04

6.9K 954 5
                                    

Ha-ha.... Dunia lawak bener kan ya🙂
.
.
.

04

"Pangeran, tau tidak—"

"Tidak."

Nico tersenyum kecut ketika Liam memotong ucapannya dengan ketus. Bocah dua tahun dengan sebelah gigi taring menonjol itu menopang kepalanya dengan sebelah lengan. Dia duduk di kursi balkon dengan kaki di silangkan. Seolah tengah mengadili Nico yang dipaksa berjongkok di depannya dengan hormat.

Di belakang Nico ada Dale dan Elinor yang berdiri dengan satu tangan di belakang tubuh dan satu lagi menggenggam gagang pedang. Nico benar-benar terlihat seperti tahanan yang mau dieksekusi sekarang.

"Ku pikir kau mati di suatu tempat. Rupanya masih hidup, ya. Masih ingat untuk kembali?"

Keringat sebiji jagung jatuh di dahi Nico begitupun Elinor dan Dale. Mereka tak menyangka, semakin besar bocah ini semakin gampang merajuk.

Seperti sekarang ini. Sejak Liam ditinggalkan pada Dale oleh Nico, sudah berlalu satu minggu. Pria itu tak pernah kembali ke paviliun. Ternyata urusan dengan raja tak secepat itu selesai.

Liam yang biasanya harus ditimang oleh Nico sebelum tidur jadi kesulitan tidur akhir-akhir ini. Dia juga tak mau ksatria lain yang menggantikan peran Nico. Selain karena Liam lebih suka Shura milik Nico juga untuk mengantisipasi terjadinya bencana.

Selain Nico yang bersamanya sepanjang hari, ksatria Lain hanya bisa berada lebih dekat dengan Liam selama beberapa jam. Bahkan Raja Astra pun tak bisa berlama-lama ketika datang menemui putranya.

Sebab masih belum diketahui bagaimana ras iblis menyebabkan infeksi pada ras lain yang bisa mengubah seseorang jadi monster mengerikan yang tak terkendali. Entah bagian mana yang menyebabkan infeksi, hal itu masih diteliti sampai sekarang maupun perantara yang menyebabkan infeksi.

Untuk Nico adalah kasus spesial. Selain karena sudah pernah bertarung habis-habisan melawan ras iblis, dia juga satu-satunya orang dalam sejarah yang bisa sembuh dari infeksi. Bisa dibilang sampai Nico kebal terhadap hawa ras iblis yang pekat. Namun, apa yang menyebabkan keajaiban itu terjadi masih tak diketahui.

Dan sebenarnya, Nico terjebak diantara orang-orang menara seminggu belakangan ini. Mereka sedikit menemukan titik terang terkait darah ras iblis yang unik. Dan mereka butuh Nico untuk menguji sesuatu. Walau agak berisiko, namun setidaknya Nico yang paling aman untuk melakukan ini.

"Kemana saja kau pergi selama seminggu?! Apa kau mencari tuan baru?! Kau muak dengan ku, iya?!"

Dale meringis melihat Nico harus memejam beberapa kali karena Liam berteriak di depan wajahnya. Bocah itu turun dari kursi dan menghentakkan kakinya kesal. Ia melempar Nico dengan sapu tangan pemberian Astra setahun lalu.

"Tidak seperti itu pangeran. Saya bisa jelaskan....."

Nico terlihat seperti sedang membujuk kekasihnya yang merajuk sekarang. Ia ingin mengambil sapu tangan Liam yang jatuh ke lantai tapi anak itu lebih dulu menepis kasar tangannya. Tangan mungilnya mengambil sapu tangan itu dan membiarkan Nico meringis dengan raut memelas.

Liam menepuk-nepuk debu di sapu tangannya dan menyimpan kembali. Ia menatap Nico yang menunduk mengusap punggung tangannya yang tadi Liam pukul. Wajah garang bocah itu mendadak melunak. Ia berjongkok ikut mengusap punggung tangan Nico.

"Apakah sakit sekali?"

Nico tersenyum licik dalam hati. Geplakan bocah ingusan tak ada apa-apanya baginya. Tapi dia tau, putra bungsu Astra ini gampang sekali merasa bersalah dan beriba hati. Lihat, semuanya jadi mudah kalau sisi manusiawi anak itu sudah mencuat. Dale dan Elinor yang paham dengan drama Nico hanya mencibir, dasar rubah licik, pikir mereka.

"Tidak apa pangeran. Tidak terlalu sakit," ujar Nico. Kalau Liam sudah melunak maka dia bisa dengan berani mengangkat anak itu ke dalam gendongannya dan berdiri di pinggir balkon. "Bukankah sudah waktunya tidur siang? Apakah anda tidak mengantuk?"

Liam sebenarnya tidak mengantuk, matanya segar bugar. Tapi begitu angin berhembus pelan menerpa wajahnya dan juga merasakan Shura milik Nico yang menenangkan, ia jadi menguap.

"Berkat dan keagungan kepada matahari De Calais."

Suara Dale dan Elinor membuat Nico menoleh ke belakang. Ia melihat Astra mendekat dengan pakaian formalnya. Nico menurunkan Liam yang masih terjaga meski dengan mata sayu karena mengantuk. Ia memberi salam kepada Astra lalu pergi setelah sang raja memberi titah.

Tinggal Astra berdua dengan Liam di sana. Namun Astra dibuat heran ketika tiba-tiba Liam duduk di lantai. Anak itu mengucek matanya lalu menguap membuat ia paham apa yang terjadi.

"Kau mengantuk, hm? Tak ingin menyapa ayah dulu?"

Liam tak menjawab. Ia menurut saja begitu Astra menggendong tubuhnya. Pria itu memang cukup sering berkunjung ke paviliun Liam sejak setahun lalu. Tapi tak bisa dibilang sering juga, kedatangannya bisa dihitung dengan jari dalam satu tahun ini. Lebih baik daripada tidak sama sekali.

Ratu Nereida tak pernah mengunjungi Liam, namun setiap Astra datang dia pasti membawa sesuatu yang dititipkan wanita itu untuk putra bungsunya. Selain Emerald yang menerima dampak karena satu rahim dengan Liam, tentu saja Nereida sebagai orang yang mengandung anak itu selama 9 bulan juga ikut terkena imbasnya. Kesehatannya tak terlalu baik, dan ia disarankan untuk tak mendekati Liam sebab dia yang paling memungkinkan akan terinfeksi jika berada di dekat anak itu.

"Ku dengar kau memarahi, Nico. Benar?" Tanya Astra sembari mengusap pelan surai perak Liam yang selembut kapas. Ia duduk di kursi balkon dan membiarkan anak itu bersandar di dadanya.

"Dia pengkhianat," jawab Liam tiba-tiba teringat dendamnya pada Nico lagi.

Astra mengulas senyum. Ia mengecup puncak kepala Liam berkali-kali dengan gemas ketika melihat anak itu terkantuk-kantuk di pangkuannya.

Liam jadi heran, kalau Astra sebaik ini sebagai seorang ayah, bagaimana mungkin dia membunuh Liam di masa depan nanti? Atau mungkin alur novel jadi berubah karena kehadiran jiwa Alex disini? Tapi Lucia bilang ini bukan novel. Argh! Liam pusing memikirkannya.

"Ayah....."

Astra menunduk, "Ada apa?"

Mata hitam Liam menatap jauh ke depan, pada himpunan awan yang bergerak pelan tertiup angin. Daun maple yang gugur berterbangan dan jatuh di permukaan danau tak jauh dari paviliun. Dan diantara pemandangan yang menenangkan dalam angin musim gugur itu, Liam tiba-tiba saja bertanya dengan nada hampa.

"Jika harus memilih antara Calais dan aku, ayah akan memihak yang mana?"

Karena, Liam tau masa depan tak bisa sepenuhnya berubah. Meski dia bertekad tak akan menjadi pembelot ditambah lagi dengan pengawasan Lucia dan Killion. Tapi siapa yang tau bukan? Berbagai kemungkinan dapat terjadi. Dan bisa jadi pada akhirnya Liam tetap berkhianat. Atau mungkin ada suatu keadaan yang nanti membuatnya jadi seperti itu.

Astra hanya diam. Pertanyaan Liam seolah menguap begitu saja terbawa angin dan pecah di udara. Dan Liam hanya mampu tersenyum kecut saat ia mulai memejamkan mata.

Sesayang apapun Astra sebagai orangtua kepadanya, Calais tetap akan menjadi yang utama. Sebab selaku Raja, Astra sudah  bersumpah mengabdikan seluruh hidupnya untuk kerajaan. Memusnahkan segala ancaman yang akan menghancurkan bangsanya. Bahkan jika ancaman itu adalah darah dagingnya sendiri, Astra akan tetap setia pada sumpahnya.

||||||||||||||||||||

Ayah Astra amat menggoda. Tapi sayang, masih ada bininya😔

Be The Devil PrinceWhere stories live. Discover now