Ch.26 | Half Night

21 11 0
                                    

Shiroichi masih merasa sedikit pusing kala hendak membuka kelopak matanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Shiroichi masih merasa sedikit pusing kala hendak membuka kelopak matanya. Didekatkannya tangan ke pelipis demi meredakan pening, lalu pelan-pelan membiarkan penglihatan disambut oleh pemandangan jalan yang gelap karena minimnya penerangan.

          Ia tegakkan tubuh yang semula bersandar itu setelah kesadaran terkumpul. Kemudian mendapati seorang gadis, terduduk persis di sebelahnya.

          "Kau sudah bangun?" tanya gadis itu seolah menyambut datangnya kesadaran Shiroichi dalam raga. Bagaikan bulan sabit penghias kelamnya langit malam, senyum indah terukir di wajah lelah itu.

          Shiroichi masih benar-benar belum bisa membaca situasi. Jadi ia hanya mampu berkedip menatap Mizuki. Beberapa detik berikutnya, ia tersentak. Dilipatnya kedua kaki yang semula terjulur. Bersiap-siap untuk berdiri dan ini terasa sangat sulit karena tubuhnya masih dipengaruhi alkohol.

          "Kenapa kau di sini?" Ia berujar sambil masih berusaha untuk bangkit. "Maksudku, kenapa kau menemaniku? Kenapa tidak pulang saja? Lagipula ini sudah malam. Memangnya tidak ada yang mencarimu?"

          Jika didengar sekilas memang seolah Shiroichi sedang mengkhawatirkan Mizuki. Namun, saat dicermati lagi, tidak ada nada yang mengandung kecemasan sama sekali di sana. Justru Shiroichi sedang menuduh.

          Sebenarnya ia tidak begitu mengenal gadis itu. Shiroichi hanya pernah satu kali terlibat pembicaraan dengannya—di kebun sekolah, dan itu pun hanya pembicaraan yang sangat singkat—tetapi ia sangat yakin bahwa gadis ini sekarang sedang mencuri-curi kesempatan untuk berada di dekatnya, seperti yang biasa dilakukan oleh gadis-gadis lain.

          Mizuki menyadari tuduhan tersirat dalam nada bicara si casanova ini. Jadi ia mendengus pelan. Rasanya kesal juga. Sudah ditolong dan ditemani, tetapi dirinya mendapat perlakuan tidak baik begini. Kalau mau juga sudah ia biarkan saja tergeletak di pinggir jalan seperti tunawisma.

          "Ini, kakiku kebas." Mizuki melirik tungkainya yang terjulur, berharap Shiroichi mengikuti arah lirikan itu. "Otot-ototku kepayahan karena memapah tubuhmu yang sangat berat. Tadi kau terjatuh di sana." Ia memalingkan wajah dan menunjuk jalanan dekat apotek yang tersoroti sedikit cahaya lampu.

          Shiroichi juga mengarahkan netranya ke sana. "Jika kau menemukanku di sana, kenapa sampai repot-repot membawaku ke sini? Kalau mau mendudukkanku toh di dinding rumah di sebelah sana juga bisa. Kenapa sampai harus menyandarkanku ke city light poster ini?" Tangannya memberikan sedikit tinju pada benda yang dimaksud dan menghasilkan bunyi 'dug'. Menurutnya, ucapan gadis itu mengada-ada saja. Tidak masuk akal. Tidak ada pintar-pintarnya membuat alasan.

          Oh, jadi ini sifat asli dari cowok yang digiliai para gadis, pikir Mizuki. Dingin dan kasar. Juga tidak tahu diri. Inilah wajah sebenarnya yang ingin sekali ia lihat. Tanpa topeng.

          Mizuki mengangkat telunjuk lagi, kali ini ditujukan ke arah yang berbeda dari sebelumnya. Ke sisi kiri. Kursi panjang di sebelah tanda pemberhentian bus.

          "Aku tidak mungkin meletakkanmu di pinggir jalan. Tadinya mau aku taruh kau di sana. Tapi ternyata kakiku sudah tidak kuat. Jadi terpaksa kita berhenti saja di sini, bersandar di city light poster ini."

          Shiroichi menimbang-nimbang lokasi yang pertama ditunjuk gadis itu dengan lokasi kedua. Jaraknya, memang bisa dibilang cukup jauh dan melelahkan jika sambil membawa tubuhnya yang besar.

          Entahlah. Ia tidak peduli. Sekarang ini ia harus mengecek ponsel dulu karena mungkin saja si kepala pelayan di rumah sudah menghubunginya berkali-kali. Jadi satu tangannya masuk ke dalam saku jaket. Diraihnya ponsel yang sengaja ia matikan sejak keluar rumah. Dan benar saja. Saat dinyalakan, banyak sekali telepon masuk dari kepala pelayan maupun dari nomor tidak dikenal. Mungkin rekan kerja atau klien bisnis ayahnya.

          Lirikan netra milik Shiroichi beralih pada kaki Mizuki yang terjulur. Sambil memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku, ia berujar, "Apa kakimu sakit sekali sampai benar-benar tidak bisa jalan?"

          Mizuki ragu sejenak sebelum menjawab, "Sebentar lagi juga sembuh, kok. Hanya kebas sedikit. Kalau kau mau pulang, silakan saja. Rumahmu, 'kan, jauh dari sini. Lagipula kau sedang dalam keadaan terluka."

          Shiroichi tidak terkejut ketika gadis itu mengatakan bahwa rumahnya jauh dari sini. Seperti yang sebelumnya dikatakan, ia berasumsi bahwa gadis itu tidak jauh berbeda dengan gadis-gadis lain. Pengagumnya. Yang selalu mencari tahu apa pun tentangnya.

          Ia mendesah pelan, lalu berjongkok. Mempersilakan punggungnya pada gadis itu. Biar bagaimanapun, ia tidak mungkin meninggalkan seorang gadis sendirian di jalanan yang sepi begini. Apalagi sudah larut dan sangat gelap.

          "Cepat naik. Biar aku antar kau sampai rumah."

          Mizuki kebingungan melihat punggung pemuda itu. Ia tidak mungkin naik ke sana. Memapah dan menemaninya dalam keadaan tidak sadar saja sudah membuat perasaannya campur aduk. Pasalnya, ia belum pernah berada sedekat itu dengan lelaki muda. Gadis pendiam seperti dia tidak akan pernah bisa dekat dengan pemuda mana pun.

          "Tidak usah. Rumahku dekat dan sebentar lagi juga nenek pasti datang. Tapi, terima kasih sudah berniat menolongku."

          "Sudah, naik saja. Aku tidak minta pendapatmu. Kau pikir aku tega membiarkanmu sendirian di sini? Apa kau lebih memilih bertemu dengan orang jahat daripada menerima bantuanku?"

          Mizuki mengatupkan mulutnya. Rahangnya mengeras menahan kesal. Namun, kalau dipikir-pikir, memang sebaiknya diantar dengan pemuda ini saja sampai rumah. Setidaknya jauh lebih aman daripada harus pulang sendiri.

          Tangannya meraih pundak Shiroichi yang kokoh. Didekatkannya diri ke tubuh pemuda itu, lantas membiarkan lengan milik Shiroichi menggapai kakinya.

          Shiroichi berdiri dengan ringan. Ia sudah tidak pusing lagi dan rasa sakit akibat pukulan di sekujur tubuh serta wajah berangsur-angsur pulih. Lalu melangkah santai, tanpa menyadari degupan jantung dari gadis di punggungnya yang semakin lama semakin kencang.

          Mizuki menarik napas pelan-pelan, membuangnya pelan-pelan juga. Ia atur jarak dari tubuh Shiroichi agar tidak begitu dekat. Sepertinya kedua pipinya sudah meranum sekarang.

          Tanpa terasa menit ke menit sudah dilalui. Di antara Shiroichi dan Mizuki hanya ada suara burung malam yang terkadang bersahutan juga suara jangkrik yang menetralisir suasana jadi tidak mencekam.

          Meski menyukai kesunyian, Mizuki tidak suka membawa orang yang terbiasa ramai ke dalam kesunyian itu. Sangat canggung dan ia tidak suka atmosfer ini.

          "Tadi ketika pingsan, kau terus-terusan menyebut Koshien. Apa kau sangat ingin pergi ke sana?" Akhirnya Mizuki membuka wacana. Sebenarnya ia tahu betul keinginan pemuda ini karena jelas-jelas diberitahukan secara gamblang. Keinginan yang sama dengan kebanyakan pemuda lain di sekolahnya.

          Shiroichi tidak segera menjawab. Mizuki paham pemuda ini perlu waktu untuk menjawab sesuatu yang menurutnya teramat penting, terlebih kepada orang yang tidak dekat dengannya. Ia juga tidak masalah jika Shiroichi tidak mau menjawab. Yang penting, ia sudah berusaha mengajak pemuda ini untuk bicara.

          Mizuki baru akan mengganti topik pembicaraan ketika tanpa diduga Shiroichi berkata, "Sepertinya aku tidak dilahirkan untuk bahagia."

You are My Dogwood [Extended Ver.]Where stories live. Discover now