35. Medikasi

2.8K 266 52
                                    

Tiap tetes yang masuk kedalam pembuluh darah Bumi, perlahan membangunkan kesadarannya. Pikirannya yang semula sudah kosong, seakan telah melewati kematian, perlahan mendapati cahayanya kembali. Genggaman hangat menyapa tatkala ia membuka mata, menemukan nyaman yang seakan menyeruak di dalam diri.

Senyuman manis Ansara menyapa netra yang masih sibuk beradaptasi dengan cerah ruangan. Sedangkan satu kecupan mendarat di punggung tangan, menyampaikan perasaan rindu yang menumpuk. Tutur kata itu lembut mengudara. "Mas, udah bangun".

Bumi tak lantas merespon, hanya netranya yang sibuk mempelajari sekitar. Masih mendapati ruang serba putih yang berada di sekitarnya. Seakan bingung, kedua alisnya bertaut, tak mengerti mengapa ia selalu saja terbangun di tempat asing itu. Lirih ia berucap. "Di.. Mana...".

"Hm? Kamu bingung ya, kebangun disini?". Tanya Ansara, mencoba mencerna pertanyaan Bumi.

Satu anggukan terlihat, membuat Ansara sekali lagi menyampirkan senyuman hangat. Jarinya meraih ke wajah tampan itu, menyapunya pelan. "Kita lagi di rumah sakit, kamu makanya cepet sembuh biar kita bisa pulang".

Bumi masih sibuk memperhatikan wajah Ansara, netranya menyapu lengkap mulai dari dua mata cantik sang puan, hidung, bibir, hingga ke dagu. Wajah teduh itu membuatnya terpukau sekali lagi, diam-diam memuji hasil karya tuhan yang diberikan padanya.

Ansara lantas meraih jemari Bumi, membawanya menyusuri wajah cantiknya perlahan sembari berbisik lirih. "Mas, kamu harus ingat sesuatu setiap kali pikiranmu mulai mengambil alih. Kamu masih hidup, Mas. Kamu masih disini, sama aku. Kamu, aku dan Biel, kita berada di kehidupan yang sama. Kamu belum mati, sayang".

Bumi kembali mengerutkan keningnya, perlahan membiarkan jemarinya mengumpulkan ingatan akan bentuk indah dari wajah sang istri. Hingga akhirnya, jemari itu berhenti di bibir Ansara yang tengah berucap lembut.

"Setiap kali pikiranmu mulai berisik, ingat wajahku, Mas. Kamu punya aku di dunia ini yang gak boleh kamu tinggalin. Kamu harus sembuh, kamu harus lawan semua pikiran yang gak benar itu". Ucap Ansara, mencoba mempersuasi Bumi disaat lelaki itu dalam kesadaran penuh.

Bibir Bumi mulai bergerak. "An.. Sara..".

"Iya, sayang. Itu namaku". Balas Ansara lembut sekali.

Setelahnya, Ansara memilih bangkit dan merunduk guna menjatuhkan satu kecupan di dahi Bumi. Cukup lama sampai akhirnya kecupan itu dilepaskan dan berganti dengan menempelnya kening Ansara di kening Bumi. Dipegangnya erat wajah sang lelaki menggunakan dua tangan.

"Jangan lupain aku lagi, Mas. Sekuat apapun keinginan di kepalamu melupakan aku dan kehidupanmu yang kamu anggap mati itu. Tolong, terus ingat aku dan anakmu, yang mulai sekarang dan selamanya akan terus ada disampingmu". Ucap Ansara bak merapal mantera.

Bumi diam mendengarkan, meresapi tiap kata yang terucap untuknya dengan baik, berupaya mengerti mengapa Ansara terus mengucapkan hal-hal yang terasa asing di telinganya. Lantas, seakan belum cukup dengan itu, kini Ansara menarik diri dan mengambil sesuatu dari bawah sana.

Sebuah boneka berbentuk gajah yang begitu familier bagi Bumi. Senyum Ansara merekah tatkala menunjukkan boneka itu kepada Bumi. "Kamu inget boneka ini, Mas? Ini bonekanya Biel, kamu yang beli untuk dia. Biel sukaa banget boneka ini, setiap malam dia selalu tidur sama boneka ini. Mulai sekarang, bonekanya Biel pinjemin untuk Ayahnya, supaya bisa temenin Ayah, biar gak kesepian".

Lagi-lagi, Ansara meraih tangan Bumi, pun membiarkan boneka itu dipegangnya. "Nih, coba kamu pegang dan tekan bonekanya. Latihan pelan-pelan supaya tanganmu bisa memegang seperti biasa lagi".

Meski sulit, Bumi berhasil menggerakkan jemarinya seperti yang diminta, sebab akal dan kesadarannya menyokong kegiatan tersebut. Lelaki itu bahkan menggenggamnya dengan dua tangan, meremas pelan boneka plushie berbentuk gajah yang ia ingat pernah belikan untuk Gavabiel.

Ansara tersenyum bahagia mendapati perkembangan respon Bumi, lelaki itu bahkan sekarang sudah mulai kembali bisa menggerakkan tubuhnya yang semula terasa kaku. Jika hal ini tetap konsisten dilakukan, Ansara yakin sebentar lagi Bumi bisa kembali sehat dan normal, meski harus tetap berpegang pada medikasi untuk beberapa waktu.

Hingga akhirnya, di satu titik, pergerakan Bumi berhenti seketika. Netranya membuka lebar, pun menatap bingung pada Ansara yang berada di sisinya. "An.. Gelap.. Gel..Ap".

Hanya butuh sedetik kemudian sampai tubuh Bumi kembali statis dan netranya berpaku pada satu titik. Melihatnya, Ansara lantas menutup kedua mata, membiarkan tangis kembali mengisi sebab merasa tidak tega menyaksikan hal itu didepan matanya.

Setelahnya, tim medis yang sejak tadi diam memperhatikan dari satu sudut, langsung merangsek maju. Dokter Evan langsung memerintahkan timnya memberi penenang agar Bumi kembali tertidur. Setelah memastikan Bumi sudah dalam keadaan tenang, Dokter Evan pun menepuk pundak Ansara repetitif.

"Perkembangannya terbilang sangat pesat, Bu. Terhitung, durasi pasien dalam keadaan sadar jauh lebih lama dibanding kemarin. Berdasarkan hasil observasi kami tadi, pasien juga merespon dengan sangat baik dalam keadaan sadar. Terbukti, medikasi dan terapinya tepat sasaran. Kami perkirakan, masih butuh banyak sesi sampai serangan tidak muncul sesering ini, dukungan keluarga terutama istri dan anaknya adalah yang paling efektif dalam penyembuhan, Bu". Ucap Dokter Evan, melaporkan hasil observasinya.

Ansara menjatuhkan dirinya kembali di kursi. "Saya akan terus lakukan semampu saya, Dok..".

Meskipun Ansara harus mengakui, hatinya hancur setengah mati setiap kali ia melihat Bumi. Bahkan menahan airmatanya yang terus saja memaksa untuk jatuh, selalu sukses mencekat tenggorokannya hingga terasa nyeri bukan main.

———

Disatu sisi, Ansara bernafas lega. Meski kondisi Bumi masih terbilang mengkhawatirkan, justru Gavabiel, sang anak, terbilang sudah dalam kondisi yang lebih baik. Anak itu sudah kembali menjadi anak periang. Setiap kali Ansara datang untuk menjenguknya, bayi lelaki itu akan berteriak girang, bahkan meraih-raih keatas seakan kesenangan sendiri melihat Bundanya.

"Nna!! Nnaa!". Serunya girang, dua gigi mungil bawahnya terlihat jelas saat senyumnya mengembang.

Ansara langsung memeluk figur itu erat, membenamkan wajahnya yang masih sembab akibat menangis ke pelukan sang anak. Hangat tubuh Gavabiel, mampu menetralkan seluruh perasaan buruk Ansara dalam seketika, membuatnya merasakan perasaan yang begitu tenang.

"Duh, anak Bunda udah seger, ya. Badannya udah gak panas lagi". Ucap Ansara tatkala memeriksa hangat tubuh Gavabiel.

Mama yang diminta berjaga bergantian oleh Ansara, lantas mengomentari. "Iya, dari tadi bangun, udah ketawa-ketawa, terus ajak Gemmi main. Udah sembuh ini sih, kayaknya".

Mendengar hal itu, Ansara sontak melepaskan nafas lega. Pun ia mengecup bahu Gavabiel lembut. "Maaf, ya, Bunda tinggalin Biel terus. Bunda tadi habis ketemu Ayah. Kasihan Ayah lagi sakit soalnya".

Gavabiel langsung bergerak di pelukan Ansara, seakan berupaya menatap wajah Bundanya lebih baik. "Yyah?".

"Iya. Ayah ada di rumah sakit ini juga. Tadi, Bunda dari kamar Ayah. Nanti, Biel kesana juga, ya?". Balas Ansara.

Saking girangnya mendengar ucapan Ansara, Gavabiel sampai mengayun-ayunkan tubuhnya di gendongan sang Bunda. "Nyaaahhh!!".

Sikap makhluk mungil itu tak ayal memicu senyum dan tawa dari orang-orang yang hatinya tengah patah. Bak sebuah penyembuh di tengah derita, Gavabiel menjadi medikasi paling mujarab, terutama bagi Ansara yang kini terus menguatkan diri untuk kesembuhan Bumi.

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now