23. Ancaman Berpisah

1.8K 162 33
                                    

Bumi menekan layar ponselnya berulang kali dengan frustasi, meski terus saja menemui kenyataan bahwa panggilannya tak terjawab. Usai mendapati keadaan yang begitu diluar kendali, lelaki itu merasakan gelisah yang menjeratnya di sekujur tubuh. Lagi-lagi, ketakutan terbesar lainnya yang selama ini terkubur, terjadi juga.

Dimana pilar terbesar di hidupnya, keluarga mungilnya, kini pergi meninggalkannya disaat Bumi tengah babak belur.

Ansara tidak menjawab panggilannya, pun juga meninggalkan pesan apapun untuknya. Ia seakan hilang bagaikan lenyap begitu saja. Padahal, Bumi rindu keduanya setengah mati. Ia rindu Ansara dan Gavabiel, ingin sekali memeluk keduanya sekaligus dalam upaya mengatasi sakit yang ia rasakan dari luar sana.

Tapi, kenyataan berkata lain. Bukannya pelukan, kehampaan lah yang Bumi terima di akhir.

"Saya harus cari mereka kemana, Bi...". Ringis Bumi ditengah usaha menelepon tanpa henti, tanpa sadar menunjukkan kerapuhannya yang tak lagi bisa dibendung.

Bi Mai berdiri di sisi Bumi yang masih terduduk lemas di kasur, rautnya khawatir pun bercampur dengan iba. "Non An gak bilang apa-apa sebelum pergi, Den? Atau mungkin, ada keadaan yang mendesak makanya Non pergi buru-buru, lupa bilang ke Den Bumi..".

"Ansara tinggalin saya lagi, Bi..". Desau Bumi bak kehilangan akal, sama sekali tak mampu merespon dengan benar pertanyaan Bi Mai.

Nyeri rasanya saat Bi Mai melihat anak lelaki yang dulunya ia sempat rawat sejak kecil, kini terlihat tak seperti biasanya. Bumi terlihat menyedihkan, bahkan bagian pipinya makin cekung kedalam. Seakan telah kehilangan bobot drastis dalam waktu singkat.

"Den, tenangin diri dulu, ya. Biar Bibi ambilkan teh, Den Bumi udah makan?". Tanya Bi Mai, seraya menatap wajah gelisah itu.

Bumi menggeleng. "Gimana saya bisa makan dalam kondisi begini, Bi..?".

Dan belum sempat Bi Mai menjawab, Bumi sudah menunduk frustasi, mengeluarkan isaknya pelan, seakan sesak telah mengisi relungnya untuk waktu yang cukup lama. Lelaki itu terlihat begitu rapuh sekarang, seakan dirinya sudah tak lagi bernyawa.

Dan dalam sepersekian detik, Bi Mai ikut menghapus sebulir airmata. Batinnya nyeri sebab sudah lama sekali rasanya tak melihat Bumi menangis seperti itu. Terakhir, hal itu mungkin terjadi saat ia masih kecil dan kehilangan mainan kesayangannya. Selama ini, Bumi terlihat begitu kuat, begitu tak terkalahkan. Lelaki itu selalu bersikap seakan dunia berlaku baik kepadanya, meski sebenarnya, ia selalu memendam semua gelisah dan sakit di dalam diri.

Dan kali ini, ia runtuh tak bersisa. Terisak habis disana. Berharap bahwa semua kepahitan yang kini ia rasakan hanya sebatas mimpi buruk belaka.

———

"Ansara".

Wanita paruh baya itu terkejut tatkala menemukan Ansara berdiri dibalik pintu dengan menggendong bayi mungil yang tengah tertidur. Ansara nampak kelelahan setelah perjalanan panjang, rautnya pun pucat.

"Bu, Ansara pulang". Ucap Ansara pelan kepada sang Ibu, yang langsung disusul dengan pertanyaan lain dari sang Ibu.

"Kamu sendirian kesini? Kenapa malam begini? Kalian naik apa?". Tanya sang Ibu seraya meraih Gavabiel dari gendongan Ansara, khawatir sang anak kelelahan.

Tak berapa lama kemudian, Bapak Ansara menunjukkan wajahnya, nampak terkejut dengan kedatangan anak perempuan dan cucunya di hari yang sudah menjelang malam. "Astaga, Ansara. Ayo, cepat, masuk. Dingin diluar".

Dua adik Ansara pun sama terkejutnya, mereka bahkan sampai melongo saat menemui sang Kakak yang tiba-tiba hadir di rumah mereka tanpa rencana. Keduanya saling senggol, memberi kode untuk tak mengajak bicara Kakak mereka yang terlihat kelelahan itu.

BUMIGANTARAOnde histórias criam vida. Descubra agora