7. Gavabiel Diandrakares

3.8K 199 25
                                    

"Non An!".

Seruan dari Bi Mai yang tak kuasa menahan bahagianya saat melihat presensi Ansara kembali di rumah, tak ayal membuat sang puan tersenyum.

Bi Mai menghampiri, namun langsung terhenti saat menemukan sosok mungil di dalam dekapan Ansara yang menggeliat bahkan membuka matanya sesaat. Netra Bi Mai terlihat takjub, pun haru menghiasi wajahnya. "Ini...".

"Kenalin Bi Mai, ini Gavabiel.. Penghuni baru rumah kita". Ucap Ansara, mengenalkan putra satu-satunya yang bahkan masih terbungkus kain biru untuk menghangatkan tubuh mungilnya itu.

Bi Mai memperhatikan lekat wajah bulat Gavabiel, lantas melempar tatap pada Bumi yang ikut menyaksikan kejadian di depan matanya. "Mirip Den Bumi, ya, Non?".

Ansara tersenyum. "Bi Mai mau coba gendong?".

Raut tak percaya terlihat di wajah Bi Mai. "Boleh, Non?".

"Ya, boleh, dong". Jawab Ansara lembut, lantas menyerahkan Gavabiel ke gendongan Bi Mai, menyaksikan bagaimana wanita paruh baya itu langsung tersihir akan betapa menggemaskannya malaikat mungil yang ada di gendongannya itu.

Gavabiel terlihat menggeliat, menyamankan diri sebelum kembali terlelap di gendongan Bi Mai, pipinya menggembung tertekan di satu sisi. Hal itu tak ayal membuat Bi Mai menyentuh pipi kemerahan yang terasa begitu lembut saat disentuh. "Tumbuh jadi anak yang baik dan hebat ya, Nak".

Ansara dan Bumi sama-sama tersenyum, seakan ikut bahagia saat melihat makhluk mungil bernama Gavabiel itu seakan berhasil membagi bahagia ke sekitarnya, dengan fitur mungilnya yang begitu mirip dengan sang Ayah.

"Aku iri deh.. Seneng sih, tapi iri, sedikit". Ucap Ansara pada Bumi, setengah berbisik.

Bumi lantas mengerutkan keningnya. "Iri kenapa?".

Ansara menunjukkan raut sebalnya. "Iri soalnya Biel mirip Ayahnya banget. Padahal itu doaku dulu, pengen punya kamu versi mini. Tapi, pas lihat langsung, aku jadi iri. Habisnya gak ada mirip-miripnya sama aku".

Bumi terkekeh, kemudian mengeratkan peluknya di sisi pinggang Ansara, menariknya agar bisa berbisik di telinga. "Tapi kan kamu jadi punya dua versi saya yang kecintaan banget sama kamu?".

Ansara menoleh, kemudian berupaya menjauhkan diri. "Jangan aneh-aneh deh, Mas".

———

"Bianca, kalo beli stroller gitu, bagusnya dimana, ya?". Ucap Bumi tiba-tiba, ditengah pembicaraannya dengan Bianca, sang sekertaris.

Bianca mengerutkan kening. "Hah? Stroller apa ya, Pak? Yang buat anak bayi maksudnya?".

Bumi yang tengah menandatangani berkas di hadapannya langsung menatap malas. "Ya, iya. Memang apa lagi? Kamu tahu gak, dimana beli yang bagus?".

"Ya, saya bingung aja. Ngapain Pak Bumi tiba-tiba mau beli stroller. Buat kado relasi, ya, Pak? Kalo mau saya cariin, siang nanti saya bisa cari. Mau pake kartu ucapan gak, Pak?". Jawab Bianca, sama sekali tak mengetahui perihal kelahiran putra Bumi.

Sang lelaki mengerutkan kening. "Ngomong apa, sih? Bukan buat relasi saya. Buat anak saya. Saya mau beli sendiri, gak mau kamu yang cari".

"Oh". Balas Bianca enteng, sebelum menyadari maksud Bumi sedetik setelahnya. Matanya membulat seketika, efek terkejut. "Hah?! Anak Pak Bumi? Sejak kapan.. Aduh, maaf, Pak. Saya sama sekali gak tahu. Jadi, kemarin Bapak cuti panjang itu karena itu? S—Selamat ya, Pak".

Bumi mengulum senyumnya. "Ya, memang gak saya publikasi sih perihal kehadiran anak saya ini. Yang tahu cuma keluarga aja. Thanks, Bi. Nanti, begitu kerjaanmu kelar, kamu tolong cariin referensi sama tempat belinya, ya. Soalnya pulang dari sini, saya mau langsung beli".

Bianca menatap penuh haru. "Iya, Pak. Nanti saya sama temen-temen boleh ikut kasih kado kan, Pak?".

"Jangan ngerepotin". Balas Bumi singkat.

Bianca menggeleng. "Sama sekali enggak kok, Pak. Kita ikut seneng. Tapi, maaf, Pak. Anaknya laki-laki atau perempuan?".

"Laki-laki". Balas Bumi singkat, sebelum mengeluarkan ponselnya dari kantong. "Kamu mau lihat fotonya gak? Kata orang-orang, dia mirip banget sama saya. Sampai istri saya iri katanya".

Bianca memfokuskan tatapan pada foto bayi mungil yang Bumi tunjukkan untuknya. Netranya membulat. "Bener, Pak. Mirip banget... Sama Pak Bumi".

"Iya?". Ujar Bumi, cengengesan sendiri di tempatnya, memandangi potret malaikat mungilnya dari ponsel, bak seorang yang tengah pertama kali merasakan jatuh cinta.

Melihatnya, Bianca ikut tersenyum. "Sekali lagi, selamat ya, Pak. Semoga menambah kebahagiaan untuk keluarga Pak Bumi".

"Thanks, Bi".

Merasa penasaran, Bianca memberanikan diri untuk kembali bertanya. "Oh, iya.. Namanya siapa, Pak?".

Senyum Bumi perlahan sirna, memerlukan waktu yang cukup lama baginya untuk menjawab. Sebab tatkala bibirnya ingin berucap, hatinya merasakan berat. Keputusan pemberian nama yang ia dan Ansara sepakati, nampaknya memang mampu membuat hatinya tergerak setiap nama anak itu terucap.

"Namanya.. Gavabiel. Gavabiel Diandrakares".

———

Diluar dugaan, Gavabiel adalah seorang anak yang begitu tenang. Bayi lelaki itu jarang sekali menangis kecuali ia dalam keadaan lapar. Seringkali, ia hanya akan menggeliat saat tersentak bangun dari tidur. Ia juga akan membuka mata sebentar tatkala mendengar suara sang Bunda yang berbicara dengannya, seakan mengenali suara tersebut sejak dari dalam kandungan.

"Hari ini Ayah pulangnya telat katanya, kita berdua dulu ya, Nak. Biel jangan rewel, ya. Kita tunggu Ayah sama-sama. Oke?". Ucap Ansara lembut, sembari menyusurkan jemarinya di pipi sang anak.

Seakan mengerti ucapan Ansara, jemari mungil Gavabiel meraih dan menggenggam ibu jari Ansara, berpegang kuat disana. Melihatnya, Ansara terkekeh. "Apa, nih? Tiba-tiba pegang jari Bunda? Mau tenangin Bunda gitu, ya? Kayak yang udah ngerti aja.. Baru juga empat hari umurmu. Lucu banget anak Bunda".

Mendengar ucapan sang Bunda, Gavabiel kembali menggeliat, seakan merespon, baju mungilnya sampai sedikit tersingkap. Ansara baru memperhatikan, di satu bagian tubuh Gavabiel, tepatnya di pundak kanannya, terdapat satu tanda yang nampaknya merupakan tanda lahir berbentuk mirip bulan sabit. "Loh, Biel punya tanda lahir ternyata. Mirip bulan sabit, ya? Bunda baru lihat".

Merasa gemas, Ansara lantas mendekatkan wajahnya pada wajah mungil di gendongannya, hingga kening mereka bersatu. "Pokoknya, Biel harus jadi anak yang kuat ya, Nak. Biel harus bisa sehebat Ayah, harus jadi anak yang perasa sama sekitarnya. Dan bisa bikin orang-orang bahagia karena kehadiranmu, ya, Nak".

Ansara menjauhkan wajahnya untuk menemukan Gavabiel sudah kembali tertidur di pelukannya. Tatapannya melembut. "Maafin Bunda, ya. Nantinya,  Bunda gak bisa kasih adik untuk kamu. Mudah-mudahan, Biel gak kesepian. Bunda akan pastiin, Biel gak akan pernah ngerasa kesepian, ya, Nak?".

Mengingat hal itu, tak terasa, airmata Ansara kembali jatuh tanpa diminta. Lantas, ia langsung menghapusnya. Tak membiarkan kesedihan menguasai, sebab kebahagiaan telah hadir dalam dekapannya. Satu kebahagiaan yang terbesar yang mungkin hanya satu kali bisa ia miliki dalam hidup.

Yaitu Putranya, Gavabiel Diandrakares.

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now