6. Jemari Lembut

4K 175 18
                                    

Usai memastikan Gavabiel tertidur dalam kondisi perut yang kenyang, Ansara mengembalikan putra mungilnya itu ke boks bayi untuk selanjutnya perawat bawa kembali ke ruang perawatan bayi. Ansara merapikan bajunya yang masih berantakan usai mengasihi sang anak, menuai tatapan kagum dari Bumi yang sejak tadi tetap setia duduk disampingnya.

"Kenapa lihatin aku begitu?". Tanya Ansara heran.

Bumi mengembangkan senyumnya. "Kamu hebat banget. Kamu baru aja jadi Ibu tapi udah luwes banget, saya kagum".

Ansara terkekeh, lantas kembali bersandar di bantal yang sengaja disusun agar membuat duduknya nyaman. "Itu namanya naluri, sayang".

Bumi ikut terkekeh, hanya sesaat, sebelum kekehan itu berubah menjadi senyuman, dan senyuman itu pada akhirnya luntur sepenuhnya. "Kamu beneran sudah gak apa-apa, An? Ada yang sakit, gak?".

Senyum Ansara tersisa setengah, netranya pun menghindari tatapan Bumi seketika. Ansara terdiam, seakan bingung merespon. Namun, akhirnya memilih bersuara. "Aku udah denger diagnosanya dari Dokter, Mas. Dan soal konsekuensinya.. Apa semua yang Dokter ucapkan itu bener? Kalau...".

Ansara menjeda bicaranya, seakan memilah kata yang paling mudah ia ucapkan dan tak melukai hatinya lebih dalam. "Kalau aku gak akan bisa punya anak lagi.. Itu bener, Mas?".

Bumi ikut menundukkan pandangan, seakan tahu ini adalah topik yang Ansara hindari, namun akhirnya harus mereka diskusikan juga. "Iya, sayang.. Tindakan yang kemarin dilakukan itu, udah opsi terbaik yang bisa diambil untuk keselamatan kamu dan Gavabiel".

Ansara menelan salivanya susah payah, kembali menunjukkan senyum getir setelahnya. Netranya kini terangkat, menatap lurus ke netra Bumi yang terlihat sendu. "Itu artinya.. Aku gak bisa kasih kamu anak lagi, bukan begitu, Mas?".

Tanpa sadar, Bumi ikut menelan salivanya, merasakan getir di tenggorokannya yang perlahan menjalar bak mencegahnya berkata lebih jauh. Lelaki itu memaksakan bicaranya. "Iya, An".

"Kamu gimana dengan itu, Mas? Apa kamu.. kecewa?". Lanjut Ansara, bertanya dengan raut khawatir, seakan tengah dilanda takut di benaknya.

Bumi menggeleng dengan mantap, sama sekali tidak menunjukkan keraguan ketika menjawab. "Saya gak masalah sama sekali. Buat saya, kehadiran kamu dan Gavabiel di hidup saya sekarang, itu sudah jauh lebih dari cukup, Ansara".

Bumi tak mendapatkan respon apapun selain anggukan kecil dari Ansara yang kini resmi kehilangan senyumnya. Melalui tatapan sendu itu, Bumi tahu, di dalam hati kecilnya, Ansara merasa kecewa, sungguh kecewa. Hingga bibir Bumi tak sanggup menahan untuk bicara. "Kamu sendiri, gimana, sayang? How do you feel about it?".

"Aku.. Bingung, Mas. Mulanya, aku terpukul, aku gak percaya waktu denger hal semengerikan itu harus terjadi sama aku. Bayangin, aku harus kehilangan rahimku, satu-satunya yang menjadikan aku perempuan seutuhnya, harus diambil begitu aja bahkan disaat aku gak sadarkan diri. Tapi, waktu tahu kalau hal itu membahayakan anakku, aku jadi ikhlas. Apalagi waktu lihat wajah Biel untuk pertama kali. Rasanya.. Semua sedihku hilang, kecewaku juga luntur begitu aja. Di satu sisi, tetap, aku gak bisa bohong, sebagian dari hati kecilku, masih menginginkan satu hal yang rasanya mustahil sekarang. Aku pengen punya anak perempuan..". Jelas Ansara dengan nada miris, membuat Bumi tak sanggup untuk menatap netra Ansara yang mulai membasah tanpa disengaja.

Bumi lantas mengambil jemari Ansara, menggenggamnya erat seakan tak mau lepas. Disana, hangatnya menjalar tanpa bisa di hindari. "Kita masih bisa adopsi, kalau kamu pengen punya anak lagi. Yang jelas, buat saya, dengan ada atau tidak adanya rahim kamu, bukan hal yang bisa membedakan kamu dengan Ansara yang sebelumnya. Kamu tetap perempuan hebat yang sudah menghadiahi saya gelar Ayah, ibu yang sebaik-baiknya untuk Gavabiel. Dan, yang terpenting, kamu juga tetap istri saya yang sempurna. Gak ada kekurangan sedikitpun yang harus saya sesali dari kamu".

BUMIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang