16. Pembicaraan Rumit

1.8K 175 23
                                    

"Apa maksudnya pihak management mereka gak mau bicara soal ini? It's their fucking problem!". Bentak Bumi pada Bianca tatkala menemukan kabar bahwa pihak management Trisha tidak mau berkoordinasi terkait rumor yang beredar.

Bianca menciut, lama sekali tak menghadapi amarah bosnya yang begitu meletup. "Maaf, Pak. Saya udah usahakan. Tapi, mereka bilang, mereka gak bisa bertindak ataupun klarifikasi apa-apa. Soalnya, berita miring begitu sudah sering terjadi di dunia entertain. Dan selama ini, pihak Trisha gak pernah melakukan klarifikasi sama sekali terkait berita gak benar sampai beritanya surut. Sebabnya, mereka takut akan memperkeruh dan menaikkan berita".

"Sialan. Terus reputasi saya jadi korbannya? Saya punya anak dan istri. Kehidupan pribadi saya juga dikoyak sekarang". Maki Bumi, kembali menjatuhkan dirinya di kursi kerjanya.

Bianca merasakan iba tatkala memikirkan posisi Bumi yang tengah terjepit. "Saya minta maaf, Pak. Saya udah coba upayakan persuasi dengan maksimal".

"Keluar kamu". Sentak Bumi, sama sekali tak mampu berpikir dengan kepala dingin.

Setelah mendengar kabar buruk tersebut, Bumi lantas mengambil ponselnya. Buru-buru, ia menelepon seseorang diseberang sana. Ansara. Bumi tahu, saat ini, orang yang paling memerlukan penjelasannya adalah sang istri.

Nada panggil terus berdering, namun tak sekali pun mendapat respon. Meninggalkan Bumi yang semakin cemas di kursinya. Saking cemasnya, ia sampai menggigiti buku jari tangannya yang tengah mengepal kuat. Dan pada akhirnya, panggilan itu tak pernah terjawab.

Menyerah, Bumi lantas melempar ponselnya keatas meja kerja. Jemarinya mengetuk cemas disana, menimbang perihal langkah yang harus dilakukan setelah ini demi menyelamatkan reputasinya. Dan hanya ada satu hal yang terbesit di kepalanya.

Yaitu mendatangi kantor agensi Trisha, dan mendesak mereka agar mau bersikap kooperatif.

———

Ansara terus menatap kearah layar ponselnya yang sejak tadi menunjukkan nama Bumi. Sama sekali tak berniat menjawab panggilan, sang puan hanya menatap datar. Seluruh pikirannya mengeruh, menyisakan perasaan trauma yang terbuka kembali. Entah selama berapa lama, Ansara terus membiarkan panggilan itu terabaikan. Berpura-pura dalam keadaan yang tak memungkinkan untuk menjawab panggilan telepon.

Dari sampingnya, Gavabiel yang semula sibuk bermain dengan mobil-mobilan mininya, jadi beralih menatap kearah sang Bunda yang terlihat sama sekali tak berekspresi. Bocah lelaki kecil itu merangkak mendekat, sebelum merayap naik ke pangkuan Ansara. Jemarinya meraih keatas, menyentuh pipi sang Bunda yang kini memusatkan pandang padanya. Dua gigi mungilnya yang baru tumbuh terlihat saat Gavabiel bersuara. "Nnaaa?".

Senyum Ansara terukir seketika. Tadi, ia seakan lupa, bahwa sekarang, perasaan tak menyenangkan itu bisa terhapus begitu saja tatkala melihat anak lelakinya. Yang kini bahkan sudah bisa memanggilnya walau masih belum sempurna. Dari gesturnya, Gavabiel seakan merasakan perasaan sang Bunda. Sebab perasaan mereka memang akan selalu terkoneksi. Mungkin, Ansara lupa bahwa hubungan darah itu terjalin seumur hidup.

"Iya, sayang? Maaf, Bunda tadi ngelamun. Biel mau main mobilan sama Bunda, ya?". Sahut Ansara lembut sembari mengecup telapak tangan mungil sang anak.

Dengan wajah seriusnya, Gavabiel menatap lama kearah sang Bunda. Mendongak sebab tubuh mungilnya belum bisa menatap sejajar dengan sang Bunda. Sebelum akhirnya menjatuhkan diri di pelukan Ansara, memeluk dan menyandarkan kepalanya di dada seakan bermanja. "Nnaaa..".

BUMIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang