Ch.40 | The Disease of Her

70 18 17
                                    

Di bawah naungan langit sore, sepeda ondel terkayuh dengan amat pelan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di bawah naungan langit sore, sepeda ondel terkayuh dengan amat pelan. Hanya ada sedikit sisa tenaga bagi si pemilik raga untuk menggerakkan tungkai secara signifikan. Tidak ada angin yang menyapa. Tidak ada rupa tak berwujud yang membelai surai panjangnya. Kali ini, ia sepenuhnya ditemani oleh gugusan peach bercampur biru di sepanjang horizon.

          Mizuki tak pernah tidak bersemangat dalam mengagumi keindahan ciptaan Sang Penguasa. Bersepeda di bawah langit senja, ditemani buket berisi bunga-bunga segar yang baru saja dipetik dari kebunnya, adalah hal paling menyenangkan sejauh yang ia tahu. Ditambah lagi, sepanjang perjalanan disambut oleh pepohonan rindang menyapa netra minusnya dan seharusnya memberikan kesegaran tersendiri.

          Akan tetapi, semua perwujudan kekaguman itu dikesampingkan dulu sekarang. Karena hati Mizuki sedang merintih perih.

          Dalam satu mingguan ini ia tidak pernah absen mendatangi rumah sakit. Selama hampir satu minggu itu pula dirinya tidak mengantarkan buket-buket bunga pesanan pelanggan.

          Dan, tidak memunculkan batang hidungnya di sekolah.

          Entah sudah berapa kali Minna-sensei menghubungi dan mengunjunginya di rumah. Terkadang beralasan ingin membeli beberapa bibit atau buket bunga langsung dari kios Ume, alih-alih secara gamblang memberitahu bahwa sebetulnya khawatir terhadap Mizuki.

          "Menjelang libur musim panas, makin banyak keperluan untuk menata kebun di rumahku maupun di sekolah," ujar wanita blasteran tersebut di sela perbincangan dengan nenek Mizuki.

          "Kau tahu sendiri, Ume-san. Meskipun dikatakan musim panas, menurutku harus ada penetralisir yang setidaknya dapat memanjakan kita secara visual, agar suasana hati tetap tenang dan tidak terbawa atmosfer panas-nya."

          Usai berbasa-basi, Minna selalu menyelipkan pertanyaan terkait kondisi Mizuki, dan Ume selalu menjawab dengan pernyataan yang cukup umum, "Sudah lumayan baik, tapi dia perlu istirahat lagi untuk beberapa waktu. Sensei, tidak perlu khawatir. Mizucchan adalah anak yang kuat. Terima kasih sudah peduli pada cucuku."

          Dalam setiap kunjungan dari Minna-sensei di kios sang nenek, Mizuki mungkin hanya dapat menemuinya dua kali. Gadis ini merasa bersalah sebetulnya. Juga merasa tidak tahu diri. Tapi ... ia takut. Takut jika melihat mimik kekhawatiran dari wajah guru sekaligus teman terdekat satu-satunya itu. Ia takut, likuid akan dengan deras membanjiri pelupuk matanya, dan tak kuasa memberitahukan apa yang ia alami sebetulnya.

          Selama sepekan ini Mizuki dalam pengawasan khusus karena diketahui saraf motoriknya mengalami pelemahan yang signifikan. Antibodi yang menyerang saraf-saraf itu semakin meradang. Beberapa anggota tubuh jadi lebih sering mengalami kelumpuhan secara bergantian. Perlu waktu yang lama untuk mengembalikan fungsinya seperti semula.

          Dokter bilang, karena semakin meradangnya myelin dalam otak dan saraf tulang belakangnya, maka tidak lama lagi kelumpuhan anggota tubuh Mizuki bukan hanya terjadi secara bergantian, tetapi kelumpuhan total yang permanen.

          Kapan, ya, terakhir kali ia menangis? Bahkan jika diingat lagi delapan tahun ke belakang, ketika pertama kali dirinya didiagnosis menderita multiple sclerosis, ia sama sekali tidak menitikkan air mata sedikit pun. Ia hanya menganggap itu sebagai penyakit biasa, penyakit ringan seperti yang pernah ia alami sebelumnya: batuk, flu, atau demam. Mizuki tidak pernah memusingkan penyakit ini karena dokter dan nenek selalu memberinya energi positif.

         Ia pernah menangis karena terkejut ketika pertama kali merasakan sakit yang berlebih pada persendian kaki. Sepertinya, itu tangisan terakhir yang ia ingat.

          Namun, sekarang Mizuki mematahkan predikat 'terakhir' itu karena tidak bisa menahan lagi emosi yang meluap. Padahal saat di hadapan nenek sudah memasang topeng sebaik mungkin, bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia masih kuat. Meski sebentar lagi tidak bisa melalui keseharian dengan leluasa lagi, tapi setidaknya, ia ingin melewati masa-masa terakhir ini dengan segala aktivitas yang ia sukai dan bergerak sebebas mungkin.

          Meskipun nenek pernah bilang tidak ingin melihat kepura-puraan di wajah sang cucu saat berhadapan dengannya, sekarang ini, permintaan itu sangat berat untuk Mizuki penuhi. Ia meminta maaf banyak-banyak dalam hati sambil memejamkan mata. Maaf, Nek. Aku tidak ingin nenek khawatir.

          Gadis ini sama sekali tidak ingin terlihat cengeng. Sayangnya, ucapan dokter terus terngiang hingga membuatnya berpikir macam-macam tentang masa depan yang tampak begitu jauh. Cahaya yang hanya setitik kini tertutup sempurna. Menyisakan lorong gelap antara dirinya dengan masa depan itu.

          Mizuki bersyukur tidak ada siapa pun di sekitar jalan yang dilaluinya. Karena kini wujud dari sang rupa sudah teramat kacau. Buliran bening terus menganak-sungai dari pelupuk mata seakan tiada muara untuk mengakhirinya. Sesenggukan pun terus terjadi hingga beberapa kali, sampai menyesakkan bagian terlemah dalam rongga dada Mizuki.

          Penglihatannya yang terlindungi kacamata semakin buram. Maka, ia hapuskan kristal tak berharga itu dengan telunjuk kala genangannya telah menumpuki pelupuk netra. Dan berharap agar kondisi batinnya memulih secepat mungkin. Lagipula, bukankah itu kelebihan yang ia miliki sedari kecil?

          Kayuhan Mizuki terhenti. Sekali lagi ia usap kedua mata sambil mengisap cairan terakhir yang hendak turun dari rongga hidung. Ia menoleh ke sisi kiri, ke sebuah kebun yang terlindungi pagar tralis. Dihimpit pula dengan pepohonan serta semak-semak yang mengelilingi kebun sehingga bagian dalamnya tidak terlihat dari luar. Tapi pintu kebun itu sedikit terbuka.

          Mizuki mengangkat kaki untuk turun dari sepeda, menuntunnya mendekati pagar tralis untuk kemudian disandarkan di sana. Jika tidak salah tebak, kebun ini adalah milik kakek pelanggan di kios neneknya karena masih berada di satu lahan dengan rumah sang kakek. Sepertinya kakek itu sedang berkebun.

          Mizuki merasa pintu kebunnya menyambut dengan hangat kala tungkainya melangkahi area itu. Ia melihat ke sekeliling, melihat ke dalam kebun. Tidak ada siapa pun di sana. Ia melangkah lebih dalam lagi, lupa kalau memasuki wilayah orang lain tanpa permisi bukanlah tindakan yang dibenarkan.

          Tidak ada yang spesial dari kebun ini. Banyak petak yang kosong tanpa ditanami tumbuhan berbunga sebagaimana kebun pada umumnya. Tanaman yang ia lihat adalah pepohonan di sekeling pagar tralis dan jangan lupakan juga semak-semaknya. Di sudut kanan, ada jalan setapak kecil menuju rumah sang kakek. Dan ... oh, ternyata menjorok ke arah timur laut, ia mendapati semak yang ia ketahui sebagai gerbera jika dilihat dari bentuk daunnya yang memanjang dengan pinggiran daun yang bergerigi besar. Cukup jelas terlihat meski dari kejauhan.

          Mizuki terharu sekali karena bibit gerbera itu berasal dari kiosnya. Tentu saja ia tahu, setelah pindah ke sini sang kakek selalu membeli bunga serta bibitnya di kios nenek. Sebentar lagi gerbera itu akan menjadi tanaman pertama yang mempercantik kebun ini.

          Suara gemerasak dari arah belakang membuatnya terkesiap. Mengharapkan kakek, tetapi yang ia dapati ketika memutar tubuh adalah sosok lain. Wajah orang itu terhalangi sinar mentari senja kala memasuki kebun.

|____Notes |____

Hei hei, gaes, sini deh aku mau nanya.
Kira-kira udah kebayang belom, MS (multiple sclerosis) itu kek mana? Atau udah ada yang tau tentang penyakit ini? Share dongs 'v')/

You are My Dogwood [Extended Ver.]Where stories live. Discover now