31. Segenap Perasaan Bersalah

2.2K 238 43
                                    

"Kami sudah ambil sample darah untuk dilakukan pengecekan lab. Hasilnya kemungkinan akan keluar sekitar dua jam lagi, Bu. Mohon ditunggu".

Ansara menganggukkan kepalanya pelan, merasakan pahit merayap di tenggorokan setelah mendengar penjelasan Dokter jaga di IGD yang bertugas hari itu. Tubuhnya terjatuh lemas di kursi, memilih duduk di samping anak lelakinya yang kini masih juga belum sadarkan diri setelah jatuh pingsan.

Infus yang menempel di tangan mungilnya membuat Ansara meringis, merasa tak tega lantaran tubuh sekecil itu harus menerima badai hebat di dalam tubuhnya. Ansara tidak sendiri disana. Sejak tadi, Prastha ikut berdiri diujung ruangan, memandang pada figur keponakannya yang sama statisnya dengan Bumi sekarang.

"Saya sudah ngerasain badannya demam sejak saya gendong dia semalam". Ucap Prastha, bertanya secara retoris pada Ansara.

Sang puan tak menoleh, hanya menjawab dengan lemas. "Memang Biel lagi demam...".

"Kalau tahu demamnya sudah berhari-hari, kenapa gak dirawat di rumah sakit?". Tanya Prastha lagi.

Ansara meneguk salivanya, ia tidak lantas menjawab. Nafasnya berat terhembus. "Bisa tolong tinggalin kami dulu?".

Prastha memasang tampang datar, sebelum berjalan keluar ruangan sembari mendengus pelan, nyaris tak terdengar. "Udah dibantu, bukannya terimakasih".

Disana, Ansara menggenggam jemari mungil Gavabiel erat, lantas mengecup keningnya pula lama. Panas masih terasa disana. "Maafin Bunda, ya. Bunda belum bisa jadi orangtua yang terbaik buat Biel. Harusnya, Bunda lebih peka dan bawa Biel untuk dirawat di rumah sakit lebih dulu. Akhir-akhir ini, otak Bunda buntu. Bunda jadi gak bisa mikir yang terbaik. Maaf, ya, sayang".

Tentu saja tidak ada respon yang Ansara dapatkan. Hanya suara nafas tenang yang terdengar dari anak lelakinya itu.

Ansara lantas mendekatkan bibirnya di telinga Gavabiel, berbisik halus disana. "Biel yang kuat, ya, sayang. Biel harus sembuh, harus peluk Bunda lagi. Jangan tinggalin Bunda, ya, Nak. Bunda temenin terus, gak akan kemana-mana".

Ansara menjeda bicaranya, kemudian kembali berbisik lirih di telinga anak lelakinya. "Biel begini karena kangen Ayah juga, ya? Maafin Bunda karena udah egois, ya.. Biel pasti sedih semenjak gak lihat Ayah lagi. Tadi Biel sempat peluk Ayah, inget gak? Tapi, Ayah lagi sakit, jadi gak bisa sayangin Biel dulu..".

Sebulir airmata Ansara jatuh tatkala mengingat kejadian yang menyayat hatinya tadi. Dimana Bumi bahkan seakan tak mengenali kehadiran Ansara dan Gavabiel yang begitu dekat dengannya. Ansara merasa, rasanya lebih baik menerima makian hebat atas egonya, dibanding harus mendapati kenyataan pahit yang bahkan tak pernah ia perkirakan sebelumnya.

"Maafin Bunda, Biel...".

———

Sekembalinya Prastha ke ruang rawat Bumi, lelaki itu menangkap presensi Ganestian yang tengah menatap lurus ke arah Adik mereka. Bumi tengah tertidur lelap, tetap dengan posisi yang sama sejak terakhir Prastha melihatnya.

"Any updates, Nes?". Ujar Prastha, bertanya.

Ganestian mendongak, menatap bingung pada sang Kakak. "Baru dikasih obat tadi, disuntikkin ke infus. Tapi, gue tungguin, dari tadi gak juga buka mata".

Prastha memilih duduk di sisi lain, ikut menatap kearah Bumi. "He's deep in a long dream".

"Gue gak ngerti". Ujar Ganes membuka suara. "Semenjak landing, gak ada yang cerita apapun ke gue. Not even Mama. Gue cuma dipanggil ke Jakarta buru-buru karena katanya kondisi Bumi kritis. But what actually happened, Bro? Why is our brother suddenly laying here and diagnosed with some mental illness? I don't get it".

Prastha menyilangkan tangannya di dada, menghela nafas panjang. "We just.. Don't know anything about him, Nes. Lo ngeh gak? Selama ini, lo sama gue hidup free di luar sana. We don't even follow our family's rules, we do anything our own. Kita bahkan jarang pulang kalo bukan urusan penting. Bumi nikah sama istrinya aja kita gak dateng, terakhir kita pulang waktu Gepa passed away. Do you recall all of that?".

"Gue masih gak ngerti". Sahut Ganes makin bingung.

Prastha menegakkan duduknya, berbicara dengan nada serius. "What I'm trying to say is.. kita terlalu careless dengan apapun yang terjadi di rumah. Dan lo tahu siapa yang kena imbasnya?".

Ganes menatap kearah Bumi, kemudian menggeleng. "Tapi dia kan selalu jadi anak dan cucu kesayangan, Bro. Sejak kecil selalu begitu. Dia juga satu-satunya yang paling nurut. Kita cabut dari rumah, Bumi doang yang nggak. Gue sama lo hidup bebas, Bumi doang yang sampai sekarang hidupnya lurus".

"And he felt pressured by all of that, Nes. Bumi nurut karena tekanan keluarga kita yang dari dulu sampai sekarang gak berhenti. He's always been a nice kid since ever. Dia gak pernah bisa nolak permintaan orangtua kita, or even Gepa. And with all those pressure and boundaries, dia juga gak punya tempat cerita. Where were we when he needed us? Harusnya juga, semua pressure keluarga itu bisa dibagi rata ke lo dan gue". Jelas Prastha, mencoba menjabarkan.

Ganes menunduk, mencoba meresapi seluruh perkataan sang Kakak. Lelaki itu masih mencoba berargumen. "He should've done the same like us. Apa susahnya cabut dari rumah ke negara lain kayak kita?".

"We left home when he was not even a teenager yet, Nes. Kita cabut barengan. Umur gue sama lo deket, tapi sama Bumi jauh. Lo pikir Bumi bisa berlaku nekat kayak gue dan lo disaat dia masih underage?". Sahut Prastha lagi. Lantas melanjutkan bicaranya. "Lagian, seinget gue, dia sempet mau kabur dari rumah sama pacarnya waktu mau dijodohin. Tapi, ujungnya gak jadi karena dia milih bertahan buat perusahan Gepa. Kedengerannya licik emang, tapi lo pikir, deh. Kalo itu terjadi di lo atau gue, pasti kita gak mikir dua kali buat cabut, kan? Bumi beda, Nes. Dia memang... Anak manis di keluarga kita sejak dulu. It's just in his blood. Deep down, sifat aslinya memang sepenurut itu. Gak bisa disamain sama kita".

Ganes menutup wajahnya frustasi. "God, this is frustrating. Gue beneran gak tahu Bumi sampai nekat mau suicide. Emang dia kena kasus berat?".

"Kasus sampah sebenernya, masalah gosip sama artis, gak valid juga, gue udah tanya langsung ke dia. Tapi imbasnya dahsyat. Bokap sampai mindahin aset terbesar dia, perusahaan dari Gepa, ke gue, karena sahamnya anjlok. Dan gue bener-bener ngerasa bersalah setelah Bumi mutusin buat serahin sepenuhnya ke gue. Niat gue, gue cuma bantu benahin aja sampe stabil, terus gue balikin ke dia. Tapi, kayaknya dia udah hilang semangat saat itu". Sahut Prastha.

Netra Ganes terbelalak mendengarnya. "What the fuck?! Bokap juga gila sih. Damn, that must be hurting his pride".

"That's how our father is. And all these times, he's been doing all those crazy things to Bumi. Dan kita bahkan gak tahu apa-apa sama sekali". Balas Prastha lagi.

Ganes menatap kearah sang Adik sekali lagi, turut merasakan rasa bersalah itu merayap di raganya. Mendapati kemalangan yang diterima sang Adik sejak dulu tanpa pernah mengetahui, adalah satu hal yang tidak pernah terbesit di pikirannya sama sekali.

Tiada lagi hal lain yang kini menggerogoti keduanya selain satu, yaitu rasa bersalah.

BUMIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang