10. Alasan Bertahan

3.4K 232 31
                                    

"Masih sakit?".

Bumi menganggukkan kepalanya pelan guna menjawab pertanyaan Ansara, sembari mengusap dahinya pelan, merasakan panas disana akibat terbentur stir mobil. "Masih, nyut-nyutan kepala saya nih".

Bukannya khawatir, Ansara malah terkekeh. "Lagian siapa suruh benturin kepala ke stir, sih, Mas?".

"Ya, gak ada. Orang saya gak sadar gara-gara keenakan sama mulutmu". Sahut Bumi santai, membuat Ansara sontak berhenti tepat di depan pintu rumah mereka.

Satu pukulan melayang di dada Bumi. "Hus! Kamu, nih, ngomongnya sembarangan banget. Kalo Bi Mai denger gimana? Kita kan udah di rumah".

Bumi mengedikkan bahunya. "Biarin aja, udah gede ini Bi Mai. Lagian, tadi mulutmu jauh lebih sembarangan ke saya".

Setelahnya, Bumi menarik dagu Ansara untuk mengecup kening sang puan, memberi satu kecupan lembut yang sarat akan sayang. Dan sukses, Ansara tersihir diam begitu saja, tidak lagi menanggapi candaan Bumi untuknya.

Keduanya lantas masuk kedalam rumah, mengedar pandang ke ruangan luas didalam guna mencari presensi Gavabiel dan Bi Mai, yang nyatanya tengah berada di ruang tamu. Binar di kedua netra indah milik Ansara, langsung terlihat tatkala mendapati pemandangan anak lelakinya tengah tertidur di dalam pelukan Bi Mai.

Bi Mai menoleh saat menyadari kehadiran keduanya. "Eh, Non, Den, udah pulang".

"Biel rewel gak, Bi?". Sahut Ansara seraya menghampiri sang putra.

Bi Mai menggeleng pelan. "Sama sekali enggak, Non. Anteeng banget, persis Den Bumi waktu kecil. Nangisnya kalau haus aja, dikasih susu langsung tidur lagi".

Ansara meraih Gavabiel dari pelukan Bi Mai, lantas menggendongnya nyaman dan mengecup keningnya singkat. "Makasih udah pinter, ya, Nak.. Anak baik Bunda".

Melihat pemandangan itu, Bumi tersenyum, lantas memindahkan tatap ke Bi Mai. "Bi, saya sama Ansara tadi habis lihat rumah. Rencananya, akhir bulan ini, kita semua akan pindah kesana. Disana jauh lebih luas dari rumah ini. Jadi, nanti, akan ada satu orang lagi yang bantu Bi Mai untuk bersihin rumahnya. Bi Mai mau kan ikut pindah dan bantu kami disana? Lokasinya gak jauh dari sini, kok".

Ansara lantas ikut menatap kearah Bi Mai. "Mau ya, Bi? Biar tetep ada yang temenin An dan Biel kalo Mas Bumi lagi kerja. Kalo gak ada Bi Mai, An pasti bakal kesepian banget tinggal di rumah sebesar itu..".

Bi Mai tersenyum, merasakan hangat di dadanya tatkala mendapati kedua orang yang memperkerjakannya tersebut, justru menganggapnya bak keluarga yang dibutuhkan. Ia pun mengangguk tanpa ragu, menyetujui. "Bi Mai ikut aja, Den, Non".

Ketiga manusia disana saling tersenyum, layaknya sebuah keluarga meski tidak ada ikatan darah diantara ketiganya. Sedang sang mungil di pelukan Ansara terkekeh dalam tidurnya, layaknya ikut mengamini kebahagiaan yang melingkupi.

———

Malam menjelang, kediaman Ansara dan Bumi, didatangi kehadiran Mama Bumi, yang sengaja datang untuk menjenguk cucu kesayangannya. Raut bahagia tergambar di wajah wanita itu tatkala menggendong Gavabiel di pelukannya, menimangnya bak merasakan nostalgia tatkala menimang Bumi dahulu.

Ansara datang menghampiri sang Mama yang kini tengah berada di ruang tamu, senyum tercetak di wajahnya tatkala menemukan Gavabiel tertidur nyaman di pelukan sang nenek. "Biel betah kayaknya digendong Mama".

Mama Bumi tersenyum. "Anteng banget ya, anak ini. Persis banget sama Bumi dulu".

Ansara terkekeh. "Saking miripnya sama Mas Bumi, sampai gak ada mirip-miripnya sama An, Ma. Sedih juga rasanya".

BUMIGANTARAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant