12. Sang Bintang

2K 160 27
                                    

Sosok bertubuh ramping dengan balutan dress selutut itu berjalan anggun, mengesampingkan rambutnya beberapa kali yang sempat menyapa pipi. Beberapa pasang mata silih menatap kagum padanya. Paras cantik dan kulit putih bersih yang merupakan perpaduan sempurna untuk seorang wanita yang bahkan namanya cukup dikenal banyak orang.

"Welcome, Trisha Samara. Thank you for joining our meeting today. Silahkan duduk dulu, sebentar lagi Pak Bumigantara akan join juga. Beliau dalam perjalanan". Ucap Bianca yang bertugas menyambut kedatangan Trisha di ruang meeting.

Trisha terlihat kaget saat nama sang pemilik perusahaan disebut. "Oh, Pak Bumi ikut meeting? Saya sempat dapat beliau tidak ikut join?".

"Iya, ternyata jadwal beliau pagi ini ada yang cancel. Jadi, diputuskan beliau akan ikut menghadiri meeting ini bersama tim marcomm". Balas Bianca lagi.

Trisha mengangguk pelan. "Oh, I see. Okay".

Sosok yang dibicarakan muncul tak lama setelahnya. Mengenakan setelan abu-abu dengan kemeja putih di dalamnya, Bumi melangkah masuk kedalam ruang meeting yang sudah full dihadiri peserta rapat hari ini.

"Pagi, semuanya". Sapa Bumi lebih dulu, disambut sapaan balik dari semua yang hadir sebelum akhirnya ia duduk di kursinya, memimpin jalannya meeting hari ini.

Disamping Bumi, Bianca menyodorkan Ipad dengan rincian agenda meeting, berikut dengan profil diri dari Trisha Samara yang sebentar lagi akan mereka hire sebagai representative dari brand perusahaan. Bumi membaca kilat profil diri tersebut, sebelum mengalihkan pandang ke sekitar, mencari presensi sang bintang.

"Sorry, Trisha Samara-nya hadir disini atau diwakilkan dari agensi?". Tanya Bumi pada tim seberangnya.

Satu orang dari seberang meja mengangkat tangannya. "Saya yang hadir langsung, Pak".

Netra Bumi akhirnya bergerak pada sosok yang kini berdiri dari bangkunya. Tubuh tinggi semampai dengan khas anggun itu, sudah pasti mudah sekali menarik perhatian. Dilihat dari auranya, ia memang bukan wanita biasa.

Bumi hanya mengangguk sekilas sebelum kembali memfokuskan pandangan ke Ipad. "So, kita langsung ke intinya aja. Kamu harusnya sudah di approach sama tim saya untuk perihal kerjasama rebranding kami kan? Sudah sejauh mana pembicaraannya? Apa jaminan dari kamu untuk keberhasilan campaign ini jika kami hire kamu?".

Bumi yang berada di arena kerja, bukanlah Bumi yang lembut dan hangat. Diluar rumah, Bumi bagaikan mimpi buruk, terlebih bagi pekerjanya. Ia adalah seorang yang detail dan penuh perhitungan. Tak heran, banyak yang menundukkan kepala saat ia berbicara pada forum meeting. Contohnya, seperti saat ini. Sebagian besar yang hadir disana, sudah menunduk takut, seakan tengah menghadapi perkara besar.

Hal sebaliknya terlihat dari Trisha. Perempuan itu tetap terlihat tenang, bahkan tersenyum percaya diri. "Jaminannya saya sendiri, Pak".

Seluruh mata beralih pada Trisha, mempertanyakan maksud dari sang puan berkata demikian. Bumi sendiri mengerutkan kening, tidak begitu mengerti maksudnya. "Apa maksudnya jaminannya kamu?".

"Kalau campaignnya gak achieve, saya bersedia melakukan free partership sebagai gantinya. Itu jaminan yang biasanya kami offer. Dan perlu saya infokan, campaign yang sudah berjalan dengan saya selama ini jarang gak achieve, bahkan bisa dibilang nihil". Balas Trisha percaya diri.

Bumi tak melepaskan raut kerasnya, seakan tengah bertarung dengan lawan sengit. "Berapa persen perkiraan persentase achieve yang bisa kamu offer?".

"Diatas delapan puluh sembilan persen. It's a high percentage if we're talking about audience engagement". Balas Trisha.

Bumi tak mau kalah. "Diatas itu, bisa? It's too low for our brand. We're big company if you're wondering".

"I guarantee you we can. Asal pola campaignnya efektif". Sahut Trisha lagi.

Bumi lantas menaruh Ipadnya di atas meja. "Tim yang saya tunjuk sudah teruji capable untuk campaign ini. So, you don't have to worry".

Trisha lantas memilih untuk kembali duduk, menurunkan intensitas sebab sadar ketegangan diantara keduanya menimbulkan canggung di ruangan luas ini. "Great. I guess we met the conclusion. Kalo Bapak sudah oke, kita bisa lanjut untuk tandatangan MOU. Saya akan tanda tangan langsung".

Bumi mengangguk, lantas meminta berkas dari tim marketing untuk diserahkan pada Trisha. Proses penandatanganan dari kedua belah pihak itu terjadi, dengan kedua kubu yang akhirnya menemui kesepakatan kerja.

Di akhir meeting, keduanya bahkan sempat berjabat tangan. Dengan Trisha yang perlu sedikit mendongak untuk bisa menatap Bumi dengan jelas. Dan dengan jarak sedekat itu, barulah ia bisa melihat jelas bagaimana desas-desus cucu penerus salah satu perusahaan terbesar di asia tenggara itu ternyata benar. Bahwa Bumigantara bukanlah sekedar sosok yang berwibawa, melainkan tampan bukan main jika dipandang mata secara langsung.

"Good to know you. Semoga kerjasama kita lancar". Ucap Bumi, memecah lamunan Trisha yang seakan hilang saat menatap wajah tampan di hadapannya.

Trisha mengedip repetitif, seakan menyadarkan dirinya. "Ah, iya, Pak Bumigantara. Mohon bantuannya".

Setelahnya, Bumi hanya mengangguk sebelum berlalu, meninggalkan jejak aroma harum maskulin yang membekas di ingatan Trisha.

Dingin dan tak berekspresi, namun memikat dan berkharisma.

Mungkin itulah kesan pertama seorang Bumigantara bagi sang bintang.

———

"Kerjaanmu banyak hari ini, Mas?". Sapa Ansara saat memasuki ruang kamar dengan balutan gaun malamnya.

Bumi yang tengah berada di sofa dengan Ipad di pangkuan, lantas menoleh ke asal suara. "Lumayan, banyak meeting aja sih hari ini".

Ansara berangsur berjalan mendekat, lantas berdiri di hadapan Bumi. "Tapi makanmu teratur kan, Mas? Tadi aku sempet kirim makanan ke kantor, kamu habisin, kan?".

"Iya, sayang". Balas Bumi, sebelum menekuk kedua alisnya. "Biel mana? Tumben gak kelihatan".

Ansara menyisirkan rambutnya kesamping. "Udah tidur, Mas. Tadi habis minum susu langsung tidur".

Bumi mengangguk pelan, lantas matanya menyusur kearah gaun tidur Ansara yang masih terbungkus rapi dengan jubah ikatnya. Bumi berdeham rendah. "Kamu pakai baju begini didepan saya ada niat apa, An?".

Ansara memasang tampang polos. "Gak ada niat apa-apa, emang kenapa, sih, Mas? Bajuku ada yang salah?".

Bumi memiringkan kepalanya. "Kamu nih godain saya begini belajar dari mana, sih? Perasaan Ansara yang saya nikahin dulu polos, kok sekarang jadi nakal begini?".

Ansara mengulum senyumnya, menarik serta simpul ikatan di jubah tidur yang ia kenakan, menunjukkan gaun tidur berwarna hitam dibalik sana. Satu persatu kakinya beranjak naik untuk selanjutnya duduk di pangkuan Bumi. "Gak tau juga, deh. Bukannya kamu yang ajarin aku?".

Tanpa banyak basa-basi, Bumi menarik Ansara mendekat, meremat pinggang mungil itu erat hingga tubuh mereka berdekatan. Panas di tubuh masing-masing bertemu, memunculkan sensasi baru yang merayap di bawah sana.

Bumi mengecup tulang selangka Ansara lembut, merasakan kewarasannya digunting habis perlahan. "Mau disini apa dikasur, Ansara Saskiaputri?".

Belum sempat Ansara menjawab, jeritan terdengar dari luar sana, membuat Bumi otomatis menghela nafasnya panjang sebab tahu kemana ini akan bermuara. Ditepuknya paha Ansara perlahan. "Turun dulu, sayang. Biel nangis, tuh".

Namun, Ansara tetap pada posisinya, malah kini merangkulkan tangannya mesra di leher sang lelaki. Ia lantas berbisik pelan. "Hari ini Bi Mai nginep, tadi aku juga udah siapin susunya Biel. Aku udah titip ke Bi Mai kalo Biel kebangun".

Mendengar perkataan Ansara, Bumi lantas melotot. "Yang bener kamu, An?".

"Iya, sayangku. Mau lanjutin aja, gak?". Sahut Ansara, masih dengan nada manjanya.

Tanpa banyak mendebat lagi, Bumi langsung memeluk erat Ansara, menggendongnya dengan semangat untuk segera melanjutkan kegiatan panas mereka yang nyaris kandas sebelum dimulai.

"Kita ke kasur sekarang".

BUMIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang