03

7.1K 992 20
                                    

Senangnya rupanya ada yang baca🤗🤗🤗

Tapi aku minta maaf di awal aja deh kalau-kalau nanti perkembangan alurnya gak sesuai ekspetasi kalian🙇‍♀

Walau begitu, aku harap, kalian suka bagaimana pun perkembangan alurnya nanti😚 meski bakal amburadul kek nya hehe

....
....

03

"Apa kau ingin ke istana?"

"Ndaak...."

"Kenapa?" Heran Astra. "Di istana bisa bertemu ibu dan kakak-kakak mu lho?"

Liam mendengus dalam hati. Untuk apa pria ini menanyakan hal yang mustahil. Sudah jelas-jelas Liam tak akan bisa keluar dari sini sebelum sisi iblis dalam tubuhnya ditekan sepenuhnya. Sekarang saja meski sudah disegel dan dijaga oleh Killion dalam tubuhnya, sesekali ia masih sering kehilangan kendali dan nyaris mencelakai Ksatria yang menjaganya.

Melihat Liam hanya diam seolah mengerti dengan kondisi tubuhnya sendiri, Astra merasa sesak. Dia juga mendengar dari Nico tentang Liam yang penurut dan tak banyak tingkah. Anak itu bahkan tak merengek saat tak diizinkan keluar dari paviliun. Dia juga patuh saja saat sampel darahnya diambil untuk diteliti. Mau pun ketika saatnya memperkuat segel, dia tak akan mengelak meski sudah tau sesakit apa ketika itu dilakukan.

"Maaf...." Astra mendekap lembut sang putra yang berbalik bersandar di dadanya. "Kau harus hidup terasing begini dan menderita karena ketidakmampuan ayah. Tapi, bertahanlah sebentar lagi. Ayah akan berusaha agar secepatnya kau bisa keluar dan hidup normal seperti anak-anak lainnya."

Liam diam saja. Selain karena dia masih belum terlalu lancar berbicara, juga karena dia tak tau harus menanggapi bagaimana. Sebab dia tau, kata-kata Astra bukanlah omong kosong. Karena nantinya Liam memang akan bisa keluar dari paviliun ini dan hidup normal. Walau hanya sebentar karena tak lama ia justru tak terkendali dan nyaris membunuh Emerald yang membuatnya diasingkan ke menara Charisma.

'Kau ini peramal ya? Kenapa seolah bisa membaca masa depan?'

'Kan sudah ku bilang ratusan kali kalau dunia ini merupakan dunia novel yang aku baca sebelum mati. Kalian saja yang tak mau percaya. Dan lagi, berhenti membaca pikiranku rubah sialan!'

Killion mendengus dan meringkuk di depan sebuah pagar besi. Ia berniat tidur lagi. Sebelum matanya terpejam, dia melirik ke arah dalam melalui sela-sela besi yang dipenuhi kegelapan. Sepasang mata merah menyala tampak menatap penuh dendam ke arahnya.

'Cih. Cepatlah besar bocah agar iblis ini tak lagi membuat ulah dan menyusahkan ku.'

'Tak mau~~~ Aku masih ingin berleha-leha di tubuh bayi ini,' balas Liam yang matanya sudah memberat. Tangan mungilnya terkepal menggenggam sapu tangan. Sementara tangan satu lagi mencubit-cubit jakun Astra dengan random.

Killion terkekeh samar. Ia mulai memejamkan mata berniat mengikuti jejak Liam untuk masuk ke alam mimpi.

'Nikmatilah hidup ini sesukamu dulu, bocah. Tapi sebelum itu, terlebih dahulu belajarlah membedakan serigala dan rubah. Jangan seenaknya menyamakan ku dengan hewan licik rendahan itu.'

'Kau juga cuma hewan rendahan yang tunduk di bawah kendali nenek-nenek cantik jelita.'

Oke. Killion akui dia kalah. Dia sudahi perdebatan dengan bocah itu dan memilih untuk tidur dengan lelap. Dia harus banyak tidur demi menghimpun energi untuk menghadapi bocah iblis ini.

|||||||||||||

"Pangeran kecil~~~ Apa anda sudah mandiii???"

Liam menatap malas Dale, salah satu Ksatria yang ditugaskan menjaga paviliunnya. Dia adalah orang yang berisik dan menyebalkan. Liam tak menyukainya. Tapi karena Dale yang paling normal diantara Ksatria lain kalau memberi hadiah padanya, Liam tak bisa bisa menolak ketika pria baby face itu mengangkat tubuhnya.

"Karena Nico sedang ada urusan dan tidak di paviliun hari ini, maka saya yang akan menemani anda."

"Nic kemana?" tanya Liam. Berkat umurnya yang sudah melewati dua tahun dia jadi mulai bisa berbicara dengan lancar.

Dale berpikir sejenak, "Yang Mulia Raja memanggilnya. Mungkin nanti siang atau sore baru kembali."

Liam mengangguk, "Aku mau keluar."

Dale menuruti. Dia berjalan menuju balkon dan mendudukkan Liam di pagar pembatas dengan kedua tangannya yang tak lepas memegangi anak itu. Kalau Nico melihat, bisa-bisa Dale dilempari belati karena tindakan sembrono yang mungkin saja membahayakan itu.

Itu juga yang agak disukai Liam dari Dale. Dia tak terlalu mengekang dan banyak aturan seperti Nico. Pokoknya Liam merasa bebas kalau dengan Dale. Ya walau tak sepenuhnya bebas. Seperti sekarang, dia hanya bisa keluar sampai sebatas balkon saja. Itu sudah termasuk luar yang paling luar untuk Liam.

"Saya punya sesuatu untuk anda, Pangeran." Dale meraih kantung yang tergantung di samping pedangnya. "Ini menu baru, anda akan menyukainya."

Inilah kenapa Liam menyebutkan kalau Dale yang paling normal dalam memberi sesuatu untuknya. Dale suka sekali membagi makanan dengan Liam. Baik itu jajanan yang ia bawa dari luar, makanan yang ia curi di dapur istana, mau pun makanan buatan kakak perempuannya. Hal yang membuatnya tak sekali dua kali digebuk Nico karena memberi makan sembarang pada bayi emas yang ia jaga sepenuh hati.

Padahal Liam sangat menyukai makanan dari Dale. Lihat saja sekarang, dia sudah berbinar riang dan menerima baik kantung yang berisi kukis keju dari toko langganan Dale. Pria itu yang terbaik! Tak seperti Elinor yang malah memberinya bahan-bahan beracun, cih.

Elinor yang sedang berjaga di depan paviliun mendadak bersin. Ia menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal.

"Apa seseorang menaruh dendam padaku?" ujarnya menggosok hidungnya dan sedikit menggigil karena angin musim gugur yang bertiup pelan.

"Dale," Liam mengembalikan kantung kukis pada Dale yang hanya tersisa remahan saja. Ia turun dari kursi, "Aku mau baca buku."

Dale mengikat kantung dari Liam di dekat pedangnya lagi, "Tapi buku-buku disini sudah selesai anda baca, Pangeran."

Itu tidak bohong. Karena Liam tak bisa keluar dari paviliun, sebagian waktunya dihabiskan untuk tidur. Namun ketika ia mulai semakin besar dia mulai tertarik pada buku. Liam mengisi waktu luangnya dengan membaca.

Sesekali menjelajah paviliun dan menghilang dari pandangan penjaganya. Dan kalau malam dia akan sibuk berguling-guling di balkon menatap langit sambil bermain catur dengan salah satu Ksatria. Yang paling parah ketika cuaca memburuk, mood Liam memburuk dan akan mengobrak-abrik seisi kamarnya lalu memperbudak para Ksatria untuk membereskan kekacauan yang ia buat.

"Hum, aku bosan, Dale."

Dale berpikir sejenak, "Saya akan minta Elinor mengambilkan buku-buku di perpustakaan. Selagi menunggu bagaimana kalau anda bermain catur saja?"

Liam mendekati pagar balkon. Ia membiarkan ketika Dale mengangkat dan mendudukkan dirinya di atas beton itu. Kamar Liam berada di lantai dua, jadi ketika melihat ke bawah itu lumayan tinggi dan mengerikan. Tapi melihat tebalnya rumput hijau di bawah sana dia cukup menyukainya. Lagipula Liam tak takut ketinggian.

"Eliiiii....!!!" Liam bersorak pada Elinor yang tampak tengah berbicara dengan seorang ksatria yang akan menggantikan shift nya. Otomatis teriakan Liam mengundang perhatian para Ksatria yang lain. Mereka melambai dengan ceria padahal yang dipanggil hanya Elinor seorang.

Elinor mendekat, berdiri di bawah kamar Liam. Ia mendongak ke atas, "Apa yang bisa saya bantu, Pangeran?"

"Aku mau buku baru!" Seru Liam dengan semangat, "Aku mau buku tentang Aune dan Shura, Eli!"

Elinor mengangguk mengerti. Ia berbalik pergi dengan segera menuju perpustakaan istana.

"Hoii paman-paman, kemari ayo maiiiinnn!!!" Kali ini Liam melambaikan tangan pada ksatria lainnya. Mereka balas melambai dengan semangat.

"Segera datang pangeran!"

Dale hanya memperhatikan dan memegangi tubuh Liam agar tak jatuh. Hal ini sudah menjadi pemandangan biasa bagi mereka di paviliun Liam. Rasanya sedikit menyenangkan melihat para ksatria yang penuh bekas luka di wajah mereka tampak kegirangan ketika diajak bermain oleh anak umur dua tahun.

Sulit dipercaya, tapi begitulah mereka.

|||||||

Be The Devil PrinceWhere stories live. Discover now