22. Pulang ke Kehampaan

1.5K 175 41
                                    

Memasuki rumah yang biasanya selalu menjadi tumpuannya kembali, Bumi kali ini merasa asing. Tidak ada paras cantik yang tersenyum untuknya, meredakan seluruh sakit dan lelah di tubuhnya. Pun tidak ada harum aroma masakan yang mengisi rongga penciumannya.

Hari ini, Bumi hanya sempat makan sekitar tiga sendok di kantor. Sisanya, ia banyak mengisi perutnya dengan red wine, sebab total sudah kehilangan nafsu makan. Bumi hanya akan mengisi perutnya saat terasa nyeri, sama sekali tidak memikirkan perihal kebutuhan gizi. Pikirannya begitu penuh, sedangkan fungsi tubuhnya tidak berlaku maksimal lantaran sudah beberapa hari belakangan, gaya hidupnya terlampau tidak sehat.

Tiba di rumah, lagi-lagi perutnya merasakan nyeri yang tak biasa. Kemungkinan, akibat efek mengkonsumsi alkohol dengan takaran yang tidak sedikit. Tatkala melintasi ruang makan, lelaki itu lagi-lagi menemui meja yang kosong, tidak ada satu piring makanan pun tersedia.

Di sisi counter dapur, matanya menangkap kearah sebuah bungkusan bening berisi sisa roti yang nampak nya sudah dimakan setengah. Sepertinya, Ansara tidak sempat menghabiskannya lantaran sibuk mengurus Gavabiel yang tengah aktif bergerak kesana kemari.

Tanpa berpikir panjang, diraihnya bungkusan roti tersebut dan dengan tenang. Usai mengambil segelas air untuk pendamping makan, Bumi menarik bangku di meja makan untuk duduk disana. Dimakannya perlahan sisa roti cokelat tersebut, meskipun sebenarnya, Bumi tidak terlalu menyukai manis. Tapi, saat ini, nyeri di perutnya membuatnya tidak memiliki banyak pilihan.

Setelah menghabiskan sisa roti, Bumi lantas meneguk airnya hingga tandas. Meski tidak merasakan kenyang, setidaknya, Bumi sudah sempat mengisi perutnya. Pikirnya, yang penting tidak mati kelaparan saja sudah cukup untuk sekarang.

Lelaki itu lantas berlalu menuju ke kamar, dan tentu saja, seperti malam-malam sebelumnya, ruang itu kosong. Ansara masih menghindari untuk banyak kontak langsung dengannya, memilih kamar anak sebagai sarana ruang tidurnya setiap malam.

Bumi melangkahkan kakinya kembali menuju ke depan kamar anak, berharap hari ini, ia mendapatkan kesempatan untuk berbicara dan memeluk kedua orang yang begitu ia rindukan dengan bebas. Berbeda dengan kemarin, hari ini, ruangan itu terdengar sunyi dari luar, membuat Bumi enggan mengetuk karena takut membangunkan Gavabiel jika ia tertidur.

"An, saya pulang, sayang. Boleh masuk?". Ucapnya pelan, memaksimalkan pendengaran, menunggu jawaban Ansara.

Dan senyap adalah jawabannya. Nampaknya, kedua manusia itu sudah tertidur. Untuk memastikannya, Bumi membuka kenop pintu perlahan, dan seperti dugaannya, posisinya terkunci.

Bumi sekali lagi harus mengerti, kalau Ansara masih membangun tembok tinggi dengannya.

Dengan satu helaan nafas berat, Bumi memilih kembali mengalah. Ia tidak pantas berbuat egois. Lantas, ia berbalik dan memilih untuk masuk kedalam kamar. Lelaki itu berbaring di kasur dengan menatap kearah langit-langit, menemukan kehampaan di seluruh sisi relungnya yang terus mengisi hingga nyaris penuh.

Tak usai merasakan remuk di jantungnya setelah menjalani hari berat, pun ia harus kembali mendapati babak belur di relungnya tatkala ia pulang ke rumah. Tempat terhangat yang pernah ia kenal, berubah dingin dalam seketika.

Seakan-akan, ia tengah pulang ke tengah kehampaan yang membuatnya sulit bernafas.

———

Bumi terbangun setelah mendengar bunyi berisik dari area bawah. Lelaki itu tersentak, tersadar dari alam mimpi dengan masih memakai pakaian kerja lengkap. Buru-buru masuk ke kamar mandi, membasuh diri, kemudian berganti pakaian. Setelahnya, ia menuruni anak tangga, berharap bisa melihat wajah Ansara dan Gavabiel di pagi ini.

Namun, keningnya berkerut setelah menemukan Bi Mai disana yang tengah sibuk memasak dan merapikan area dapur. Bumi lantas berjalan mendekat untuk memastikan. "Bi Mai?".

Yang dipanggil, tersentak kaget dan berbalik. "Astaga, Den Bumi.. Bikin kaget".

"Bi Mai udah selesai izin?". Tanya Bumi penasaran.

Bi Mai mengangguk. "Iya, Den. Harusnya, Bi Mai kerjanya mulai besok. Tapi, Non An semalam telfon, minta tolong Bibi buat masuk sehari lebih cepat".

"Kenapa? Terus Ansaranya mana sekarang? Udah turun dari atas belum dari tadi?". Tanya Bumi lagi, bingung.

Bi Mai menggeleng. "Kurang tau, Den. Bibi cuma diminta masak sama Non An begitu sampai. Dari tadi tapi Bibi belum ketemu Non An sama Biel. Kirain masih tidur diatas sama Den Bumi".

"Oh. Mungkin masih tidur. Semalam, Ansara ketiduran di kamar Biel soalnya". Balas Bumi.

Bi Mai menggaruk lehernya. "Anu, Den. Tapi, tadi Bibi sempat ke kamar Biel, tapi kok gak kedengeran suaranya, ya? Biasanya, Biel pagi banget udah bangun, terus suaranya pasti kedengeran dari luar".

Deg.

Selama sedetik, jantung Bumi bak berhenti berdenyut tatkala mendengar ucapan Bi Mai. Tanpa bicara, lelaki itu langsung berlarian melesat ke lantai atas, mengabaikan nafasnya yang terengah lantaran berlarian menaiki anak tangga yang cukup tinggi. Diketuknya kencang pintu kamar Gavabiel secara repetitif.

"Ansara, buka pintunya, sayang. Biel, ini Ayah, sayang. Biel di dalam kan?". Panggil Bumi panik, sebab tak kunjung mendapat jawaban.

Diraihnya kenop pintu untuk memaksanya terbuka, namun nihil, kondisinya memang terkunci. Bumi tak menyerah, ia terus mengetuk, bahkan sekarang sudah menggedornya kencang lantaran merasakan panik yang membanjiri diri, takut sesuatu terjadi pada Ansara dan Gavabiel tanpa sepengetahuannya. Bi Mai juga memasang raut panik di belakang Bumi, merasa sama khawatirnya.

Dan pada akhirnya, Bumi tak memiliki pilihan lain lagi selain mendobrak pintu. Lelaki itu mengerahkan sisa tenaganya untuk menabrak pintu sekuat-kuatnya sebanyak tiga kali, dan berhasil menjebol kunci. Netranya langsung menyisir area kamar yang anehnya terlihat kosong. Sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaan Gavabiel disana.

Kasur yang biasa mereka tiduri, terlihat rapi. Begitu pun dengan boks bayi yang beberapa kali menjadi tempat tidur Gavabiel. Bumi langsung terpaku di tempatnya, terdiam sebab tak bisa memproses hal yang terjadi tanpa sepengetahuannya itu.

Setelah tubuhnya bisa kembali bergerak, lelaki itu langsung berlari menuju lemari baju Gavabiel, memastikan ketakutannya tidak valid. Namun, lemas langsung mendominasi tubuhnya tatkala menemukan sebagian besar baju milik sang anak sudah tidak ada disana. Hanya tersisa beberapa lembar yang memang sudah jarang dipakai.

Ansara pergi dari sisinya untuk kedua kalinya, namun kali ini membawa serta Gavabiel.

Sirkuit otak Bumi langsung buntu, tak mampu berpikir lantaran hal yang paling ia takutkan terjadi tanpa ia ketahui. Ternyata, sejak semalam, Ansara dan Gavabiel sudah tidak ada dirumah. Kehampaan yang ia rasakan, rasanya jadi beralasan.

Kamu kemana, Ansara? Kenapa harus pergi lagi?

Bumi terduduk lemas di atas kasur milik Gavabiel, lengkap sudah kini ia kehilangan seluruhnya. Pekerjaan, nama baik, pun orang yang paling penting untuknya.

Kini, ia berdiri sendiri, seperti ucapan Ansara saat itu.

Satu persatu pilar hidupnya berjatuhan, ia tak lagi memiliki tempat berpegang.

Bumi resmi sendiri.

BUMIGANTARAOnde histórias criam vida. Descubra agora