, bahkan menjadi terbalik. Mobil berputar bak gansing, suara benturan antara mobil mencuri atensi para pejalan kaki dan orang sekitar, ditambah jeritan mereka yang menambah kesan betapa parahnya benturan itu terjadi.

Mobil hitam itu ringsek, kaca diseluruh bagian mobil pecah.

Evano, menekan dadanya yang terasa sakit. Darah mengucur dari kepalanya, setengah wajahnya penuh dengan darah. Ia menggulir matanya melihat Jeano yang sudah kehilangan kesadarannya, dengan tangan bergetar Evano memegang bahu Jeano.

"Jean ... ayo bangun," ucapnya, Evano takut saat hidungnya mencium bahan bakar mobil, ia yakin jika ia terus diam menunggu bala bantuan mungkin mobil akan meledak.

"Jean ... " suaranya sangat lirih tercampur ringisan, Evano membuka sabuk pengamannya dan juga Jeano, dengan susah payah ia membantu Jeano keluar. "Betahanlah Jean." Evano menarik tubuh Jeano keluar, tak peduli dengan luka yang terus bertambah karena tergores kaca pecah.

Keadaan Jeano tak separah Evano,  hanya ada goresan lebar dikening dan juga tangannya. Berbeda dengan Evano yang terus mengeluarkan darah dikepalanya karena ia terbentur keras pada pintu mobil ditambah goresan kaca yang mempeburuk keadaannya.

"Ayoo ... bantu mereka!"

Evano tersenyum tipis, ia mendapatkan harapan semakin besar. Ia kembali mengerahkan sisa tenaganya, untuk menarik Jeano. Kemeja yang ia kenakan sudah berubah menjadi warna darah.

Evano berhasil keluar  sebelum warga menghampirinya. ia memapah Jeano yang masih pingsan.

Evano menyeret kakinya yang terasa sakit, ia sama sekali tak melepaskan tubuh Jeano. Mobil meledak saat ia sudah berjarak lebih jauh.

Saat itu tubuh Evano langsung ambruk, warga yang melihatnya berlari membantunya.

Evano merasa sekujur tubuhnya sakit, pusing dan terasa pening. Ia masih bisa merasakan darah yang mengalir melewati pipinya. Evano rasa ia akan mati.

"Aku mencintaimu Jean, sangat mencintaimu. Maaf jika aku mati."




Rain [sekuel Astrophile]Where stories live. Discover now