26. Denting Pilu

1.8K 232 65
                                    

"Bumi masuk rumah sakit, Nak..".

Hening tercipta setelahnya, tidak satupun dari kedua manusia disana bergerak, seakan terhenyak sesaat untuk situasi yang memang mengejutkan ini. Air muka Ansara sama sekali tidak berubah, tidak terlihat panik, maupun bergeming. Ia hanya terdiam untuk waktu yang cukup lama sebelum kembali bersuara.

"Oh".

Hanya itu yang terucap dari bibir sang cantik, tidak berniat menanyakan hal apapun lagi kepada sang Ibu bahkan setelah mendengar kabar yang mengejutkan itu. Berbeda dengannya, sang Ibu nampak terkejut tatkala mendapati anak perempuannya tidak bereaksi apapun. "Kamu mau pulang ke Jakarta sekarang, An?Biar Ibu bilang Bapak untuk minta antar".

Ansara menggeleng tenang. "Gak usah, Bu. Biarin aja".

Raut heran kembali menghias wajah Ibu. Sikap Ansara yang terlalu tenang disaat seperti ini, benar-benar membuatnya takjub. Lantaran tidak biasanya seorang Ansara yang manis dan penuh perhatian menjadi tak peduli sama sekali seperti ini.

"Kamu gak mau ke rumah sakit? Tadi Mamamu telfon, bilang katanya semua keluarga sudah ada di rumah sakit. Kamu diminta datang juga, Nak". Ujar Ibu, kembali meyakinkan.

Ansara konsisten menggeleng. "Enggak, Bu. An gak mau".

"Tapi, An.. Kondisi Bumi....". Omongan Ibu pada akhirnya terputus tatkala Ansara menyetop bicaranya.

Rautnya berubah tegas, bak tidak bisa dibantah lagi. "An gak mau tau kondisi Mas Bumi gimana, Bu. Lagian, disana juga pasti udah banyak yang jagain. Biar aja. An mau disini aja, urus Biel sampai sembuh".

Belum usai mereka berbincang, Ansara sudah memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras, seakan menegaskan raut keras di wajah cantiknya. Sang Ibu menggelengkan kepalanya tak percaya.

"An, Ibu gak pernah mendidikmu jadi keras seperti ini. Biar gimana pun, Bumi masih suamimu..". Ucap Ibu pelan.

Ansara tak menggubris, pun memilih berjalan menuju ke kamar. "An mau istirahat dulu, Bu. Sekalian jaga Biel di kamar".

Pintu kamar pun akhirnya dikunci dari dalam, meninggalkan Ibu yang masih terbengong di tempatnya usai mendapati anak sulungnya bersikap tidak seperti biasanya. Ansara yang ia besarkan penuh dengan kasih sayang, yang begitu lembut dan penuh dengan perhatian, entah sejak kapan berubah menjadi seorang yang berhati dingin yang tak dikenali seperti tadi.

Dari dalam kamar, suara Gavabiel yang terbatuk berulang kali dan berakhir menangis terdengar. Nampaknya, apa yang Gavabiel rasakan adalah sebagian kecil dari yang tengah Bumi rasakan sekarang. Belum lagi, perasaan rindu ingin bertemu dengan seseorang yang biasanya selalu dilihatnya, membuat keadaan anak lelaki itu makin turun.

Dan seharusnya, Ansara mengerti keadaan itu. Tentu saja ia juga bisa merasakannya. Namun, nampaknya sang puan memilih menulikan telinga dan menutup mata untuk keadaan ini.

Semata karena rasa kecewa yang masih mendominasi dirinya.

———

Suasana bungkam tengah menyelimuti keluarga Bumi yang kini terduduk lemas di bangku rumah sakit. Papa, Mama, dan Prastha, anak sulung mereka, semua terdiam. Masing-masing sama sekali tidak bisa bercakap barang sepatah kata pun. Sekujur tubuh mereka lemas bukan main tatkala mendapati kabar mengenai Bumi.

"Ganes lagi cari penerbangan paling awal buat kesini, Ma, Pa". Ucap Prastha, memecah kesunyian.

"Oh, oke". Sahut Papa, yang hanya sanggup mengucap dua patah kata sebelum kembali termenung di tempat duduknya.

Sedangkan sang Mama tidak mampu berucap apapun, hanya sibuk meneteskan airmata dan merapal permohonan pada tuhan untuk anak bungsunya yang kini masih dalam penanganan medis. Denting alat yang tertangkap di rungu mereka membuat pilu terasa sesak di dada.

Sejak masuk ke Instalasi Gawat Darurat dan mendapat diagnosa awal keracunan, Bumi langsung mendapatkan pertolongan pertama dengan bantuan berbagai macam alat. Namun, setelah dilakukan test lab dan pengecekan mendalam, ditemukan adanya luka di bagian lambung yang diduga akibat kelalaian Bumi menjaga pola makannya dan memaksa mengkonsumsi alkohol kadar tinggi dengan jumlah yang berlebihan hingga membuatnya kolaps.

Yang membuat keluarga terpukul ialah kenyataan bahwa Bumi melakukan hal itu secara sengaja dengan niat mengakhiri hidupnya, terbukti dengan ditemukannya sebuah surat dan pistol yang letaknya tak jauh dari lokasi ia terkapar.

Bumi rupanya mencari cara untuk mengakhiri hidup yang paling tidak menyakitkan. Dan tidak seorang pun tahu mengenai rencananya.

"Sesakit itu yang kamu rasain, Nak? Sampai kamu nekat mau tinggalin Mama..". Desau sang Mama sendu, pandangannya tetap kosong menatap ke kehampaan, seakan merasakan separuh nyawanya melayang.

Hingga saat ini, Bumi masih juga belum sadarkan diri. Lelaki itu terlihat tertidur damai dengan alat menempel di tubuhnya. Sisa benturan meja di pelipis kirinya pun sudah diperban dengan rapi.

Sang Papa nampak sama terpukulnya. Tidak mengira bahwa anak bungsunya menyimpan semua hal yang memberatkannya itu sendiri hingga berakhir nekat. Lelaki paruh baya itu terdiam, sesekali memijat pelipisnya dan menaruh tangannya di bahu Bumi, seakan menyesal telah memperlakukan anak lelakinya itu dengan semaunya.

"Bumi gak akan begini kalau kita gak maksain semua keinginan ke dia, Pa...". Ucap sang Mama, masih menatap sendu pada anak lelakinya.

Prastha, yang berada diantara kedua orangtuanya dan adiknya, ikut merasakan perasaan bersalah itu. Ia menunduk, menatapi ujung sepatunya di bawah sana. Sedangkan sang Papa memilih bungkam, tidak mampu mendebat sama sekali perkataan istrinya.

Isakan kembali terdengar setelahnya, Mama Bumi sama sekali tak mampu menahan guncangan emosi di dirinya. "Bumi almost ended his own life because of us... Gimana kalau ternyata Tuhan ambil dia sekarang, Pa? Mama bisa gila".

"Bumi akan baik-baik aja. Dia udah ditangani tim Dokter, Ma". Ujar Papa menenangkan.

Sang wanita mendengus. "Terus gimana dengan mentalnya? Kalaupun setelah ini dia sembuh dan pulang ke rumah, apa Papa yakin dia gak akan coba bunuh diri lagi? How can you be so calm about this? He's our child, Pa".

"Sudahlah, Ma! Jangan bikin keadaan makin rumit". Bentak Papa, nampaknya tengah sama tertekannya dengan sang Mama.

Prastha menghela nafasnya berat tatkala mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Lelaki itu lantas memilih untuk keluar dari ruangan, menenangkan diri dengan duduk di bangku ruang tunggu. Sebagai anak sulung, Sejujurnya, Prastha pun merasakan betul perasaan bersalah pada sang Adik.

Seharusnya, ia yang merasakan semua tuntutan itu sebagai anak sulung. Tapi, tentunya Prastha memilih egois dengan memikirkan diri sendiri dan mengorbankan Bumi. Adik manisnya yang sejak dulu tidak pernah berubah.

Mengetahui kenyataan bahwa luka batin itu pada akhirnya membuat kondisi mental Bumi terguncang, membuat Prastha sama sekali tak menyangka. Diamnya Bumi selama ini, ternyata bukan semata karena sang Adik orang yang pendiam. Tapi karena ia memendam banyak hal.

Hingga akhirnya timbul satu pertanyaan di benak Prastha. Lelaki itu lantas berandai-andai. Andai ia adalah Bumi, apakah mungkin ia bisa sekuat sang adik?

Atau, mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah..

Apa selama ini, Bumi pernah merasakan bahagia barang sekali saja?

BUMIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang