25

7.4K 577 70
                                    

Evano mempersiapkan segalanya, ia ingin sekali datang ke acara kelulusan Jeano hanya saja ia terlalu malu dan takut, alhasil Evano memilih merayakannya dirumah. Ia bahkan sampai membeli dekorasi dari jauh-jauh hari, ia ikut senang karena Jeano lulus. Evano merasa dirinya lah yang lulus, padahal ia tak akan pernah merasakan kelulusan, walaupun ia menyusul dengan sekolah paket tak akan ada pesta kelulusan.

Memikirkan hal itu membuat Evano sedikit termenung, ia menatap kue coklat buatannya sendu, ia sudah kehilangan masa-masa berlian dalam hidupnya. Tangannya terulur mengusap perutnya yang sudah menonjol.

Evano membuat papan besar dengan tulisan 'happy graduation Daddy!', Evano sengaja memilih kata itu upaya pendekatan sang anak dengan ayahnya.

Ia mulai mendekor rumah dari mulai Jeano sudah pergi ke gedung acara, Evano menggunakan waktu itu untuk menghias segalanya dibantu oleh para pelayan yang selalu datang setiap hari ke rumah.

Semuanya sudah selesai dan itu menghabiskan waktu sampai pukul empat sore, Evano sampai tak sadar waktu. Ia segera menutup pintu karena yakin Jeano akan segera pulang, acara perpisahannya hanya sampai pukul lima. Evano sudah tak sabar, ia membayangkan bagaimana ekspresi Jeano saat melihat kejutan darinya.

Evano memotret kue di atas meja, lalu ia posting di instagramnya setelah sekian lama ia menggantikan pengaturan menjadi private kini ia buka kembali agar orang yang tak mengikutinya bisa melihat. Ia terlalu antusias dalam merayakan kelulusan Jeano.

Jarum jam terus berputar detik demi detik terus bertambah, tak ada tanda-tanda Jeano pulang. Rumah semakin hening karena pelayan sudah kembali pulang ke rumahnya masing-masing, rasa sepi mulai menghampiri Evano, submisif itu melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam kurang enam menit.

"Apa Jean akan terlambat pulang?" monolognya, ada rasa kecewa karena Jeano belum juga pulang.

Evano mulai bosan duduk lesehan didepan televisi, ia mengotak-atik ponselnya berusaha membuang rasa bosan dan jenuh tapi apa boleh buat rasa antusias yang berlebihan membuahkan rasa bosan dan kecewa di saat yang ditunggu tak kunjung datang. Untuk kesekian kalinya Evano melirik jam, ia rasa tadi masih pukul enam tapi saat ini sudah pukul delapan, waktu yang tak terasa.

Evano beranjak dari duduknya, rasanya bokongnya terasa panas karena terlalu lama duduk. Evano masih berharap Jeano segera pulang dengan mengirim pesan pada dominan itu tapi hasilnya pesannya sama sekali tak dibaca.

Sedangkan orang yang tengah ditunggu Evano itu tengah asik berjalan-jalan dengan Ola di pasar malam.

Jeano tak akan pulang ke rumah Evano melainkan ke rumah Gress, selain disembunyikan dari keluarga Evano pernikahannya dengan Ola juga tak diketahui sang ibu, Jeano tak mau sampai Gress menggagalkan rencananya.

"Aku ingin membeli permen kapas itu." Ola menunjuk pedagang permen kapas, Jeano dengan cepat membeli. Jeano benar-benar tak bisa menolak apa yang Ola katakan, bahkan ia menepis rasa letihnya setelah acara sekolah. Seharusnya setelah acara besar-besaran ia istirahat tapi demi Ola ia rela mengajaknya berkencan.

Tak lama Jeano kembali dengan dua permen kapas, Ola kegirangan saat menerimanya. Ditengah-tengah acara romantisnya ponsel Jeano berdering. Namun saat ia akan mengangkatnya, Ola dengan cepat merebut ponsel sang dominan.

"Tak ada ponsel untuk sekarang, kita akan menghabiskan waktu bersama," ucapnya, Jeano hanya menghela napas. Ia takut orang penting yang menghubunginya.

"Tapi lihat dulu, siapa yang menghubungiku," ucap Jeano.

Ola mendengus, ia melihat layar ponsel yang tertera nama Evano dengan cepat Ola mematikan ponsel Jeano.

"Nomer tak dikenal," ucapnya, setelah menon aktifkan ponsel.

Ola menahan ponsel Jeano, ia tak mau sampai Evano mengganggu kencannya dengan Jeano.

Tak

Jeano mengusap keningnya saat mendapat lemparan kulit kacang.

"Waw, tepat sasaran."

Musuh bebuyutannya Hilyas tiba-tiba datang dengan wajah menyebalkan, ia pelaku yang melempari kening Jeano dengan kulit kacang.

"Kupikir kau tak akan berani berkeliaran setelah lulus," cetus Hilyas terdengar sinis, pada Ola.

Ola meremas tangan Jeano, ia selalu merasa tak aman jika ada Hilyas, pria itu kasar dan menyebalkan.

"Apa kau menjalang juga padanya?" Hilyas menatap Ola dingin, ia tahu seberapa busuk gadis disamping Jeano ini. Jalang murah yang rela digilir, menjijikan.

Ia dan Jeano sama sekali tak memiliki masalah, tapi Ola terus saja mengadu dombakan keduanya semakin menumpukkan rasa benci Hilyas pada gadis itu saja.

"Berhenti mengoceh, kita tak ada urusan apapun," ucap Jeano kesal.

Hilyas terkekeh geli, ia merasa Jeano begitu bangga memungut sampah macam Ola, terlalu naif.

"Kau terlalu naif untuk siluman ini, bukankah kau memiliki Evano? Aku sudah lama tak mendengar si manis Evano, kemana dia?" tutur Hilyas, ia tak begitu mengenal Evano hanya saja ia tahu desas-desus tentang submisif itu.

Jeano tak mengubris ucapan Hilyas, ia terlalu malas.

"Oh aku tahu, bukankah dia tengah hamil juga. Apa kau yang menghamilinya?" Hilyas berkata rendah, ia memicingkan matanya.

"Bajingan ini terlalu banyak bicara." Jeano menarik kerah kemeja Hilyas, menatapnya sengit.

"Kau menghamili Evano kan? Lalu bagaimana bisa kau kencan dengan si jalang di saat kekasihmu itu hamil?" tutur Hilyas tak habis pikir yang membuat Jeano semakin emosi.

"Dia memang hamil tapi bukan hamil anakku."

Hilyas menaikan sebelas alisnya, tak mengerti dengan ucapan Jeano. Bukankah seharusnya Evano hamil oleh dominan itu, mengapa ia tak mengakuinya? Lalu Ola? Hilyas terkekeh, ia mengerti permainan ular itu, Hilyas menggulir matanya menatap Ola yang membuang pandangannya kentara jika gadis itu takut ia mengatakan yang sebenarnya.

"Ck, miris sekali nasib Evano." Hilyas mendorong Jeano.

Ia menatap kedua orang dihadapannya bergantian, yang satu si bodoh bajingan yang satu jalang tak tahu diri.

"Benar-benar cocok," ucapnya, lalu pergi begitu saja.

Jeano memeluk Ola setelah kepergian Hilyas, ia tahu pasti Ola ketakutan karena pernah dikasari Hilyas. Keduanya menikmati acara kencan malam ini, sampai Jeano lupa jika ponselnya berada pada Ola.

Sedangkan di rumah Evano terus menghubungi Jeano yang terus tak aktif, ia merasa prustasi.

Evano meremas celananya, ini sudah pukul sebelas malam dan Jeano belum juga datang. Hatinya meradang, rasa kecewa begitu sesak. Evano memilih mencabut semua dekoran begitupun papan besar di dekat pintu, ia membuang semuanya.

"Daddymu tak akan pulang sepertinya, wajar saja ia pasti merayakan hari kelulusan bersama teman-temannya," gumam Evano, ia membuang kue coklat buatannya sendiri yang ia buat dengan susah payah. Tak ada gunanya ia masukan ke lemari pendingin, karena ia tak akan memakannya.

Tak terasa di saat membereskan dekorasi air matanya menetes yang langsung ia hapus, Evano berjanji tak akan menangis pada Marvin. Lagipula mungkin Jeano terlalu lupa waktu dan tak memegang ponsel, Evano tak seharusnya berpikiran negatif.





Rain [sekuel Astrophile]Where stories live. Discover now