41

8.3K 615 33
                                    

Saling memaafkan memang sulit tapi terus bertarung hanya merusak diri sendiri. Evano memaafkan kesalahan Ola maupun Jeano, memaafkan bukan berarti ia mau bersama dengan Jeano kembali. Luka itu masih basah, Jeano begitu bajingan.

Sudah sebulan dari paska melahirkan, ia benar-benar berdamai dengan Ola sumber masalah di hidupnya, karena Samuel pernah bilang.

'Berdamailah dengan luka dan juga sumber luka karena saat kau telah berdamai luka itu tak akan terasa kembali'

Kalimat yang selalu menjadi pengingat bagi Evano, mungkin untuk berhati besar pada Ola itu terasa mudah karena ia tahu Ola wanita baik hanya ia digelapkan oleh masa lalu, tapi Jeano? Dia bodoh, Evano tak berani jamin jika ia kembali dengan bajingan itu dominan itu tak akan mengkhianatinya kembali.

Seperti kata Marvin, pengkhianatan tak termaafkan dan jika ingin membangun pohon kepercayaan butuh menanam akar kuat agar tak mudah tumbang.

Evano baru saja selesai menidurkan si kembar, rasanya ia akan gila jika tidak dibantu oleh Samuel karena si kembar sangat rewel ditambau Darel dan Ervin selalu merecoki keduanya.

"Yah bagaimana bisa mereka tidur, aku datang ingin bermain dengan mereka." Darel merengut tak suka, ia membawa motornya dengan kecepatan tinggi tadi hanya untuk melihat keponakannya. Sia-sia ia membolos dipelajaran terakhir.

"Bukankah jam segini belum pulang?" Evano menatap tajam adiknya ini, "biasanya sekolah bubar jam empat, lalu apakah monyet macam dirimu membolos? Aku akan adukan pada papa," lanjutnya.

Darel mendengus, semenjak melahirkan Evano berubah macam ibu-ibu komplek yang cerewet.

"Ampunn bibi, pria tampan ini tak akan melakukannya lagi." Darel berucap dengan nada mengejek membuat Evano naik pitam, ingatkan dirinya agar tak berteriak.

"Papa!"

Terlambat, ia berteriak berniat mengadu pada Samuel yang malah mendapat teguran karena membangunkan si kembar.

"Darel bajingan!" Evano menginjak kaki adiknya lalu segera pergi menghampiri anaknya.

"Evan bodoh, apa-apaan dia itu." Darel mendengus lalu mengekori langkah sang kakak. Matanya berbinar saat melihat kedua bayi mungil yang tengah ditenangkan oleh Samuel.

"Kalian berisik, apa yang sebenarnya kalian debatkan?" Samuel menatap keduanya dengan tajam, membuat Evano dan Darel gelagapan.

"Aishh papa, berhenti melotot seperti itu, akan menakutkan jika bola mata itu keluar, maafkan aku ya." Darel duduk di samping Samuel, tangannya mencolek-colek pipi si kembar.

"Tanganmu kotor, jangan menyentuhnya. Kulitnya sensitif bedebah ini, keluar dari sini." Evano menarik seragam Darel tapi sang adik seakan tuli ia malah tak bergeming tapi berhenti mencolek pipi sang ponakan.

"Evan, kenapa mereka manis sekali? Ah, sangat menggemaskan. Bisakah kau jadi mertuasku nanti? Aku ingin menikahi salah-satunya."

Plak

Darel mendapat dua pukulan langsung dari Samuel dan Evano, kedua submisif itu menatapnya bak singa lapar.

"Pedofil gila, jangan pernah mengatakan hal menjijikan itu. Sana pergi, orang gila."

Darel meringis, ia segera pergi. Takut dimakan oleh kedua pria manis itu. Saat keluar kamar ia mengerutkan kening, setiap sore selalu saja ada pria itu di luar, membuat Darel bosan saja.

Jeano selalu datang setiap hari menunggu Evano bicara padanya, tapi kakaknya itu enggan dan tak pernah sekalipun peduli dengan kehadiran Jeano. Darel sedikit iba, tak bisa dibayangkan jika ia nanti memiliki kesalahan dan submisifnya tak bisa memaafkan dirinya macam Jeano.

Darel menghampiri Jeano yang sudah seperti satpam rumah.

"Masih menunggu Evan?" Darel menepuk bahu Jeano.

"Kau pikir aku akan pergi lagi? Aku sudah melakukan kesalahan besar, aku mengkhianati kakakmu, bahkan sampai sekarang aku tak bisa melihat wajah si kembar," tutur Jeano. "Walaupun Evano mengatakan dia telah memaafkanku, itu berbeda dengan sikapnya yang mengabaikanku, sampai kapanpun aku akan sabar menunggunya. Setiap hari aku akan datang untuk bicara padanya," lanjutnya.

Darel menghela napas. "Apa pekerjaanmu tak berat? Sampai kau tak lelah pulang bekerja ke sini?" tanyanya.

"Tidak, untuk Evan ini sama sekali tak melelahkan," sahut Jeano.

Darel mengorek telinganya, kenapa Jeano bertingkah menyedihkan. Dimana si bajingan Jeano itu? Darel sampai pusing dibuatnya.

"Kau mau aku bantu?" tawar Darel yang langsung membuat Jeano berbinar.

"Tentu saja. Terima kasih, Da ... "

"Stt ... dari pada kau berisik, lebih baik sebagai kakai ipar baik kau belikan aku rokok sebagai dana bantuan, kau kan masih kakak iparku," ucap Darel membuat Jeano menatapnya dingin. "Ouh ... atau kau ingin Evano mengirim surat cerai?" lanjutnya yang langsung membuat Jeano melunak.

"Baiklah, aku akan membelikanmu rokok. Sebenarnya aku tak mau, kau sudah sering merokok, Evan pasti marah," ucap Jeano lalu pergi membeli rokok.

Darel tertawa puas, rasanya seperti mendapat ATM berjalan. Kai membatasi uang sakunya karena ia selalu membeli barang-barang tak bermanfaat dan sekarang? Oh, ya Tuhan Jeano bodoh. Tidak, ia akan membantu si bajingan Jeano, tapi hanya sedikit saja.

Di swalayan Jeano bersi tegang dengan Ola, keduanya tak sengaja berpapasan.

"Hai apa kabar?" tanya Jeano kaku.

"Tentu saja baik, apa kau tak lihat aku baik?" Ola menyahut dengan sinis.

"Kau sedang apa di sini?" tanya Jeano basa-basi.

"Membeli beberapa makanan, aku akan ke rumah Evan. Dan kau?" Ola melihat dua bungkus rokok di tangan Jeano.

"Setidaknya jika kau ingin kembali pada Evan jangan jadi beban yang akan jadi penyakitan karena rokok," cetus Ola membuat Jeano menganga.

"Ini untuk Darel, ak-aku hanya membelikan untuknya," ucap Jeano tergagap tapi Ola memilih pergi.

Jeano segera menyusul Ola, keduanya pergi ke rumah Evano bersama. Swalayan dari rumah Evano tak jauh bahkan tak perlu kendaraan, keduanya berjalan bersama sudah macam tak pernah terlibat konflik.

"Siapa nama anakmu?" tanya Jeano ia melihat wajah bayi digendongan Ola.

"Tak penting, kau bukan ayahnya," ucap Ola. Entahlah, ia takut jika Jeano bertingkah lebih jauh, ia tak mau sampai Evano salah paham.

"Percaya diri sekali, lagipula siapa yang mau mengaku sebagai ayahnya. Aku kan hanya bertanya," ucap Jeano.

Dari kejauhan Darel memicingkan matanya, menatap kedua menusia yang pernah menjadi list manusia paling tak ia sukai.

"Wahh macam keluarga bahagia. Kenapa kau tak menyerah saja? Dan bahagia bersama Ola, kaliankan dulu saling mencintai," cetus Darel. Perkataannya memang tak pernah di saring.

"Diamlah, aku ke sini ingin bertemu Evan bukan mendengar omong kosongmu," sahut Ola tajam membuat Darel terkekeh. Tak pernah sekalipun ia akan bersikap santai dengan wanita yang dulu sangat berbisa.

Jeano memberikan rokok ditangannya pada Darel sedangkan Ola sudah masuk. Andai Jeano bisa sesantai Ola yang bisa masuk begitu saja, kenapa rasanya ini tak adil? Kenapa Evano begitu mudah menerima Ola sedangkan sulit baginya? Rasanya Jeano ingin menyerah tapi tidak, ini belum seberapa dulu Evano lebih dari ini.

"Jika kau mau bersama dengan Evan lagi, turuti ucapanku," bisik Darel.



Rain [sekuel Astrophile]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang