Ch.46 | Desire to Give Up

15 10 0
                                    

Shiroichi menyandarkan punggung pada dinding penginapan dekat gedung sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shiroichi menyandarkan punggung pada dinding penginapan dekat gedung sekolah. Mengistirahatkan diri sebentar, setelah mengantar dokter sampai ke depan penginapan. Di dalam sana Mizuki masih berbaring usai diberikan obat khusus.

          Gadis itu tidak mau neneknya tahu tentang keadaan ini, efek dari penyakit yang kambuh lagi. Jadi Shiroichi sengaja menyewa penginapan sebagai tempat singgah untuk melakukan pertolongan pertama. Juga sengaja memanggil dokter khusus keluarganya. Mizuki bersikeras menolak tetapi pemuda itu jauh lebih keras kepala lagi. Ia tidak mau setengah-setengah dalam menolong siapa pun.

          Dengan memberikan perhatian penuh pada gadis ini bukan berarti Shiroichi melupakan sahabatnya sendiri yang ia ketahui dengan pasti sudah tergeletak tanpa daya di halaman gedung auditorium. Hanya saja tidak bisa mengurusinya langsung karena Mizuki lebih membutuhkan pertolongan. Juga, karena belum siap bertemu dengan Takeuchi setelah pertengkaran itu.

          Dimintanya pengawal untuk mengobati, menemani pemuda itu dulu sampai sadar, dan setelahnya diantarkan pulang. Shiroichi tidak bisa melenyapkan kepedulian dari dalam dirinya, sebenci apa pun ia pada orang itu. Apalagi jika orang yang ia benci adalah sahabat sendiri.

          Sambil menunggu Mizuki, jemarinya bergulir di layar ponsel. Membuka browser, lalu beralih ke fitur chat karena banyak pesan dan panggilan masuk yang sebelumya tidak sempat diangkat.

          Semuanya berasal dari rekan kerja. Orang-orang di perusahaan ayah yang kini sudah menjadi miliknya. Mereka bercicit mengenai kinerja Shiroichi, meracau mengenai banyak hal yang tidak bisa ia tangani, mengenai betapa tidak tanggapnya ia pada kasus yang saat ini sedang terjadi. Ada satu nomor yang bahkan menghubunginya sampai puluhan kali.

          Selama hampir tiga jam ini ponsel itu dimatikan karena tidak mau waktu berharganya diganggu oleh urusan yang bikin penat. Akan tetapi, sial sekali semua ekspektasi menikmati waktu berharganya itu runtuh tatkala melihat sosok Tsubaki—benar-benar persis dengan Tsubak—pada wajah Mizuki yang tanpa kacamata, pertemuannya dengan Takeuchi di depan gedung auditorium, ditambah lagi dengan pesan-pesan keparat yang memenuhi fitur chat-nya ini. Dan, oh, foto-foto semringah tim bisbol kebanggaan sekolah menghantui linimasa. Sebentar lagi turnamen dilaksanakan dan sudah pasti mereka berpesta-ria.

          Kenapa sih susah sekali untuk bahagia barang sebentar saja? Selalu saja ada halangan. Selalu saja berakhir menjadi luka yang mengendap semakin banyak. Kenapa sepertinya dunia ini sangat tidak adil padanya? Sedari kecil ia sudah dihukum oleh semesta, dan sampai sekarang ia tidak boleh bahagia?

          Shiroichi merasakan denyutan pada pelipis. Untuk kesekian kali, batinnya dihunjam tekanan yang mengoyak seluruh isi hati. Kekangan terkunci rapat dan itu membuat jiwanya merintih sakit.

          "Apa kau sudah sedikit membaik?"

          Jeritan dalam benak Shiroichi terhenti. Wajahnya menoleh, mendapati Mizuki di ambang pintu menggenggam kusen dengan erat. Tubuh gadis itu tidak berdiri sempurna. Wajahnya meringis menahan nyeri.

          "Lucu sekali. Orang yang seharusnya lebih dipertanyakan kondisinya malah memedulikan orang lain. Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu." Shiroichi memberikan senyum serta raut yang menunjukkan rasa prihatin agar ucapannya tadi tidak begitu terdengar sinis. "Sepertinya sudah sedikit membaik, ya. Tapi tunggu dulu di sini saja sampai kondisimu jauh lebih baik lagi. Dokter bilang obat yang diberikan padamu itu reaksinya cepat, kok."

          Dalam hati Shiroichi bersyukur gadis ini muncul dan tanpa sengaja menjeda kecamuk dalam pikirannya.

          "Terima kasih. Kau sudah perhatian dan baik sekali padaku. Terima kasih banyak. Dan maaf ... sudah merepotkanmu untuk yang kedua kalinya."

