Ch.8 | A Hero from Neighborhood

130 38 8
                                    

Sepasang mata lentik milik seorang gadis kecil membuka perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepasang mata lentik milik seorang gadis kecil membuka perlahan. Pandangan yang masih agak kabur itu menangkap gemintang dan bulan yang tertempel di langit-langit. Ia masih belum sepenuhnya sadar. Otaknya masih mencerna di manakah ia sekarang, lalu, apa yang sebelumnya terjadi sampai tertidur di sini? Meski pemandangan langit-langit terasa familiar, tapi ia masih belum bisa berpikir jernih.

          Dari langit-langit itu, pandangannya bergerak ke sisi kanan, diikuti dengan gerakan wajahnya. Ada tiang lengkap dengan infus dan selangnya bertengger persis di sisi tempat tidur. Retina Tsubaki mengikuti arah selang infus itu, dan berhenti tepat di punggung tangan kanan.

          Apa ... aku ada di rumah sakit?

          Kemudian kesadaranya berangsur-angsur pulih. Ia begitu mengenal suasana di ruangan ini. Stiker bulan-bintang di langit-langit. Dinding dengan wallpaper bunga, juga aroma Gardenia yang menguar dari pengharum ruangan.

          Ini jelas bukan di rumah sakit.

          Tetapi di kamarnya.

          Tangan kiri Tsubaki bergeser di atas permukaan ranjang. Melakukan sedikit pergerakan agaknya dapat mengusir rasa pegal setelah—entah untuk berapa lama—tangannya terlipat ke samping. Lalu tangannya mengenai sesuatu yang menghentikan pergerakan itu.

          Tsubaki menurunkan pandangan. Sontak melirik. Teropong monocular miliknya, persis diletakkan di sana. Posisi eyepiece (lubang untuk mengamati objek) dihadapkan padanya. Sementara posisi lensa dihadapkan berlawanan. 

          Retina Tsubaki beralih lagi. Kali ini ditujukan ke arah jendela. Tirai dibiarkan terbuka begitu saja, mempertontonkan langit malam di luar sana. Langit yang juga dihiasi bintang, seperti pemandangan yang menyapanya tadi kala siuman.

          Cklik!

          Tsubaki menoleh atas suara pintu yang terbuka. Di ambang sana terlihat ibunya membawa nampan berisi teh hangat serta semangkuk bubur. Uap panas menguar dari bubur itu, menandakan baru saja diangkat dari panci rebusan.

          Sang ibu terdiam sejenak memandangi Tsubaki yang sudah terbangun. Lalu dengan mata berbinar, ia hampiri gadis kecil itu.

          "Sayang ...," katanya sambil menaruh nampan di atas nakas, "kau sudah sadar ...?" Sebelah tangannya dengan lembut menyentuh pipi Tsubaki, sementara tangan yang satunya lagi meraih tangan gadis kecil itu dan mendekapnya. "Apa kau merasakan sakit? Bilang ke ibu, Nak ...."

          Tsubaki mengerjapkan mata. Memandangi wajah ibunya yang menampakkan haru serta khawatir secara bersamaan. Ia tidak merasakan sakit untuk saat ini. Namun, melihat wajah ibu yang seperti itu, membuat likuid tergenang di pelupuk matanya.

          "Tsucchan." Ayah yang baru saja muncul di ambang pintu menyerbu masuk. "Syukurlah kau sudah sadar. Sudah hampir tiga jam kami menunggu. Kalau saja kau tidak sadar-sadar juga, maka ayah akan menuntut anak nakal itu—"

          Sentuhan lembut ibu meredakan emosi ayah yang hampir saja meluap. Dengan wajah yang teduh itu, ibu menggeleng saat ayah menoleh padanya. "Jangan perlihatkan emosimu di depan Tsucchan. Kasihan. Dia pasti masih syok."

          Ayah menatap lagi gadis kecilnya, lantas menghela napas dengan berat. "Maaf, ya." Ia usap dahi Tsubaki. Sedikit panas. Anak itu masih dalam keadaan demam. "Yang penting kau cepat pulih dulu sekarang."

          Tsubaki meraih tangan ayahnya, meletakkannya di dada. "Ayah ...," ujarnya lemah. "aku takut ...." Tiba-tiba air matanya meluruh. Ia ingat sekarang. Ia merasakan kembali kondisi saat sebelum berada di sini, di kamarnya. Begitu ketakutan. Harapannya begitu pupus. Air sungai terasa memenuhi seluruh rongga di tubuhnya, mendorongnya semakin jauh ke dasar yang seakan tak tergapai. Ia, raganya ... seakan hendak menjumpai maut saat itu juga. Tsubaki bersiap untuk mati. Menangis pun tak ada arti. Dalam detik-detik terakhir itu, wajah ibu, ayah, keluarganya ... bermunculan bagai kaset yang diputar dalam benaknya. 

          Ayah yang menyadari keterguncangan putri kecilnya, segera memeluk Tsubaki dengan erat, berharap kehangatan yang menenangkan dapat tersalurkan darinya.

          "Maafkan ayah. Kalau saja ayah menyempatkan waktu untuk menjemputmu, pasti tidak akan seperti ini jadinya." Menelusup penyesalan yang mendalam di lubuk hati ayah. Biasanya, ia memang selalu meluangkan waktu untuk mengantar-jemput Tsubaki. Tetapi kali ini ada pekerjaan tambahan yang harus diselesaikan saat itu juga.

          Tsubaki melepaskan pelukannya dari ayah. "Ayah tidak salah." Kemudian tersenyum lebar. "Aku sudah tidak apa-apa, kok." Meski masih sesenggukan, matanya masih merah, dan wajahnya penuh dengan linangan air, pancaran mentari seolah tak bisa redup dari dirinya. Sikap Tsubaki yang seperti itu menghantarkan kelegaan dalam rongga dada kedua orangtuanya.

          Mereka bersyukur memiliki gadis kecil ini.

          "Kau anak yang baik." Ibu kembali menggenggam tangan Tsubaki. "Kau memang pantas dapat teman yang baik juga."

          "Ya. Untung tadi ada anak itu ya, Bu." Ayah menimpali. "Kau tahu, Tsucchan, tadi ibu bilang dia panik sekali saat anak itu datang ke sini, dengan baju yang basah kuyup, mengabari kalau kau tenggelam."

          "Tentu saja panik."

          "Ya, aku juga sangat panik saat tahu kabarnya."

          Tunggu dulu ... siapa yang mereka maksud? Tsubaki memandangi kedua orangtuanya dengan sejuta kebingungan.

          "Meskipun masih kecil, anak itu sangat berani lho, Tsucchan. Susah-payah dia menolongmu yang tenggelam, memukuli anak nakal yang mendorongmu, lalu dengan kondisi basah-kuyup, dia datang ke sini memberitahu ibu," terang ibunya panjang-lebar.

          Di tengah pencarian jawaban atas pertanyaan dalam benaknya, Tsubaki melihat setangkai bunga dogwood, tergeletak pada sisi dekat kepalanya. Bunga dogwood itu berwarna putih kehijauan. Masih segar, seperti baru saja dipetik dari kebun.

          Ia memang menyukai bunga itu. Dan mengira orang yang meletakkannya di sana pasti sangat tahu kesukaannya ini. Tsubaki belum paham bahwa bunga dogwood dapat melambangkan kesembuhan.

          "Maksud ayah dan ibu ... dia?"

          Tsubaki akhirnya bertanya sembari mengernyit dalam karena merasa sangat tidak mungkin. Ada satu orang yang tebersit dalam pikirannya, tapi ia tidak begitu yakin kalau orang ini yang telah menolong.

          "Benar! Untung saja kau pulang bersamanya," sang ayah menimpali lagi. "Coba kalau tidak ...." Tanpa meneruskan kalimatnya, ia menggeleng-geleng, tanda tak ingin hal-hal buruk dalam pikirannya terjadi.

          "Pulang bersamanya?" Tsubaki mengulang pernyataan itu. Ia mengerjap-ngerjap bingung, sama sekali tidak mengerti. Tebakannya sebelum ini ternyata salah. Lalu ... seingatnya, ia juga tidak pulang dengan siapa pun. "Ayah dan ibu sedang membicarakan siapa?" 

          "Lho, kau ternyata tidak tahu?" Ayah dan ibu saling pandang. Mereka pikir kedua anak ini pulang sekolah bersama-sama.

          Tsubaki menggeleng demi menjawabnya.

          "Itu, anak yang tinggal di sebelah rumah kita. Namanya ...." Ibu berusaha mengingat-ingat. Ia pernah beberapa kali melihat anak itu, tetapi jarang berpapasan.

          "Dia keluarga Takasugi. Takasugi Shiroichi."

          "Ah, ya, Shiro-kun."

          Setelah itu pembicaraan anak-baik-hati-yang-menolong-gadis-kecil-mereka masih berlanjut. Namun, Tsubaki sudah tidak mendengarkan lagi. Pikirannya berkelana. Dibanding tebakan sebelumnya, yang ini terdengar lebih janggal baginya.

          Masa sih, kakak itu yang menolongku?

You are My Dogwood [Extended Ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang