1. Kenangan Mereka & Kacaunya Takdir

9K 239 31
                                    

Anak lelaki mungil itu, tak lelah memandangi seseorang di hadapannya, yang kini sibuk memetik bunga melati dari tangkainya. Saking fokusnya sang anak lelaki, Bumigantara, ia sampai tak menyadari ketika anak perempuan mungil yang sibuk ia tatapi, kini telah kembali duduk disisinya.

"Nih, buat kamu". Ucap sang anak perempuan.

Bumi mengerutkan keningnya, dengan ragu meraih sebuah bunga yang disodorkan untuknya. "Bunga?".

Sang anak perempuan mengangguk. "Itu wangi banget loh, bunganya. Coba deh, kamu cium".

Bumi kecil itu menurut, mendekatkan bunga di tangannya ke arah indera penciuman. Bumi lantas menghirup aroma wangi yang membuat matanya membulat seketika. "Waaaah.. Iya, wangi!".

Bocah perempuan disebelah Bumi tersenyum. "Itu bunga melati. An suka banget wanginya. Soalnya, Ibu wanginya mirip sama wangi bunga itu".

Bumi memperhatikan lawan bicaranya, matanya sibuk meneguk pemandangan wajah mungil yang terlihat cantik bahkan di usianya yang masih anak-anak. Anak perempuan yang membahasakan dirinya dengan nama 'An' itu, memiliki kulit yang putih, dengan rambut kecokelatan yang kini dikepang dua di masing-masing sisi.

"Bumi, Ansara, ayo, masuk, nak. Makan siang dulu". Sebuah sahutan dari dalam rumah membuat keduanya menengok ke belakang.

"Iya, Bu!". Ansara menunjukkan cengiran khas miliknya, kemudian berseru pada Bumi. "Ayo, kamu harus cobain masakan Ibuku, enak banget, tau".

Tanpa menunggu jawaban Bumi, Ansara menarik tangan sang bocah lelaki, mengajaknya berlarian untuk masuk kedalam rumah sederhana yang Ansara dan keluarganya tinggali.

Menyisakan sebuah kenangan akan pertemuan Bumi dan Ansara yang bahkan hanya teringat samar di pikiran mereka, sebab saat itu, keduanya masih sama-sama kecil.

Menggariskan takdir pertemuan diantara mereka, yang nantinya akan disulamkan benang jodoh baik oleh kedua keluarga masing-masing, maupun oleh takdir dan tuhan di kemudian hari.

———

"Kalau anak kita lahir nanti, kamu mau kasih nama siapa, Mas? Udah kepikiran belum?". Ucap Ansara pada Bumi yang kini tengah merebahkan kepalanya di pangkuan sang puan.

Bumi yang semula memejamkan mata, lantas membuka matanya. Lelaki itu terlihat berpikir sejenak sebelum merespon. "Hmm.. Jujur, saya belum kepikiran. Yang jelas, saya gak mau dia pakai nama keluarga saya".

Ansara mengerutkan keningnya. "Kenapa, Mas?".

"Saya gak mau, dia punya beban yang sama dengan saya. Dengan mewarisi nama Dhiagatri, nantinya akan membuat dia dikenal banyak orang, dan mungkin diharapkan jadi penerus usaha keluarga. Saya gak mau, apa yang terjadi di saya, sampai terjadi ke dia juga. Biar dia tentuin sendiri masa depannya nanti, saya gak akan setir dia". Jelas Bumi, berceloteh, menyuarakan isi hatinya.

Ansara tersenyum mendengar jawaban Bumi. Jemarinya menyusur pada sepanjang garis rahang sang suami. "Kamu udah mikir sejauh itu, ya, Mas?".

Bumi menatap kearah Ansara, ikut menyinggungkan senyumnya. "Ya, iya, dong, sayang. Saya kan gini-gini planner perusahaan juga, makanya Gepa percaya ke saya. Urusan perusahaan aja saya mikirnya mateng, apalagi urusan anak".

Kali ini, Ansara terkekeh. "Kalo gitu.. Artinya, Tuhan gak salah milihin kamu buat aku".

Bumi lantas bangkit, kemudian memilih untuk duduk disisi Ansara di kasur luas mereka, guna menatap sang puan lebih baik. "Kenapa, tuh?".

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now