          Pemuda tinggi ini menjauhkan punggung dari dinding. Menghadap Mizuki seutuhnya, berusaha meredam gelisah atas wajah Mizuki yang tanpa dilindungi oleh kacamata itu—wajah yang teramat mirip dengan Tsubaki. Ia mengangkat tangan lalu memunculkan jari telunjuk.

          "Kejadian pertama, kau yang menolongku lebih dulu. Anggap saja pertolonganku padamu saat itu sebagai balas budi. Kejadian kedua, kau sudah sangat tidak berdaya dan sangat butuh pertolongan. Jelas-jelas hanya ada aku yang melihat kepayahanmu begitu di sana. Jadi, ini hanyalah masalah kemanusiaan. Kalau posisinya diubah, pasti kau juga melakukan hal yang sama, 'kan?" ujar Shiroichi sambil menunjukkan satu jari yang lain, total dua jari menandakan kejadian yang disebutkan tadi.

          "Iya, ini masalah kemanusiaan. Makanya aku juga menanyakan keadaanmu." Shiroichi perlahan menurunkan lengan yang semula terangkat, bersamaan dengan terucapnya perkataan yang menggetarkan batinnya ini, "Tadi kau bisa menjawab pertanyaanmu sendiri karena bisa melihat kondisiku dengan jelas. Tapi, aku tidak bisa memperkirakan jawaban atas pertanyaanku, karena psikis seseorang jauh lebih rumit dari apa pun. Ada obat yang sudah ditentukan untuk fisik yang sakit. Tapi obat itu menjadi sangat sulit ditentukan jika berkaitan dengan mental seseorang."

          Lidah Shiroichi kelu. Ia bergeming dalam keheningan. Bergetar dalam keraguan. Benar. Mentalnya memang sudah lama sakit. Selama ini masih bisa teredam dengan baik walau kadang tak terkendali. Namun ... sekarang ini sudah berada di ambang batas. Ketahanan dirinya runtuh. Ia sudah tidak kuat lagi. Bayangan untuk menikmati sisa hidup sudah hancur berkeping-keping.

          Buncahan emosi terkumpul dalam dada dan rasanya ingin meledak. Akan tetapi, tertahan kala melihat Mizuki yang menatapnya dengan nanar.

          Gadis itu sakit. Multiple sclerosis. Penyakit yang baru saja didengarnya dari dokter, di mana autoimun keliru menyerang mielin³⁵. Penyakit ini menyebabkan otak mengalami gangguan komunikasi pada seluruh tubuh. Bisa menyebabkan kelumpuhan saraf motorik bahkan kebutaan.

          "Kau ini benar-benar lucu. Berperilaku seolah aku yang paling menyedihkan. Padahal di dalam tubuhmu itu ada penyimpangan dari sesuatu yang seharusnya menjadi pelindung." Kali ini ia sengaja berkata sinis. Tidak peduli jika menyakiti hati gadis itu karena sekarang sudah sama menyebalkannya dengan yang lain. "Itu penyakit yang sangat serius. Pikirkan saja yang kau derita sendiri. Jangan pedulikan aku."

          "Aku tidak perlu dikasihani karena aku tidak mengeluh dengan keadaan ini," sahut Mizuki dengan sedikit meninggikan suara. "Aku tidak perlu dikasihani karena aku masih memiliki harapan untuk hidup, dan bukan hanya untuk kebahagiaan diriku sendiri, tapi juga untuk kebahagiaan nenek yang sudah mengajarkanku bagaimana caranya bersikap optimis seperti apa pun keadaan kita."

          Tanpa sadar tangan Mizuki mengepal dan bergetar. Terasa pula desiran dalam aliran darah. Ia sangat takut dengan air muka Shiroichi yang semakin menggelap itu. Takut kalau pemuda ini terjerumus semakin dalam dengan segala pikiran negatifnya.

          "Jangan menyerah." Ia mengulurkan tangan, berusaha memberi kekuatan. "Jangan biarkan keterpurukan menguasai dirimu. Kau tidak boleh kalah."

          Shiroichi berdecih. Dimasukkannya ponsel yang masih tergenggam ke dalam saku celana, lalu mengucapkan kata yang menjadi akhir dari perjuangan panjangnya.

          "Aku tidak bisa melanjutkan mimpi kita, untuk berbahagia dengan sisa waktu di kehidupan ini. Kejadian di hari ini saja sudah menandakan bahwa hal itu tak akan berhasil. Aku tidak mau memikirkan bagaimana keadaannya nanti, karena aku sudah menyerah."

          Lalu pemuda itu menggerakkan kakinya tanpa peduli apa pun lagi. Ia ingin menghilang dari bumi. Dari semua masalah ini. Dengan menatap langit, ia memohon pada Sang Pencipta agar bisa segera menyusul ayahnya di alam sana.


======== Glosarium ========

[35] Mielin = Serabut saraf

You are My Dogwood [Extended Ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang