18. Sebuah Ajakan dari Alam Mimpi

1.5K 149 17
                                    

Suara pintu kamar yang dikunci, membuat Bumi tak lagi mengejar Ansara.

Fisiknya kian lemah, pun rasa sakit di kepala dan perutnya terus menghantam. Dengan sepenuh tenaga, lelaki itu memutuskan untuk memaksakan diri berjalan menuju ke kotak First Aid. Jemarinya sibuk mencari aspirin, berharap dapat meredakan segera rasa nyeri yang bersarang di kepala.

Bumi tidak boleh kolaps sekarang. Keadaannya sedang tidak memungkinkan. Seluruh hal di hidupnya sedang butuh diperbaiki, terutama berkaitan dengan pekerjaan dan pernikahannya.

Usai menenggak sebutir aspirin, Bumi lantas menjatuhkan diri di sofa ruang tamu, membiarkan perlahan rileks menjalar di setiap jengkal tubuhnya. Dan pada akhirnya, alam mimpi menyambutnya. Terbangun ia di hamparan rumput hijau, begitu tenang dan damai.

Tapi, entah mengapa rasanya begitu.. Kosong.

Bumi lantas berjalan, terus melangkahkan kakinya perlahan menuju entah kemana, seakan tengah hilang. Hingga satu panggilan dari balik punggungnya, membuatnya menoleh.

"Bumi".

Bumi kenal suara itu. Jelas ia sangat mengenalinya.

"Diandra".

Sosok Diandra disana terlihat begitu cantik dengan balutan busana serba putih. Ia tersenyum manis, kemudian kembali bersuara. Persis seperti yang Bumi ingat, nadanya mengalun lembut. "Iya, ini aku".

"Tapi.. Kamu kan..?". Bumi tak mampu menyelesaikan kata-katanya. Terhenti begitu saja saat menyadari sekitarnya nampak tidak seperti dunia nyata. "Kita dimana sekarang?".

Sosok Diandra itu tidak lantas menjawab. Hanya kembali tersenyum sebelum kembali bersuara. "Kamu gak perlu tahu. Yang jelas, disini damai, Bumi. Gak seperti dulu".

"Maksudnya?". Kening Bumi berkerut seketika.

Sosok cantik itu mengulurkan tangannya. "Kamu mau ikut aku? Kita bisa hidup sama-sama disini. Seperti apa yang kita pernah impikan dulu".

Bumi menatap uluran tangan itu, bimbang sebab tidak yakin meraihnya adalah jawaban yang benar. "Aku punya Ansara dan Biel, anakku, sekarang, Diandra".

Lantas, Diandra menarik kembali tangannya. Senyumnya kembali mengembang. "Iya, aku tahu. Kamu harus kembali ke mereka. Kalo gitu, aku pergi dulu, ya? Aku gak bisa lama-lama".

"Tunggu, Di, sebentar". Cegah Bumi, lantas maju satu langkah guna mendekatkan diri dan berbicara lebih jelas. "Aku.. Minta maaf. Untuk semuanya. I put you in so much suffer up until your last breath. Aku benar-benar.. Minta maaf".

Sosok cantik itu malah tertawa, manis sekali. Diraihnya wajah Bumi dengan lembut menggunakan sebelah tangan. Dalam sejenak, Bumi seakan merasakan hangatnya terpancar. "Semuanya udah terjadi, Bumi. Kamu gak pernah salah. Takdir yang memang gak berujung untuk kita. Aku pun sekarang udah bahagia disini".

Panas di kedua pelupuk mata Bumi, berhasil membuatnya menjatuhkan airmata. "Will I ever see you again after this?".

"Hanya kalau kamu menyerah akan kehidupanmu dan menginginkan kehidupan yang lain". Jawab Diandra, retoris.

Hingga pada akhirnya, Diandra perlahan melangkah mundur, dan berbalik. Satu cahaya terang menyapa netra Bumi, membuatnya buta untuk entah berapa lama. Dan pada saat netranya kembali berfungsi, Bumi kembali menatap langit-langit rumah megahnya.

Mimpi apa barusan?

Apa mungkin.. Seluruh bersalah itu, masih membekas di benaknya?

Atau mungkin justru itu adalah..

Ajakan kematian?

Bumi menggelengkan kepalanya, merasakan rasa sakit di kepalanya yang mulai ringan setelah beristirahat. Namun gantinya, perutnya kini nyeri bukan main. Tidak heran, sebab perutnya pun dibiarkan kosong sejak kemarin.

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now