24. Buket Bunga Terakhir

1.7K 169 71
                                    

"An, ini Ibu pegang kok badan Biel anget? Coba kamu cek, nak".

Ucapan Ibu, membuat Ansara yang tadinya tengah bersandar di sofa ruang tamu, langsung melonjak. Dipegangnya wajah Gavabiel yang memang terlihat kemerahan guna mengecek suhu. Dan betapa terkejutnya Ansara saat menemukan suhu tubuh anak lelakinya benar panas.

"Ya tuhan.. Sini, Biel. Bunda gantiin baju yang lebih hangat". Ucap Ansara seraya meraih tubuh mungil Gavabiel yang nampak lemas.

Padahal, tadi pagi, anak itu masih terlihat sehat. Bahkan, suhu tubuhnya masih normal tatkala Ansara mendekapnya. Tiba-tiba saja, kondisinya menurun seperti ini, membuatnya panik lantaran sang anak pun tak banyak berbicara seperti biasanya.

Dengan tergesa, Ansara mencopot baju Gavabiel dan menggantinya dengan baju tebal yang jauh lebih hangat. Pikirnya, Gavabiel belum terbiasa dengan udara dingin Bandung sebab ini kali pertamanya lagi mengunjungi daerah dingin. Anak lelaki itu tidak menangis meski mungkin tubuhnya terasa tidak sehat, ia hanya sibuk mengais nafas lebih banyak seakan tengah merasa sesak.

Raut Ansara berubah panik tatkala menemukan nafas Gavabiel kian sulit. Diraih dan dipeluknya tubuh itu, serta ditepuk punggungnya pelan. Berupaya meredakan rasa tidak nyaman yang sang anak derita. Ditengah rasa panik itu, Ibu Ansara datang dengan membawa satu buah baskom berisi air hangat dan kain. Diperasnya kain tersebut perlahan sebelum diletakkan di dahi Gavabiel yang berada di gendongan Ansara.

"Kamu tenang ya, An. Anak itu bisa ngerasain apa yang orangtuanya rasain. Ikatan batinnya kuat. Kalau kamunya panik, dia jadi ikut gak tenang". Ucap sang Ibu menenangkan.

Ansara nyaris menangis saking paniknya ia sekarang. "Tapi badannya kenapa panas banget begini, Bu? Tadi pagi, masih gak apa-apa. Kenapa tiba-tiba banget?".

Ibu Ansara menatap kearah Anaknya dengan sendu, tak lantas menjawab. Ia mengelus lengan Ansara pelan. "Terkadang, anak sakit memang gak ada gejala. Kita sebagai orangtua harus siap dan jauh lebih kuat dari dia".

"Yah..".

Suara kecil dan lemah itu mengisi rungu masing-masing yang ada disana. Ansara membeku sejenak, menatap kearah Ibunya dengan netra membelalak. Sedangkan sang Ibu, menghela nafasnya.

"Bisa jadi, Biel kangen sama Ayahnya. Dia terbiasa lihat kalian berdua setiap hari. Pasti sekarang lagi bingung karena gak ada salah satunya. Ibu tadi bilang kan, ikatan anak dan orangtua itu kuat, An. Kamu pun waktu kecil bisa sakit cuma karena ditinggal Bapak kerja ke Jakarta". Ucap Ibu Ansara lembut.

Ansara menunduk, memilih tidak bersuara ataupun mendebat. Saat ini, ia tidak dalam kondisi bisa berpikir dengan normal. Pun hatinya tidak dalam
keadaan yang lapang.

Merasa tidak mendapat respon apapun dari Ansara, sang Ibu lantas kembali bersuara. "Ya sudah, sekarang kamu tenang dulu. Kamu kasih dia susu sebanyak yang dia mau supaya gak dehidrasi. Kalau sampai malam demamnya gak turun, Ibu sama Bapak antar kalian ke Dokter".

"Iya. Makasih, Bu". Jawab Ansara pelan, seraya mengeratkan peluknya pada Gavabiel.

———

"Permisi, Den. Ini ada paket kiriman buket bunga". Ucap Bi Mai seraya melongokkan kepalanya dari balik pintu.

Bumi yang saat itu tengah berada di kursi ruang kerjanya, mengisyaratkan agar Bi Mai masuk. "Oh, iya. Bawa kesini aja, Bi".

Sebuah buket bunga besar dipenuhi mawar berwarna putih itu terhampir di hadapan Bumi, begitu cantik saat dilihat mata. Netranya memandang sendu selama beberapa lama, terpikat akan indahnya. "Makasih, Bi. Oh, iya, tolong nanti tutup pintunya kalau Bi Mai keluar ruangan, ya".

"Siap, Den. Makan siangnya udah di meja, Den. Dimakan dulu mumpung masih hangat". Ucap Bi Mai lagi.

Bumi mengangguk. "Iya, nanti dimakan, Bi".

Setelahnya, Bi Mai mengangguk, sebelum berakhir meninggalkan Bumi di ruang kerjanya. Sang lelaki mengangkat buket bunga tersebut, menghirup aroma harum yang mirip sekali dengan wangi yang sering ia temui, harumnya mirip Ansara. Ia tidak salah pilih.

Bumi tersenyum, angannya lantas berkhayal, membuat skenario sendiri jika saja Ansara masih ada di sisinya. Mungkin, gadisnya itu akan terlihat manis memeluk bunga pemberiannya. Sebuah hadiah atas ulangtahun pernikahannya yang sudah sengaja Bumi pesan jauh-jauh hari.

Ditaruhnya kembali buket bunga tersebut diatas meja kerja, sebelum ia beralih ke lemari miliknya yang berisi full minuman beralkohol. Satu, dua, tiga botol diambil tanpa pikir panjang beserta sebuah gelas untuk wadah mengkonsumsi. Usai menyusun gelas dan botol diatas meja kerja bersamaan dengan buket bunga, Bumi lantas meraih sesuatu dari laci kerjanya.

Tangannya sempat berhenti tatkala menemukan kotak besi yang sudah lama ia biarkan disana. Diraihnya dengan ragu kotak tersebut dan dibuka perlahan. Sebuah senjata kaliber tiga dua bettle army yang merupakan pemberian Gepa, masih tersimpan rapi di kotaknya, tidak tersentuh sejak ia tak pernah lagi latihan menembak seperti dulu.

Bumi mengisi pelurunya yang berjumlah tiga butir, memastikan bagian magasin masih berfungsi dengan baik meski tak terpakai. Lelaki itu lantas terdiam, jemarinya bergerak mengarahkan pistol kearah pelipis kanannya, bak merekonstruksi hal yang sudah beberapa hari ini terbesit di kepalanya.

Bumi sempat menarik pelatuk, namun tak mampu menekan tuasnya. Membuang nafas berat, lelaki itu menaruh kembali pistol keatas meja perlahan. Ia lama sekali memandang, seakan menimbang apakah mengakhiri hidup dengan cara itu adalah cara yang paling baik.

Tidak, pasti rasanya sakit. Saya tidak bisa lagi merasakan sakit.

Lantas, Bumi meraih secarik kertas dan menuliskan sesuatu diatasnya. Tulisan yang tidak terlalu panjang tapi jelas mengutarakan isi hatinya. Saat ini, tidak ada lagi hal yang bisa membuatnya memiliki keinginan untuk bertahan hidup. Bahkan mungkin, jika ia pergi dari dunia ini sekarang, tidak ada yang akan merasa kehilangan atasnya.

Mungkin, ini arti mimpi saya waktu itu. Mengakhiri hidup. Mungkin juga, itu alasannya di mimpi itu, Diandra ajak saya pergi. Suara hatinya berucap.

Usai mengutarakan isi hatinya melalui secarik kertas, Bumi meninggalkannya diatas meja, berdekatan dengan buket bunga yang seharusnya menjadi milik Ansara di ulangtahun pernikahan mereka hari ini.

Mengurungkan niat untuk mengakhiri hidup dengan cara yang keji, Bumi memilih untuk mengisi gelasnya dengan alkohol berkadar tujuh puluh persen. Ditenggaknya habis gelas pertama, kedua, ketiga, keempat dan selanjutnya dengan mencampur beberapa jenis minuman sekaligus.

Lelaki itu memilih untuk mencari cara yang paling tidak menyakitkan guna menjemput akhirnya. Berharap, keputusannya tidak menarik tuas pistol adalah hal yang benar sebab tidak harus merasakan sakit di saat-saat terakhir ia kehilangan nyawa.

Bumi berhenti tatkala botol keduanya nyaris habis dan ia sudah bergerak untuk menghabiskan botol ketiga. Lelaki itu terbatuk hebat berulang kali, merasakan sakit luar biasa di perutnya yang kini bercampur mual. Namun, ia tak peduli, bukannya berhenti, Bumi malah melanjutkan aksinya, meminum alkoholnya tanpa jeda.

Hingga saat ia menemukan darah segar di telapak tangannya tatkala terbatuk sekali lagi, barulah ia tersadar perilakunya nyaris membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Dengan sisa kesadaran yang sudah menipis, lelaki itu menyentuh helaian bunga di atas meja, seakan melukis warna di putihnya yang begitu cantik. Airmatanya terjatuh untuk kesekian kalinya hari ini. Namun bedanya, kali ini, ia tersenyum.

Hanya butuh minum beberapa gelas lagi sampai...

Brak.

Bumi hilang kuasa atas dirinya. Kepalanya terjatuh lemas diatas meja, total hilang kesadaran dengan darah segar yang masih mengalir dari sisi bibir.

Seakan nyawa sudah diangkat dari tubuhnya dalam hitungan detik.

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now