28. Hilang Keinginan

1.6K 216 64
                                    

Semenjak sadarkan diri, Bumi sama sekali tak lagi bereaksi apapun, bahkan saat sang Mama menghampiri dan mengajaknya berbicara berulang kali. Bagai tak memiliki kemampuan mendengar maupun berbicara, Bumi benar-benar tidak responsif. Bahkan ketika tim dokter mencoba berbicara padanya dan menanyakan kondisinya, mencoba menggali informasi mengenai apa yang ia rasakan, Bumi tetap tak bergerak.

Hanya netranya yang berkedip sesekali, namun bagian tubuhnya yang lain nyaris tak bergerak sedikitpun. Lelaki itu menatap kosong keatas, ke arah langit-langit rumah sakit berwarna putih yang terhampar diatasnya.

"Nampaknya, pasien mengalami syok, atau guncangan yang cukup hebat. Sebab setelah kami lakukan pemeriksaan menyeluruh, secara fisik, pasien hanya perlu mendapatkan pengobatan intensif dengan obat-obatan melalui infus untuk mengobati sisa luka di lambungnya. Pasien juga sudah mendapat painkiller untuk mengatasi rasa sakit. Untuk itu, kami mencari tahu perihal perilaku non responsif yang terjadi pada pasien sekarang. Saya sudah sempat konsultasi dengan Dokter spesialis saraf, beliau menyatakan kondisi pasien dalam keadaan baik. Jadi, kami khawatir, ini bukan lagi soal sakit fisiknya". Jelas Dokter internis yang bertugas menangani Bumi.

Raut gelisah tercipta di wajah keluarga Bumi. Sang Mama nampak khawatir bukan main. "Maksudnya bukan sakit fisik gimana, Dok?".

"Saya khawatir ini salah satu gejala dari depresi atau gangguan mental lainnya yang memerlukan penanganan segera. Untuk itu, saya sudah menjadwalkan rujukan untuk pemeriksaan dengan psikiater, Dokter Evan namanya. Jika memang diperlukan pengobatan psikotropika ataupun terapi, maka beliau yang akan menangani". Jelas sang Dokter.

Wajah-wajah yang semula gelisah itu berubah terkejut. Nampak tak menyangka betapa seriusnya masalah yang tengah menimpa Bumi sekarang. Kali ini, Prastha gantian berbicara. "Adik saya memang ditemukan dalam keadaan percobaan bunuh diri, Dok".

Sang Dokter mengangguk, seakan menganalisa. "Baik, terimakasih infonya. Kalau begitu, besok, setelah pengecekan dengan Dokter Evan, kami akan observasi lebih lanjut".

Sang Papa yang mendapati betapa hancur kondisi anaknya, lantas segera masuk kedalam ruang rawat. Jiwanya seakan terguncang saat menemukan Bumi yang masih dalam keadaan sama sejak mereka meninggalkan ruangan. Diam dan tak merespon. Papa berjalan mendekat, kemudian berdiri disamping tempat tidur yang Bumi tempati.

"Papa kembalikan aset perusahaanmu. Apa lagi yang kamu butuhkan? Bilang ke Papa sekarang. Semuanya akan Papa berikan. Asal kamu sadar dan bersikap seperti biasa". Ucapnya lantang, namun suaranya terdengar bergetar.

Tak ada reaksi apapun dari Bumi. Lelaki itu hanya terdiam bak patung yang tuli dan bisu. Bola matanya pun tak bergerak sedikitpun kearah sang Papa. Seakan, perkataan apapun yang masuk ke telinganya sekarang terhambur begitu saja tanpa bisa diproses di kepala.

Prastha yang mengekor, lantas menarik figur Papanya itu menjauh. "Stop, Pa".

"Bangun Bumi! Jangan berlaku seperti mayat hidup!". Seru sang Papa, nampak tak berniat mundur sedikitpun.

Kali ini, Prastha mendorong sang Papa kesamping, bersikap layaknya tameng untuk adiknya. "Pa! Stop! Jangan ngomong apa-apa lagi! Percuma, Bumi gak akan dengar apapun yang kita omongin sekarang. Dan seharusnya, yang keluar dari mulut Papa itu kata maaf, bukan amarah".

"Prastha bener. Papa harusnya minta maaf ke Bumi.. Bukannya nuntut dia lagi untuk bangun disaat dia bahkan gak bisa kendaliin dirinya". Sahut sang Mama dengan suara pelan, begitu lemas.

Sang Papa terdiam, lelaki itu nampak begitu terpukul. Namun, sifat kerasnya yang entah bagaimana ikut turun ke Bumi, masih saja mendominasi. Tanpa berkata apapun lagi, lelaki paruh baya itu akhirnya memilih keluar dari ruangan, meninggalkan istri dan kedua anaknya didalam.

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now