30. Diagnosa

2K 242 51
                                    

Ansara merasakan bahunya disentuh dari belakang. Kesadarannya perlahan pulih setelah tertidur dalam
posisi duduk disamping Bumi dan Gavabiel yang juga kini terlelap. Ansara menoleh, menemukan sang Mama disana dengan raut khawatirnya.

"Tidur di kasur aja, An. Nanti sakit badanmu kalau tidur disini". Ucap Mama lembut.

Ansara menggeleng, matanya terasa nyeri lantaran menangis hingga tertidur. "Gak apa-apa, Ma. Disini aja".

Sang Mama lantas mengelus rambut Ansara lembut. "Tadi Mama denger kamu sama Prastha argumen. Maafin Prastha ya, dia memang bicaranya agak pedes. Dari dulu begitu. Tapi, sebenarnya dia baik kok".

Ansara menggeleng pelan. "Gak apa-apa, Ma. An justru jadi tahu semuanya setelah ngobrol".

"Jangan ngerasa bersalah dengan apa yang menimpa Bumi ya, An. Kami semua pun gak ada yang tahu soal kondisi Bumi. Kita semua lalai. Bukan salahmu". Ucap sang Mama lagi, menenangkan.

Ansara menatap kearah Bumi sekilas. "Tapi An salah karena gak pernah tahu apa-apa soal Mas Bumi, Bu. An kira, selama ini, An udah mengenal dengan baik pribadi Mas Bumi. Ternyata, An justru sama sekali gak tahu".

Keduanya lantas terdiam, memandangi Bumi dan Gavabiel yang sedang tertidur berdua. Bayi mungil itu menelungkup di atas dada luas sang Ayah, seakan nyaman berada disana. Sedangkan Bumi kali ini ini tertidur dengan masih dalam keadaan statis.

"Bumi itu dari kecil gak banyak bicara. Gak usah masalah besar, masalah kecil seperti jatuh dari sepeda aja, dia gak bilang. Kami tahunya setelah lihat luka di lututnya yang masih terbuka. Mungkin, itu salah satu sifat buruknya yang terbawa sejak kecil. Bumi terbiasa memendam masalahnya sendiri karena gak mau bikin khawatir orang lain. Dan ternyata, terbawa sampai dia dewasa. Bumi itu sebenarnya yang paling disayang diantara saudaranya yang lain, dan saking sayangnya, kami jadi memperlakukannya berbeda, kami selalu memaksakan yang terbaik menurut kami untuknya. Kami tidak pernah membebaskannya memilih". Ucap sang Mama, membuka cerita.

Ansara mendengarkan dengan seksama, membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Bumi. Meski Ansara pun sering mengalah pada adik-adiknya, tapi itu semua ia lakukan secara sukarela. Bukan dengan paksaan seperti yang Bumi terima selama ini.

"Kalau ditanya siapa yang paling menyesal dengan kejadian ini. Kami sebagai orangtua adalah orangnya, An. Kalau saja sejak kecil kami mendengarkan pikiran Bumi, pasti dia tidak akan tumbuh menjadi pribadi yang tertutup seperti ini". Jelas sang Mama, menumpahkan penyesalannya.

Ansara merasakan matanya kembali memanas, bicaranya pun pelan, halus sekali. "An juga ngelakuin kesalahan yang sama, Ma. An memilih untuk gak mendengarkan apapun disaat semua masih baik-baik aja..".

Kedua manusia itu memperhatikan presensi Bumi yang begitu menyedihkan. Entah apa yang lelaki itu rasakan sekarang, hanya ia yang mengetahui betapa sakitnya. Yang pasti, penyesalan menjadi satu hal yang melingkupi orang-orang di sekitarannya sekarang. Yang selalu memilih untuk menulikan pendengaran untuk seluruh berisik yang bernaung di kepala Bumi selama ini.

———

"Diagnosa awal saya, pasien mengalami Brief Psychotic Disorder". Ucap Dokter Evan, psikiater yang bertugas mengecek keadaan Bumi.

Wajah kaget tergambar jelas pada mereka yang sejak tadi cemas menanti hasil pemeriksaan. Prastha maju selangkah, menuntut penjelasan. "Bisa dijelaskan mendetail terkait penyakitnya, Dok?".

"Brief Psychotic Disorder adalah ketika seseorang mengalami gejala psikosis secara tiba-tiba dan dalam jangka waktu pendek, biasanya kurang dari satu bulan. Psikosis sendiri adalah keadaan dimana seseorang tidak bisa membedakan antara imajinasi dan nyata. Info yang saya terima, pasien sempat melakukan percobaan bunuh diri sebelum tidak sadarkan diri. Jadi, kemungkinannya, saat ini, pasien tengah berada di imajinasinya dimana ia sudah mati. Itu yang menyebabkan tubuhnya tidak bisa bergerak, pun sama sekali tidak bisa merespon apapun dari sekitarnya". Jelas Dokter Evan panjang.

Ansara sampai membeku di tempatnya saat mendengar hasil analisa psikiater Bumi. Tubuhnya makin lemas lantaran tak menyangka betapa seriusnya masalah yang tengah membidik Bumi sekarang.

Di satu sisi, Prastha masih mencoba tenang, lelaki itu kembali melayangkan pertanyaan. "Apa penyebabnya, Dok? Apa memang pemicunya sudah terjadi sejak lama?".

"Kejadian traumatis dan depresi berat". Balas sang Dokter, menuai sekali lagi tatapan tak percaya dari seluruh keluarga Bumi. Lantas, sang Dokter melanjutkan. "Selain karena depresi, kondisi ini kerap terjadi sebagai bentuk respons seseorang setelah mengalami kejadian traumatis. Menurut analisa saya, percobaan bunuh diri itu sendiri adalah salah satu kejadian traumanya".

Gantian, kini Ganestian yang bersuara. "Tapi Adik saya masih bisa sembuh, kan, Dok? Bisa diobati, kan?".

Sang Dokter mengangguk. "Kami akan mengupayakan semaksimal mungkin. Untuk pengobatannya, butuh medikasi dan sesi terapi rutin. Untuk medikasi, sementara akan dilakukan melalui infus karena pasien belum bisa merespon dan menelan obat-obatan secara oral. Lalu untuk terapi, kemungkinan, kami akan butuh pihak keluarga untuk ikut andil di beberapa sesi".

Ansara memeluk Gavabiel yang berada di gendongannya lebih erat, seakan tengah berupaya menguatkan diri setelah mendengar seluruh penjelasan Dokter. Di pelukannya, bayi lelaki itu mulai merengek, kemudian menangis pelan. Suara tangisnya parau lantaran sudah terlampau lemas.

Dan dalam hitungan detik, tangisan Gavabiel terhenti. Tubuh anak itu lemas hingga kedua tangannya jatuh ke kanan dan kiri. Kepalanya pun terjatuh ke satu sisi. Ansara merasakan jantungnya terhenti tatkala mendapati Gavabiel nampak pingsan di pelukannya. Ditepuknya pelan pipi anak lelaki itu bergantian. "Biel? Biel..? Biel dengar Bunda, gak? Biel...".

Airmata mulai kembali jatuh di pipi Ansara. Melihat kepanikan tergambar di raut cantik itu, sang Mama lantas berjalan mendekat. Kemudian ikut mengecek keadaan cucunya. "Biel kenapa, An? Astaga, kok panas banget badannya?".

"Biel memang udah berapa hari ini demam, Ma.. Ini tapi kok dia gak mau bangun, ya?". Ucap Ansara panik, masih terus mencoba membangunkan Gavabiel dengan menekan-nekan pipinya.

"Permisi, Bu. Boleh saya cek?". Dokter Evan yang memperhatikan, lantas berjalan mendekat, kemudian mengecek nadi dan nafas Gavabiel. "Sepertinya pingsan karena demam. Sudah berapa lama demamnya?".

Ansara terseguk tak karuan. "Sekitar lima hari, Dok".

"Wah, dibawa ke IGD sekarang ya, Bu. Biar mendapat pertolongan segera". Ucap sang Dokter, mengingatkan.

Tanpa diminta, Prastha segera meraih Gavabiel dari pelukan Ansara dan menggendongnya. "Sini, saya yang bawa. IGD nya lumayan jauh dibawah. Biar saya yang lari supaya lebih cepat".

Ansara tidak mendebat, ia lantas hanya mengekor sementara Prastha menggendong Gavabiel berlarian di lorong rumah sakit. Selama membawa Gavabiel, Prastha memastikan anak lelaki itu tetap terjaga di pelukannya, tidak memedulikan letih di badan setelah menghabiskan waktu di rumah sakit dan bahkan menyetir perjalanan jauh.

Prastha melakukan semua ini, semata-mata karena ia tahu, salah satu hal yang bisa membawa kesembuhan bagi adiknya, adalah anak dalam pelukannya yang tengah dalam keadaan kritis sekarang. Dan untuk itu, ia akan berupaya mati-matian guna kesembuhan sang Adik.

Semata demi menebus seluruh dosa dan rasa bersalahnya terhadap Bumi.

BUMIGANTARAМесто, где живут истории. Откройте их для себя