Ch.19 | Deliver a Bouquet of Flowers

84 26 1
                                    

Tenaga pada kaki yang terkayuh sudah berada di batas maksimal. Padahal sebelumnya Mizuki sudah mati-matian mengumpulkan energi yang tiba-tiba saja menyusut drastis. Ia sudah meminum obat methylphenidate dan obat antidepresan untuk mengurangi rasa lelah. Namun tetap saja, kali ini sistem imunnya lagi-lagi tidak bersahabat. Jadi daripada membuat sang nenek khawatir, ia putuskan untuk mengantarkan buket ke satu alamat saja di Distrik Kanazawa.

          Seto Bridge terlewati begitu roda-roda sepeda hendak mencapai lokasi yang dituju. Pemandangan di kanan-kiri serta tiupan angin sungai yang menenangkan seolah mengisi kembali daya tubuh yang Mizuki butuhkan. Ia mengambil napas panjang. Udara terhela dari rongga mulut bersamaan dengan terhentinya putaran roda sepeda.

          Ia sudah sampai.

          Dicermatinya rumah berlantai dua itu. Dengan pintu yang terbuka, genkan¹ dapat terlihat dari kisi-kisi gerbang utama. Sebuah perasaan asing menelusupi dada Mizuki yang kemudian berdegup tanpa diminta. Sejujurnya ia sendiri pun tidak yakin akan perasaan ini. Tetapi yang jelas, ia menjadi gugup karena sebentar lagi bertemu dengan pemilik rumah.

          Gerbang utama akhirnya terbuka begitu bel berdenting sampai tiga kali. Seorang kakek tua muncul dari sana. Menampakkan senyum yang merekah sempurna seperti mekarnya kelopak gerbera di sepanjang musim panas. Penuh dengan kebahagiaan dan harapan. Omong-omong, Mizuki baru teringat kalau buket yang ia bawa ini berisi rangkaian dari dua warna gerbera—merah muda dan jingga. Baru kali ini ia melihat selera dengan sosok orangnya memiliki kemiripan yang amat jelas.

          "Ah, dari Ume-san, ya?" Entah karena senyum yang terlalu lebar atau rabun dengan tingkat tertinggi, mata sang kakek menyipit, memperlihatkan satu garis sedikit melengkung.

          Aroma aster menguar begitu lengannya terjulur demi meraih buket. Sepertinya kakek ini habis mencoba parfum di tangan atau mungkin habis memperbaiki alat penyemprot parfum.

          Tanpa sadar napas lega terembus. Dengan mengetahui pilihan bunga yang disukai kakek ini saja, rasa sesak yang tertahan dalam dada Mizuki perlahan menguap. Kakek ini begitu penyayang. Begitu baik. Selalu penuh dengan cinta untuk segala sesuatu di sekelilingnya. Mizuki begitu yakin akan hal ini, karena feeling-nya terhadap bunga tidak pernah salah.

          "Semoga orang yang kakek cintai lekas sembuh, ya."

          "Terima kasih. Kau pasti tahu dari jenis bunga yang kupesan, ya?"

          Kelopak mata yang tersenyum menggantikan bibir Mizuki untuk menjawab. Dan sang kakek melanjutkan ucapannya, "Cucuku sangat ingin mengikuti olimpiade. Dia terlalu keras berlatih hingga melupakan kesehatannya sampai-sampai jatuh sakit. Dan sekarang, semangatnya jadi pudar. Ia tidak mau cepat-cepat pulih dan mengikuti olimpiade lagi karena takut menjadi racun bagi dirinya sendiri." Helaan napas memberi jeda bagi curahan hati yang belum usai. Senyum di wajah dan mata kakek sudah berubah sejak pertama kali membuka kisah ini. Dan ternyata, kelopak matanya tetap menyipit membentuk garis lurus.

          "Gerbera memang tidak serta-merta mengembalikan semangatnya. Tapi, setidaknya bisa sebagai simbolisasi bahwa harapan dan keinginannya itu adalah anugerah yang tidak boleh disalahkan. Kalau berhenti hanya karena luka yang dihasilkan demi memperjuangkan harapan dan keinginan itu, aku khawatir ia akan jadi orang yang di kemudian hari memaki diri sendiri karena telah bersukarela menyerah pada kegagalan."

          Raga yang dimiliki gadis di hadapannya seperti baru saja diterpa angin musim dingin. Seluruh aliran darah seolah terhenti karena beku. Sungguh, ucapan yang dilontarkan kakek, meskipun bukan untuk diri Mizuki, begitu menghantam batin dan membuat sesuatu bergejolak. Ia memang seringkali berada dalam titik itu. Titik di mana ingin menyerah untuk semuanya.

          "Ah, maaf kalau aku mengoceh tidak jelas." Kakek terkekeh begitu melihat Mizuki yang hanya terdiam.

          Namun, gadis itu justru menggeleng. "Aku sangat senang mendengar kata-kata bijak dari penyuka bunga seperti kakek."

          "Aku tidak seperti itu, kok." Tawa kakek terdengar patah-patah dan suaranya cukup serak. Ia sendiri merasa geli jika ucapannya disebut sebagai 'kata-kata bijak' secara gamblang. "Apa kau mau masuk dulu? Akan kusediakan ocha¹ agar kita bisa berbincang dengan lebih nyaman dan santai."

          "Maaf, Kek. Sebenarnya aku juga ingin. Tapi nenek menunggu di rumah." Karena saat ini aku sedang tidak bisa berlama-lama di luar. Kalimat terakhir ini dibiarkan menggantung di tenggorokan.

          Senyum semekar gerbera dari kakek lagi-lagi mencuri atensi penuh seorang Mizuki. "Baiklah. Kalau begitu, sampai bertemu lagi, ya."

          Mereka saling berpamitan. Gerbang utama ditutup. Pintu rumah masih terbuka seperti sebelumnya, memperlihatkan kakek di genkan dengan kedua lengannya sibuk menata sesuatu di atas getabako¹⁷.

          Sementara Mizuki belum beranjak dari tangga berundak di depan gerbang utama. Ia menghela napas, merasakan udara hangat yang seolah mengisi rongga dalam dada. Ia, sangat menyukai kakek ini, si pemilik rumah.

          Mizuki tidak khawatir lagi. Ia jadi bisa pulang dengan tenang sekarang.

          Kedua lengan ia sampirkan ke belakang tubuh. Netranya berkeliling, menelisik keadaan sekitar. Di depannya ada jalanan luas yang sepi. Hanya ada sesekali kendaraan melintas. Jalanan yang tadi dilewatinya menuju rumah kakek.

          Beberapa rumah menyimpan pohon berhektar-hektar tingginya di pekarangan. Namun, tidak ada di antara mereka yang memiliki kebun.

          Oh, iya, ada satu. Persis di sebelah rumah si kakek. Kebun yang cukup luas.

          Lalu netranya berhenti mengedar kala melihat sosok yang hari ini membuatnya tidak bersemangat.

          Takasugi Shiroichi. Pemuda itu duduk di kursi depan kebun, memutar-mutar sesuatu pada jemari. Mizuki pun membetulkan posisi bingkai kacamata agar mengapit batang hidung dengan benar. Mata minusnya dipaksakan untuk fokus.

          Lalu ....

          Hanamizuki?

          Pemuda casanova itu sedang memegang dogwood?

          Apa ia tidak salah lihat?

          Satu tangkai dogwood itu terkulai menyedihkan di tangan Shiroichi yang besar. Terlihat jelas bahwa sudah digenggam cukup lama.

          Apa memang betul dia suka bunga dogwood, ya? Jadi pujiannya pada dogwood di sekolah bukan karena ada maksud tersembunyi?

          Mizuki menggeleng keras-keras karena sempat berpikir saat itu Shiroichi bermaksud merayunya. Yang benar saja. Itu tidak akan mungkin terjadi. Ia tidak mungkin menjadi objek rayuan karena ... yah, tidak perlu dijelaskan. Lihat saja dirinya yang lusuh dan tidak menarik sama sekali ini.

          Dari dogwood layu di tangan Shiroichi, kemudian perhatiannya beralih ke wajah pemuda itu. Dan terekspos tatapan amat kosong di sana.

          Melihat sang casanova sekolah dengan keadaan seperti itu membuat Mizuki tertegun. Netra cemerlang penuh pesona yang biasanya ia lihat tergantikan dengan kelabu.

          Ia seharusnya tidak peduli. Sewajarnya tidak mau berurusan dengan orang yang sudah seribu kali mematahkan hati wanita itu. Biar saja. Itu karmanya. Paling-paling masalah cinta.

          Tapi sangat sial. Kata hati tidak mau bekerjasama dengan logika. 

          Mizuki tidak bisa berpura-pura untuk tidak peduli.





======== Glosarium ========

[15] Genkan = Secara bahasa, genkan berarti pintu gerbang. Namun, jika membicarakan elemen rumah tradisional Jepang, genkan adalah area dalam rumah setelah pintu utama yang lebih rendah dari lantai rumah. Berfungsi sebagai transisi antara bagian luar dengan bagian dalam.

[16] Ocha = Teh dalam Bahasa Jepang.

[17] Getabako = Rak sepatu

You are My Dogwood [Extended Ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang