N!TW---20: Pulang

31 14 41
                                    

Pelan-pelan mata Angel terbuka. Namun, dia mendapati dirinya di kamar yang berbeda. Ya, kamarnya yang lama. Lantas, Angel pun membuka selimut dan duduk berayun di tepi kasur, masih dengan sesekali mengusap wajahnya. Angel memandatangi tas dan koper yang telah terjejer di depan lemari bajunya.

“Tempat ini lagi. Tempat di mana semua kesakitan itu terjadi. Sama saja di rumah Budhe, berasa hidup aku nggak ada pilihan. Namun, aku harus kuat. Papa dan Mama … apakah mereka benar-benar akan melakukan hal itu? Aku lega jika Mama terbebas dari Papa, tetapi sisi lain, aku ingin mempunyai orang tua yang sehat hubungannya, merasakan bahagia keluarga inti yang utuh dan saling menyayangi dengan ikhlas. Aku capek pada semuanya. Namun, apa yang harus aku lakukan?” gumam Angel sendiri sesekali menghela napas agar dadanya tidak semakin sakit.

Meskipun Angel telah berusaha menahan semuanya, air matanya luluh juga. Entah mengapa, bendungan pada matanya sudah tak kuasa menahan air itu sehingga mereka nekat banjir kembali.

“Tuhan, aku ingin kembali. Namun, apakah aku bisa langsung berada di pangkuan-Mu?” tanya Angel, bekata sendiri di sela-sela air matanya yang semakin deras. Dia menunduk, seakan Angel sudah tak bisa mengangkat kepalanya lagi.

“Kamu bilang apa, Ngel?” tanya Salsa yang tiba-tiba sudah jongkok di depannya dengan menatap wajah Angel yang masih tertunduk. “Angelika Mentari yang aku kenal nggak seperti ini. Nggak mungkin ‘kan kamu akan mencoba membunuh dirimu lagi? Kamu nggak akan berhasil, Ngel, karena Tuhan masih mempercayakan hidup kepadamu.”

“Hidup macam apa yang Tuhan berikan kepadaku, Mbak? Sudah cacat hubungan Papa dan Mama seperti itu. Lingkungan juga membuangku. Di sekolah? Di-bully. Hidup aku nggak ada pilihan, Mbak!” bantah Angel dalam derai air matanya.

Mendengar bantahan Angel, Salsa tertawa sinis.

“Kamu yang bodoh, Angel,” sanggah Salsa lalu dia berdiri.

Perkataan Salsa membuat Angel mendongak. Angel heran dengan hal tersebut. 

“Kenapa aku yang bodoh, Mbak?” tanya Angel menatap Salsa.

“Iya, sangat bodoh malah. Kamu hidup saja dibuang, Ngel. Apalagi mati. Nggak ada yang peduli sama kamu,” ucap Salsa sesekali tertawa sarkas.

Ejekan Salsa membuat Angel tertawa dalam tangisanya lalu setelah mereda, dia menghela napas.

“Lalu apa yang harus aku lakukan? Bertahan di sini? Rasanya makin sakit, Mbak,” sanggah Angel.

Mendengar jawaban tersebut, Salsa jongkok kembali, lantas dia mengenggam kedua tangan Angel lembut.

“Hidup kamu masih ada pilihan, Ngel. Tuhan memberimu kesempatan hidup bukan untuk disesali. Namun, hanya melunasi janjimu dengan baik. Yang harus kamu lakukan, jalani dan pastikan pada dirimu kalau kamu bukan manusia lemah,” nasihat Salsa. “Kamu belum salat asar ‘kan? Salat, yuk! Biar tenang. Aku anterin wudu, ya? Sudah, air matanya nggak boleh keluar lagi.”

Sebelum mengiakan ajakan Salsa, Angel menatapnya kembali dengan sendu dan menghapus air mata itu.

“Mbak mau pulang jam berapa sama Kak Hans?”

“Nanti habis isya aku pulangnya.”

“Angel benar, harus menuruti Mama?” tanya Angel ingin diyakinkan.

“Iya, turutin Mama, ya.”

 “Sekolah bareng Vivia dulu?” 

“Iya, sama Vivia. Kamu online dari sini dan offline di sana nggak keberatan ‘kan? Tuh, soal sudah di meja! Nanti tinggal kirim lewat pos. Laptop barumu juga sudah ada, lho. Tadi sebelum kamu pulang kita beliin pakai uang receh tabunganmu,” kata Salsa bercerita.

Not The WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang