12

5.2K 729 8
                                    


12

Liam tengah menyusuri area di sekitar perpustakaan sekarang. Dia sudah tiga hari di istana. Dan tiga hari itu pula Luisa menunjukkan aura permusuhan yang kentara padanya. Liam jadi tertawa sendiri mengingat bocah mungil itu memasang wajah garang padanya ketika berpapasan tadi pagi.

Tangan Liam menyentuh sepanjang dinding yang ia lalui. Dia suka melakukan ini dari dulu, menyentuh dinding-dinding yang dilaluinya. Tidak ada yang tau, tapi sebenarnya dinding yang sering dilalui banyak orang akan memiliki bekas shura disana. Itu membuat Liam jadi punya gambaran, siapa-siapa saja yang berlalu lalang di lorong itu dan apa yang mereka lakukan. Ia bisa membayangkan dalam benaknya rekaan kejadian yang terekam disini dari jejak-jejak shura mereka.

Liam melewati perpustakaan dan terus menyusuri lorong. Berbeda dengan dulu, sekarang dia sudah tak antusias lagi dengan buku. Tidak tau entah kapan, tapi dia mulai tidak suka membaca dan belajar. Liam lebih menyukai waktu ketika dia tidur atau bermalas-malasan di luar menikmati pemandangan alam.

Brugh!

Saat akan berbelok Liam bertabrakan dengan seseorang yang datang dari arah berlawanan. Ia merasa seperti dejavu. Rasanya adegan ini pernah terjadi, tapi ia tak begitu ingat kapannya.

"Oh, kau tidak akan melarikan diri seperti dulu lagi kan?"

Liam menatap heran dengan kening berkerut. Siapa orang sok akrab ini, pikirnya. Rasanya dia mirip seseorang, tapi siapa ya?

"Kenapa diam saja? Tidak ingin menyapa kakakmu William?"

Liam malah balik bertanya heran, "Kakak yang mana?"

Benar, yang mana. Lagipula, kakaknya ada berapa. Liam tak ingat. Seingatnya ia punya banyak saudara. Dan menghapal mereka membuatnya pusing.

"Hm, kita cukup lama tak bertemu. Wajar kau tidak ingat. Aku Lionel, kakak pertamamu."

"Memangnya aku punya saudara bernama Lionel?" Liam bergumam sendiri. Tapi Lionel mendengarnya, begitupun dengan Jae asisten Lionel yang berdiri di belakangnya.

"Wah, aku sakit hati kau begitukan, Liam."

"Oh, maaf."

Liam tak merasa bersalah. Dia meminta maaf hanya untuk menyelesaikan masalah saja. Lionel mengajaknya berbincang sejenak lalu pergi untuk menemui ayah mereka. Sebelum itu, Lionel menyuruh Liam untuk menemui Alice juga di istana barat.

Liam tak merasa saran itu bermanfaat baginya. Jadi ucapan Lionel hanya dianggap angin lalu. Dia memilih mendekati danau. Menyeberangi jembatan yang ada disana dan sampai di paviliun.

Tempat itu sudah benar-benar kosong sekarang. Setelah Liam keluar dari paviliun saat dia umur 2 tahun dulu, tidak ada yang kesini lagi. Paling tukang kebun dan pelayan, itupun hanya sampai wilayah luar.

Jadi tak heran saat memasuki paviliun, tempat itu sudah seperti rumah angker. Padahal di luarnya terlihat masih bagus. Tapi di dalam begitu gelap dan berdebu. Banyak sarang laba-laba berseliweran. Kain-kain putih menutupi barang-barang disana, sehingga kain itu berubah kecoklatan karena banyaknya debu yang menempel.

Kaki Liam melangkah menuju kamar yang ia tempati dahulu. Bagian depannya masih terlihat sama. Pintu bewarna putih gading itu masih saja terlihat kokoh, warnanya pun tidak memudar. Sepertinya Nico tidak bohong dulu saat mengatakan pintu itu terbuat dari bahan kualitas terbaik yang bahkan butuh sekuat tenaga untuk dihancurkan dengan shura.

Liam mendorong pintu yang sedikit terbuka itu. Ruangan temaram tampak di matanya. Beserta eksistensi makhluk berlemak yang berjongkok di dekat lemari.

"Luisa?"

Be The Devil PrinceWhere stories live. Discover now