19. Penghakiman Keluarga

1.4K 149 15
                                    

Usai melepas release ke seluruh media yang bisa diupayakan, Bumi lantas tak mampu melepas netranya dari kurva statistik saham perusahaan yang masih juga merah hingga saat ini. Bukan lagi soal reputasinya, kini ancaman pencabutan dana investor sudah didepan mata, dan mungkin akan terjadi dalam hitungan detik.

Jantungnya berdegup kencang, otaknya pun berputar tak karuan, memikirkan perkara mana dulu yang harus ia dahulukan lantaran semuanya nampak genting sekarang. Bumi teramat hilang di pikirannya sendiri, tanpa sadar bahkan mengabaikan panggilan telepon dari ponselnya yang sudah berdering sejak tadi.

Hingga akhirnya, ketukan di pintu, membuatnya tersadar. Dari balik pintu, Bianca memunculkan wajahnya dengan takut-takut. "Pak, maaf..".

"Apa lagi, Bianca?!". Sahut Bumi dengan nada kencang, merasa sama sekali tak bisa diganggu.

Bianca membalas dengan takut. "Itu.. Tadi, saya dapat telfon dari Bapak-Bapak, gak bilang siapa, tapi dia minta Pak Bumi cek hp..".

"What?". Tanpa berpikir panjang, Bumi meraih ponselnya, mengecek layarnya yang kini penuh dengan missed calls dari sang Papa. Segera, ia mengisyaratkan Bianca untuk meninggalkannya sendiri. "Got it, udah sana, saya mau call orang".

Disentuhnya layar ponsel guna melakukan panggilan, dan tatkala panggilan tersebut tersambung, suara sang Papa sudah terdengar. "Ke rumah sekarang".

"Bumi lagi banyak urusan, Pa. Lain kali aja". Balas Bumi singkat.

Suara sang Papa meninggi seketika. "Papa bilang kamu ke rumah sekarang! Denger gak?!".

Ini mungkin kali pertama sang Papa bersikap demikian pada Bumi. Dan ia tahu, perkara yang akan ia hadapi bukan hal main-main.

"Iya, Pa. Bumi kesana".

———

Suara koran yang dilemparkan keatas meja, membuat seluruh yang ada di meja makan saat itu, tersentak. Baik Bumi, maupun sang Mama, sama-sama menatap lekat pada sosok Papa yang kini terlihat begitu murka.

"Apa-apaan ini?! Ngapain lagi kamu? Gak cukup bikin masalah sampai harus bikin rumor yang menjatuhkan perusahaan?". Maki sang Papa, membuat Bumi menelan salivanya sulit.

Bumi menggeleng. "Pa, I promise you this isn't like what you thinking. It's just a trash rumour somebody made to take advantage of me and the rumoured girl".

"Persetan, Bumigantara! Kamu lihat saham perusahaan menukik bebas karena ulahmu?!". Sambar sang Papa makin kerung.

Bumi tahu, arahnya akan kesana. Lantas, ia mencoba mengatur emosinya yang bahkan sudah nyaris habis. "Bumi udah keluarin press release, Pa. I'm working on everything right now. Bumi bahkan belum sempat makan dengan proper sejak kemarin cuma demi memperbaiki benang kusut ini".

Papa memukul meja makan kencang, membuat sekali lagi kedua manusia disana, tersentak. Sebab belum
pernah melihat kemarahan sang Papa yang sebesar itu. Akibatnya, airmata Mama Bumi bahkan menetes. Sebab turut merasakan kecewa yang dalam pada anak bungsunya itu.

"And you think a single press release can fix all of those chaos? Bahkan di usia kamu yang sekarang, kamu sama sekali belum bisa berpikir matang? It'll be fucking useless, Bumi". Ucap Papa, menegaskan.

Pria itu lantas menundukkan kepalanya. "Gepa put so much affection and trust towards you. Kamu cucu tersayangnya selama ini. The reason he built the company from zero, is because he wants you to handle it. Dan ternyata, kamu yang paling mengecewakan, dibanding dengan kakak-kakakmu yang kami kira gak sebaik kamu".

Bumi tidak pernah suka dibandingkan dengan kakak-kakaknya, kedua orangtuanya tahu itu. Entah itu untuk hal positif maupun negatif, Bumi tidak pernah menyukainya.

"Bumi pasti akan beresin semua ini. Saham perusahaan gak akan hancur untuk waktu yang lama, Pa". Sahut Bumi, pelan.

Sang Papa menggeleng, sama sekali tidak setuju. "Papa sudah suruh Prasthawara pulang".

Bumi mengerutkan keningnya, sama sekali tak mengerti. "Buat apa, Pa?".

"What else? Of course, he'll replace you to handle the company". Balas sang Papa datar. 

Bumi menggeleng kuat. "Gak bisa gitu, Pa. Gepa udah rubah akta kepemilikan perusahaan itu atas nama Bumi".

"Dan kamu akan urus perubahan kepemilikan atas nama Prastha jika diperlukan". Sahut sang Papa.

Detik itu juga, Bumi merasakan satu ketakutan terbesarnya menghantam.

"Bumi gak bersedia".

Papa makin naik pitam. "Lantas apa solusimu?! Dengan menggeser kamu dan menjadikan Prastha pemimpin disana, itu solusi paling cepat. It's the most efficient way. Nama Kakakmu bersih, dia juga bagian dari keluarga. Dia bahkan di negara tempat tinggalnya punya company sendiri. Seenggaknya, perusahaanmu itu masih bisa dicegah dari kolaps. Asal kamu ingat, Bumi. Perusahaan itu bukan skala rendah. You have more than five hundred people in the building working for you. Kamu masih mau egois dan hilangin pekerjaan mereka karena kepentinganmu?".

Bumi terdiam. Ia bungkam lantaran kembali ditampar dengan kenyataan bahwa mungkin, sikapnya memang terlalu egois.

"Kalo kamu takut kehilangan harta. Gak usah khawatir. Our family has more than enough to pay your bills, even for the rest of your life". Sambung Papa Bumi.

Mendengar ucapan itu, Bumi merasakan harga dirinya diinjak-injak. Lelaki itu terdiam di tempatnya untuk waktu yang cukup lama, berkontemplasi akan dirinya sendiri.

Terlahir sebagai anak terakhir yang terbiasa mengalah dengan saudaranya yang lebih tua, menjadi seorang yang penurut dan tidak banyak membantah sejak dulu, ternyata berhasil membuat dirinya selama-lamanya harus merasakan hal yang sama.

Tidak berguna.

Seakan-akan ia adalah objek yang bisa diatur seenaknya, dan dibuang ketika melakukan kesalahan.

Dipaksa mengikuti jurusan yang tidak diinginkan, tidak diperbolehkan mengemban pendidikan di luar negeri dan menetap di sana seperti kakak-kakaknya yang lain, bahkan sampai menikahi orang yang bukan pilihannya, sudah ia lakukan.

Semua demi pengakuan dari keluarga yang nyatanya tak akan pernah ia dapatkan.

Selamanya, Bumi memang tidak akan pernah cukup di mata keluarganya.

Seharusnya, saat ini juga, Bumi balik memaki, mengeluarkan seluruh beban di hatinya yang sudah mengganjal selama berpuluh tahun.

Namun, sekeras apapun ia sekarang, pada dasarnya, Bumi tetaplah anak manis dan penurut yang tak mau mengecewakan kedua orangtuanya.

"Oke, Pa.. Bumi ngerti. Silahkan lakuin yang terbaik menurut keluarga kita". Ucap Bumi setelahnya, enggan untuk menatap lagi kearah sang Papa. "Kalau memang perlu untuk urus pemindahan kepemilikan, Bumi akan urus setelah ini. Maaf, Bumi gak bermaksud bersikap egois".

Sang Mama memejamkan matanya, merasakan perih di dadanya saat melihat anak lelakinya yang sudah memasrahkan segalanya di hadapan orangtuanya.

Setelahnya, Bumi perlahan bangkit dan menunduk, hendak berpamitan. "Kalo gak ada yang mau diobrolin lagi, Bumi pamit, Pa".

"Bumi, tunggu". Kali ini, sang Mama mencegah, airmatanya berderai tak karuan. Naluri keibuannya pada anak yang pernah ia kandung selama sembilan bulan itu, sudah meronta sejak tadi melihat anaknya tersiksa. "Makan dulu, sayang. Kamu bilang, kamu belum makan".

Bumi menggeleng. "Bumi pulang aja, Ma. Istri sama anak Bumi nungguin dirumah".

Dan lelaki itu memilih berbalik tanpa menoleh kembali, membiarkan tangisan sang Mama yang kian pecah bergema di belakangnya. Sama sekali tak lagi memedulikan perihal lain selain satu hal yang paling krusial.

Keutuhan rumah tangganya.

BUMIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang