36. Sebuah Proses Kembali

2.6K 264 89
                                    

Hi! maaf hilang lama 😭

Tbh, I wasn't really healthy for the past month, padahal kangen bgt nulis tapi kondisi kesehatanku lagi benar-benar kurang baik huhu :'(

Jadi, mohon dimaafkan kalo tiba2 hilang dan updatenya lama 😭😭😭

Doakan aku sehat2 trs supaya bs update banyak yah!!!

Enjoy!!!

———

Sosok mungil itu bermanja di pelukan Ansara, menatap bingung ke arah satu sudut ruangan yang tak begitu luas. Gavabiel terlihat berulang kali celingukan. Dahinya menyerngit, tak begitu mengerti perihal mengapa Ansara membawanya kesana dengan infus yang bahkan masih menempel di tangannya.

Barulah setelah Ansara berjalan mendekati tempat tidur, Gavabiel mengerti tatkala ia menemukan sosok yang sudah lama dicari. Jemarinya menunjuk kearah sang Ayah yang masih tertidur pulas diatas ranjang rumah sakit.

"Yah!!". Pekiknya senang sembari menunjukkan gigi-gigi gemasnya yang baru berjumlah dua.

Ansara terkekeh. "Iya, itu Ayah, tapi masih bobo. Kita tunggu sampai Ayah bangun, ya".

Ansara lantas memilih duduk di kursi tepat di sisi Bumi, dengan memangku Gavabiel di pelukannya. Keduanya menatap erat kearah sang Ayah, masing-masing menyuarakan pikiran yang berbeda dalam otaknya. Gavabiel berulang kali memanggil, seakan berupaya membangunkan sosok yang ia rindukan itu. Sedangkan Ansara, terus menatap sendu pada dua presensi yang pasti saling merindukan itu.

Jauh di lubuk hatinya, Ansara terlampau merasa bersalah sebab telah sengaja memisahkan keduanya untuk waktu yang cukup lama. Padahal, jika saja ia tidak bertindak egois, mungkin saat ini mereka bertiga tidak harus berada di ruang rumah sakit dan mengubur rindu yang tertahan.

Perlahan, Gavabiel mulai merengek, sebab tak kunjung mendapat perhatian dari sang Ayah. Dengan lembut Ansara berupaya menenangkan. Menjaga agar Bumi tak harus terbangun dari tidurnya. Namun, rengekan yang perlahan kencang itu, pada akhirnya membuat kedua kelopak mata Bumi terbuka lebar.

Netranya langsung memaku pada presensi Ansara dan Gavabiel di sisi, dirinya mematung selama sepersekian detik, seakan berupaya memahami keadaan yang terjadi. Mereka saling tatap, seakan sama-sama menanti reaksi dari satu dan lainnya.

"Yah..". Panggilan Gavabiel lebih dulu memecah sunyi diantaranya, membuat Bumi membulatkan kedua netra tatkala mendengar panggilan itu.

Seakan tak percaya melihat kehadiran buah hatinya, lelaki itu menitikkan airmata. Sudut matanya basah seketika, sedang bibirnya bergerak perlahan. "Bi.. El..".

Gavabiel langsung memberontak, berupaya melepaskan diri dari pelukan Ansara agar bisa berhamburan ke pelukan sang Ayah. Merasa tak tega, pada akhirnya Ansara menyerahkan makhluk mungil itu pada Bumi, membiarkannya memeluk sang Ayah erat, meski Bumi kesulitan untuk membalas pelukan itu.

Dengan lembut, Ansara membantu Bumi menggerakkan kedua tangannya agar bisa memeluk Gavabiel, membiarkan Ayah dan anak itu saling melepas rindunya bahkan dengan alat yang masih menempel di tubuh masing-masing. Denting alat yang menunjukkan denyut jantung Bumi berbunyi repetitif dengan cepat seketika, menunjukkan perubahan signifikan tatkala lelaki itu berhasil memeluk anaknya. Seakan perasaannya membuncah hingga jantungnya berdegup tak karuan.

Ansara menatap haru dari sisi mereka, membiarkan sunyi menjadi penyambung selain pelukan hangat yang begitu dirindukan. Hingga akhirnya Bumi menoleh kearahnya dan merentangkan tangan, meminta Ansara untuk ikut bergabung dalam pelukan mereka.

"Sini.. Sa—Yang". Ucap Bumi lembut, seraya menarik pelan tangan Ansara untuk memintanya memeluk.

Dan pada akhirnya, Ansara ikut luruh dalam pelukan hangat itu. Membiarkan Gavabiel berada diantara mereka, menjadi satu bagian mungil yang menunjukkan eksistensi dari cinta mereka yang pada akhirnya menjadi pemenang.

———

Gavabiel kali ini dibiarkan duduk diatas dada Bumi, memudahkan sang Ayah menatap kedua mata anak lelakinya yang begitu mirip dengannya itu. Gavabiel sendiri terlihat girang, sejak tadi tak berhenti tertawa dan menunjukkan giginya dibalik pipi tembam yang kemerahan itu. Tak henti ia memanggil sang Ayah, bak satu kata favorit yang selalu muncul di pikirannya saat ini.

"Biel kangen banget sama kamu. Manggil kamu terus. Cuma, keadaannya kemarin belum memungkinkan karena dia juga sakit. Hari ini baru dapat izin dokter untuk jenguk kamu, itu juga aku sampai mohon-mohon, Mas". Ucap Ansara menjelaskan.

Bumi sejak tadi tak henti menatap wajah sang anak, seakan ingin berlama-lama memandangi figur mungil yang mirip dengan dirinya itu. "Ka..Ngen.. Ayah, Nak?".

Meski masih terus terbata, Bumi berupaya berbicara pada sang anak. Tak hanya itu, ia juga tak putus mengecupi tangan, pipi, dan memeluk Gavabiel. Seakan rindunya terlalu banyak dan tak habis-habis. Lelaki itu lantas bernafas lega setelah mendengar tawa Gavabiel untuknya, nampaknya kegelian karena berulang kali diciumi pipinya.

"A—Yah, juga.. Kangen.. Biel". Ucap Bumi setelahnya, lantas mengulas senyum untuk sang anak.

Melihat infus yang masih melekat di tangan Gavabiel, Bumi pun menoleh kearah Ansara dengan tatapan bertanya. Tanpa perlu berucap, Ansara langsung mengerti maksud tatapan itu. Ia pun tersenyum hangat. "Gak apa-apa, Biel kemarin sempat ada infeksi. Tapi sekarang udah membaik kok. Udah masuk masa pemulihan, Mas".

Mendengarnya, Bumi tersenyum setengah, lantas membawa jemari mungil yang dihiasi infus itu untuk dikecupnya juga. Berharap bisa meredakan sakit yang sempat sang anak derita tanpa sepengetahuannya. Bibirnya kembali bergerak pelan, menyuarakan satu kalimat lagi sebelum akhirnya Bumi kembali jatuh dalam kondisi statis.

"Ce—pat.. Sembuh, Biel.. Sa... Yang".

Setelahnya, Bumi kembali hilang kendali akan tubuhnya. Lelaki itu kembali dalam keadaan statis seperti hari-hari sebelumnya. Buru-buru, Ansara mengambil Gavabiel yang masih terduduk di dada sang Ayah dan menekan tombol untuk memanggil perawat yang bertugas.

Ansara langsung mengunci Gavabiel didalam pelukannya, berupaya agar anak lelaki itu tidak menyadari apa yang terjadi pada sang Ayah. Kali ini ia bersikap begitu tenang, lantaran sudah mulai terbiasa menghadapi kejadian ini sebelumnya.

Ansara yakin, ia hanya perlu bersabar untuk kesembuhan Bumi. Ia yakin bahwa sebentar lagi, kondisi Bumi akan kembali seperti sedia kala.

Dan mereka akan kembali menjadi keluarga yang utuh, seperti sebelumnya.

———

Perlahan, proses penyembuhan Bumi menunjukkan hasil yang signifikan. Episode hilang kesadarannya yang semula terjadi terus menerus dalam jarak dekat, perlahan berkurang intensitasnya. Bumi bahkan mulai bisa merespon obrolan Ansara untuk beberapa waktu sebelum kembali dalam keadaan statis. Dan seluruh perkembangan kondisi itu pun tercatat rapi di dalam rekam medis. Dosis obat yang disuntikkan pun, perlahan mengalami penurunan, membuat Ansara kerap kali bernafas lega tatkala menemukan sebagian dari jiwanya yang kini berangsur pulih.

"Kesadarannya sudah dalam hitungan jam. Kami juga sudah mengurangi dosis obat suntik. Jika nanti kesadarannya bisa berkembang dalam hitungan hari, pemberian obat suntik akan kami ganti dengan obat oral". Jelas Dokter Evan pada seluruh keluarga Bumi.

Ansara tersenyum bangga mendengarnya, ungkapan sukur juga terdengar dari seluruh yang hadir disana. Dokter lantas membalik catatan medisnya dan melanjutkan penjelasan. "Terapinya berjalan bagus, setiap hari perkembangannya cukup signifikan. Pasien juga sudah mulai lancar berkomunikasi walau terbata. Ini harus dipertahankan demi kesembuhan total. Hanya saja, memorinya akan hari- hari terakhir sebelum pasien ditemukan, nampaknya masih belum kembali. Traumanya masih mengunci rapat memori tersebut. Ini yang masih mengganjal untuk kami".

Ansara menelan salivanya, merasakan sesak seketika tatkala mendengar penuturan Dokter. Rasanya, jika boleh memilih, Ansara tidak ingin Bumi ingat akan hari-hari menyedihkan yang menyebabkan trauma untuk sang lelaki. Biar saja terlupakan, biar hanya seluruh hal indah yang diingat. Pun, Ansara lantang bersuara setelahnya.

"Biar dia lupa, Dok. Tolong fokuskan kesembuhannya saja. Jika memang ingatannya tidak kembali, biar saja terus terlupakan".  Ucap Ansara lantang, menyuarakan keinginannya.

Lantas, sang Dokter mengangguk, tidak ingin berargumentasi lebih lanjut. "Baik, kami akan terus mengupayakan yang terbaik, Bu".

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now