3. Malaikat Tak Bernama

4.5K 203 15
                                    

Bumi berjalan keluar dari ruang Dokter dalam keadaan lemas. Lelaki itu melangkahkan kakinya menuju ke meja administrasi, mengambil nomor urut, sebelum akhirnya kembali duduk di kursi ruang tunggu. Raganya merasa ragu, takut apabila sampai salah mengambil keputusan. Namun, mungkin inilah yang terbaik.

"Nomor antrian 809".

Panggilan dari pengeras suara, membuat Bumi menoleh. Lelaki itu tak lantas bergerak, masih memandangi kertas antrian di tangannya. Ragu menyergap hatinya, sebab ini adalah satu hal yang bisa menentukan takdir Ansara kedepannya.

Bumi memejamkan mata, berupaya menguatkan diri sekaligus meyakinkan diri untuk melangkah sekali lagi ke meja administrasi yang beberapa jam lalu ia datangi. Lelaki itu bercakap pada suster yang berjaga di meja administrasi, mengucapkan niatnya.

Beberapa lembar kertas disajikan untuknya, menanti untuk ditandatangani sebagai bentuk persetujuan keluarga. Bumi menatap nanar pada kertas tersebut. Sebab, segera setelah ia menorehkan tinta diatasnya, maka untuk selamanya, kehidupan Ansara akan berubah untuk kedepan.

"Maafin saya, An". Bisiknya sebelum menandatangani berkas persetujuan.

Setelahnya, semua berjalan begitu cepat. Dimana sekali lagi, Ansara mendapatkan tindakan. Raut-raut sedih dan khawatir milik orangtua Ansara menyambut tatkala Bumi kembali ke depan ruang operasi. Dikarenakan ini adalah operasi yang tidak biasa, maka Bumi pun tidak diizinkan masuk.

Usai menjelaskan secara singkat perihal yang terjadi dengan Ansara pada Ibu dan Bapak sang puan, lelaki itu kembali terduduk, saking lemasnya. Hilang sudah tenaga bersamaan dengan hancurnya segenap perasaan yang ia miliki. Tangisan dari Ibu Ansara disampingnya, menambah pilu yang menekan hatinya makin dalam.

Diam-diam, ayahanda dari Ansara juga menjatuhkan airmata. Tak kuasa membayangkan betapa besar perjuangan yang harus putrinya alami di sepanjang hidup. Berpikir bahwa seharusnya, ia bisa menjadi sosok Ayah yang jauh lebih baik lagi dari sekarang.

Ketiganya terdiam, menanti waktu bak manusia yang tak lagi memiliki kemampuan berpikir. Otak mereka tumpul, sebab isi kepala yang begitu riuh berbising. Raga mereka lelah, namun batin mereka memberontak, sedang hati merapal doa untuk dua orang yang tengah berjuang di ruang operasi saat ini.

Yaitu Ansara, dan seorang malaikat kecil yang tak bernama.

Tepat empat puluh lima menit setelahnya, pintu ruang operasi terbuka, menunjukkan seorang perawat yang menongolkan wajahnya sebelum keluar dari ruangan. "Suami dari pasien Ansara?".

Bumi yang tengah termangu, langsung berdiri. "Iya? Saya, sus".

"Putra Bapak sudah lahir dalam keadaan sehat, saat ini tengah dibersihkan dan akan dibawa ke baby room. Silahkan jika setelah ini ingin menjenguk". Ucap sang suster.

Ucap syukur terdengar dari kedua orangtua Ansara, namun tidak dengan Bumi, ia bahkan sama sekali tak menanggapi. "Istri saya gimana, Dok?".

"Untuk pasien, baru saja selesai dilakukan caesario dan saat ini sedang dilakukan tindakan Histerektomi sesuai yang dibicarakan sebelumnya. Kondisi pasien masih terbilang normal, hanya saja ia banyak kehilangan darah selama operasi, hingga terus kami lakukan transfusi. Untuk lebih lengkapnya, nanti Dokter yang akan jelaskan seusai tindakan". Jelas sang Suster secara singkat.

Bumi merasakan nafasnya tercekat saat mendengar kondisi Ansara. Gadis hebat itu hingga detik ini masih berjuang melawan mautnya, setelah menghadiahkan seorang putra yang sebenarnya tengah mereka nanti-nanti. Tapi, di kepala Bumi, saat ini, tidak ada satu hal pun yang terpikirkan, selain keselamatan Ansara.

"Mohon maaf, untuk bayinya apa sudah ada nama? Jika sudah, akan kami data untuk arsip di baby room". Pertanyaan suster, nyaris tak terdengar di telinga Bumi.

Baik Ayah maupun Ibu Ansara menatap Bumi dengan khawatir. "Apa.. Sudah ada namanya, Nak?".

Bumi menggeleng lemah. "Saya dan istri saya belum putuskan, maaf. Dan untuk pemberian nama, saya akan menunggu sampai istri saya siuman. Karena pemberian nama, bukan cuma hak saya, tapi juga dia".

Ketiga orang di hadapan Bumi, nampak bingung saat mendengar jawabannya. Namun, mereka mengerti. Sang suster kembali mengingatkan. "Mohon maaf sebelumnya, Pak. Namun, ketentuan dari rumah sakit, mengharuskan untuk setiap bayi yang lahir langsung diberikan nama, agar bisa dibuatkan rekam medisnya".

Bumi tak bersuara, sebab tak mampu mendebat. Hingga akhirnya, Ibunda Ansara menengahi. "Tolong dikasih waktu ya, Sus. Mohon pengertiannya. Kedua anak saya sedang tidak dalam kondisi yang memungkinkan".

Sang Suster terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menyetujui. "Baik kalau begitu. Kalau bisa, segera dibantu untuk namanya ya, Bu, Pak. Saya permisi".

Bumi kembali luruh di kursi, isi kepalanya makin riuh.
Melihatnya, Ibu Ansara berbisik pada sang Ayah agar membelikan Bumi minuman hangat dan roti di kantin bawah, sebab tahu bahwa lelaki itu benar-benar nyaris kehilangan seluruh tenaganya. Sang Ayah menyetujui, memutuskan untuk meninggalkan keduanya untuk membeli makanan dibawah.

"Bapak lagi beli teh dan roti, nanti kamu makan ya, Bumi. Habis itu tidur aja sebentar disini, wajahmu udah pucat banget. Ibu takut kamu kenapa-kenapa". Ucap sang Ibu, dengan lembutnya, wanita itu mengusap pundak Bumi. "Ibu tahu, kamu lagi terguncang.. Tapi, anakmu juga butuh kamu, Nak. Ibunya lagi dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memberi perhatian. Setidaknya, kamu, sebagai ayahnya, bisa mengisi perannya sebentar".

Bumi menoleh, seakan menemukan Ansara tengah menyemangatinya melalui sang Ibu, sebab mereka begitu serupa. Begitu lembut dan penuh tutur baik. "Iya, Bu. Bumi cuma kepikiran An".

Sebuah ruang kubik mungil yang terbuat dari kaca bening didorong keluar dari dalam ruangan, dengan dua orang perawat yang mendorongnya cepat. Kedua pasang mata milik Bumi dan Ibu Ansara bergerak mengikuti. Sang wanita lebih dulu berucap dengan senyum di wajahnya. "Anakmu, Bumi..".

Bumi hanya menatap sekilas, sebelum membuang tatapnya. Lelaki itu kembali menatap kosong ke arah ruang operasi. Melihatnya, Ibu Ansara menatap sendu, tahu bahwa lelaki disebelahnya tengah betul-betul terguncang. Saking terguncangnya, ia sampai acuh pada malaikat kecilnya sendiri.

Usai menyantap sesuap roti yang diberikan oleh orangtua Ansara, benar saja, Bumi langsung terlelap terduduk di kursi. Tubuhnya tak lagi mampu menahan lelah yang sudah menjalar. Butuh waktu satu jam sampai ruang operasi kembali terbuka dan menunjukkan sang Dokter yang tengah melepas maskernya.

"Keluarga Nyonya Ansara".

Baik Bumi, maupun kedua orangtua Ansara, berdiri, menyambangi sang Dokter yang kini menatap dengan yakin. Dokter itu mengangguk. "Sukur, operasinya berjalan lancar. Histerektomi berhasil dilaksanakan dengan optimal, jahitan pun sudah dilakukan. Pasien saat ini dalam kondisi normal, namun dalam kondisi tidak sadar dikarenakan bius total yang dilakukan. Seharusnya, tak butuh waktu lama sebelum pasien bangun".

Kali ini, Bumi bernafas lega, lega bukan main. Senyumnya bahkan mengembang, sedang airmatanya jatuh tak terbendung. "Saya bisa ketemu dia, Dok?".

Sang Dokter kembali mengangguk. "Bisa, Pak. Setelah ini, pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat, agar bisa dipantau perkembangannya. Silahkan di tunggu".

Bumi mengusap wajahnya penuh syukur . "Terimakasih, Dok".

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now