8. Kenangan Buruk

4K 211 36
                                    

Sepulangnya Bumi ke rumah, lelaki itu disambut dengan hening yang membuat keningnya berkerut. Tak lupa, ia mengecek arloji, memastikan bahwa saat ini bahkan masih belum genap jam delapan. Tungkainya melangkah langsung ke lantai atas, membuka pintu kamar utama miliknya dan Ansara perlahan, berjaga-jaga seandainya putra kecilnya sudah tertidur didalam sana.

Matanya menangkap pemandangan manis dimana Ansara dan Gavabiel, sama-sama tertidur dengan posisi bayi mungil itu diatas tubuh sang Bunda. Keduanya sama sekali tak menyadari kehadiran Bumi, bahkan yang lebih menggemaskan lagi, ekspresi tidur keduanya nyaris sama, dengan mulut sedikit terbuka dan alis menyerngit.

Memang, Bumi sadar, secara keseluruhan, Gavabiel memang sangat mirip dengannya. Tapi, ia baru menyadari hal-hal kecil seperti mikro ekspresi anak itu, betul-betul mencerminkan Ansara. Sungguh, hal itu membuatnya kagum sendiri, sebab Bumi yakin bahwa putranya adalah gambaran sempurna dari dirinya dengan sentuhan Ansara di berbagai detail.

Bumi berupaya bergerak dengan begitu pelan, tak ingin menbangunkan salah satu dari dua orang yang tengah terlelap itu. Perlahan, ia masuk kedalam kamar mandi untuk bebersih diri. Sang lelaki sempat tersenyum sekilas lantaran sekarang, di keranjang sabun, terdapat beberapa peralatan mandi baru yang merupakan milik Gavabiel.

Belakangan ini, Bumi banyak sekali tersenyum. Dan tentu saja, penyebabnya adalah kehadiran Gavabiel di tengah dirinya dan Ansara, yang membuatnya bak terus berbunga-bunga lantaran telah resmi menjadi figur Ayah, selain sebagai suami belaka.

Bumi mengusak rambutnya pelan, mendapati baik Ansara dan Gavabiel, masih sama-sama dalam
posisi yang begitu nyaman, tak sedikitpun bergerak sejak pertama tadi ia menemukan mereka. Dengan gerakan lembut, Bumi menarik selimut di kaki Ansara agar menutupi keduanya, membiarkan tidur mereka jauh lebih nyaman dan hangat.

Tak lupa, ia juga membubuhkan satu kecupan di masing-masing pipi Ansara dan Gavabiel. Sentuhan itu, tak ayal membangunkan Ansara, membuat netranya mengerjap beberapa kali. "Mas?".

Bumi menempelkan jari telunjuknya di bibir, memberi isyarat agar mereka tak membuat banyak suara, menjaga agar Gavabiel tidak terbangun. Lelaki itu kemudian berbisik. "Kamu tidur lagi aja, An. Maaf jadi kebangun..".

Ansara menyaksikan bagaimana Bumi bergerak perlahan dan berakhir disampingnya, berbaring dengan posisi miring untuk memperhatikan wajah Ansara dan Gavabiel. Tatapannya melembut tatkala menemukan putranya itu tersenyum di dalam tidur. Bumi tak sanggup menahan kekehannya. "Senyum dia".

Ansara turut merunduk, menemukan putra mungilnya benar tengah tersenyum di dalam pelukannya. "Mimpinya indah, mungkin".

Netra Bumi bergerak kearah sang puan, jemarinya pun tak tahan untuk ikut bergerak, menyentuh wajah cantik yang masih saja terlihat sama memukaunya meski dalam cahaya temaram. "Kamu kelihatan capek, mau saya ambil cuti dulu untuk bantu kamu?".

Ansara sontak menggeleng. "Enggak, Mas. Jangan. Kamu udah cuti panjang kemarin waktu aku masuk rumah sakit, pasti banyak yang harus kamu selesaiin. Aku gak apa-apa, kok".

Bumi terdiam, sebab apa yang Ansara katakan memang ada benarnya. Selepas cuti kemarin, pekerjaannya memang menumpuk dan menyiksanya habis-habisan, membuat isi kepalanya penuh lantaran harus mengejar segala ketinggalan yang telah ia lewatkan. Mungkin, Bumi butuh beberapa waktu lagi sampai seluruh pekerjaannya berhasil ditangani kembali, agar setidaknya ia bisa mengambil cuti lainnya untuk menemani Ansara. "Atau kamu perlu suster untuk bantu urus Biel? Sebenarnya, saya bisa ambil cuti lagi, tapi, kasih saya waktu sedikit lagi, cuma sampai kerjaan yang ketumpuk kemarin selesai, dan..".

"Mas". Panggil Ansara, sontak menghentikan perkataan Bumi. Sang puan menggeleng, menyajikan senyum yang begitu hangat. "Gak perlu, sayang. Aku beneran gak apa-apa. Aku menikmati banget waktu berdua sama Biel, dia itu manis banget, gak rewel sama sekali. Jadi, kamu gak perlu khawatirin aku".

Bumi lagi-lagi terbungkam, merasakan kehangatan seakan menyelimutinya saat mendengarkan penuturan Ansara. Entah harus berapa banyak syukur terucap di mulut Bumi untuk kehadiran seorang seperti Ansara yang begitu dekat dengan kata sempurna. Sempurna sebagai istri untuknya, maupun sebagai Ibu untuk anaknya.

"Ya udah kalau itu maumu. Tapi, An, saya kepikiran satu hal lagi". Ucap Bumi, kali ini kembali dengan wajah serius. Raut Ansara ikut berubah, menatap dengan tatapan bertanya. "Saya kepikiran buat pindah rumah".

Tak ayal, raut terkejut tergambar jelas di wajah cantik Ansara. "Pindah rumah? Kenapa, Mas?".

"Rumah ini.. Ini kan sebenarnya pemberian Gepa untuk kita. Desainnya sengaja dibuat dengan satu kamar, supaya kita terbiasa hidup berdua setelah menikah. Setelah kehadiran Biel, saya jadi kepikiran. Kan, gak mungkin dia tidur di kamar ini bareng kita sampai besar. Nantinya, dia butuh kamar sendiri juga". Jelas Bumi, memberi jeda, sebelum melanjutkan bicaranya. "Lagipula, selain itu, terlalu banyak kenangan yang pengen saya lupain dari rumah ini..".

Ansara tersenyum setengah, lantas menyahut. "Kamu takut keinget Diandra?".

Bumi menggeleng cepat. "Bukan, sayang. Bukan itu. Kenangan yang saya maksud itu.. Tentang kamu. Banyak sekali kenangan buruk yang saya gak lagi mau ingat tentang kamu. Gimana gak pantasnya saya perlakuin kamu dulu, juga gimana sakitnya saya waktu kamu tinggalin saya tanpa pernah kasih tahu soal kehamilanmu. Itu.. Terkadang bikin saya kesiksa".

Senyum Ansara, berubah hangat. "Terus, kamu udah tahu mau pindah kemana?".

"Tadinya saya pikir, lebih baik kita bangun rumah dari nol, supaya sesuai keinginan. Tapi, itu akan makan waktu bertahun-tahun, mungkin lebih dari tiga atau empat tahun. Dan kayaknya gak efisien. Terus, saya sempat ngobrol sama teman saya yang punya property. Dia bilang, dia punya beberapa unit rumah yang siap tinggal dan kalau saya cek dari lokasi dan luas tanah, memungkinkan untuk kita expand kedepannya. Jadi, semisal kamu kurang srek sama designnya, bisa kita adjust karena luas tanahnya yang cukup. Dan itu gak akan memakan waktu lama". Jelas Bumi.

Ansara mengerutkan keningnya. "Jadi, maksudmu kita pindah kesana aja?".

"Menurut saya, itu yang paling efisien dan memungkinkan untuk kita bertiga secepatnya pindah dari rumah ini". Balas Bumi, meyakinkan.

Ansara terdiam sejenak, lantas menatap makhluk mungil di pelukannya, sebelum mengembalikan tatapnya pada Bumi. "Terus, rumah ini mau diapain, Mas?".

Jemari Bumi yang semula mengelus pipi Ansara, beralih pada figur mungil yang masih tertidur lelap dalam posisi yang lucu, menemplok di atas tubuh Bundanya. "Rumah ini, biar nantinya buat Biel. Nanti, akan saya renovasi, biar kalau dia sudah dewasa, dia bisa tinggal disini. Toh diantara kita bertiga, cuma dia yang gak punya ingatan buruk tentang rumah ini".

Ansara memeperhatikan lekat pada sang suami, sebelum akhirnya mengangguk dan menyunggingkan senyum. "Ya udah, aku ikut kamu aja. Kalau kamu mau pindah, kita bisa pindah".

Bumi lantas bangkit, kemudian merunduk untuk mengecup bibir Ansara kilat, dan sekali lagi, mengecup pipi bulat sang anak. Wajahnya berubah jahil, lantas mengangkat sebelah alis dan kembali menatap pada sang istri. "Nanti kita kasih tahu Biel juga waktu dia udah besar, kalo disini, dirumah yang nantinya punya dia, itu tempat dimana dia dibuat".

Ucapan jahil itu, tentu saja dihadiahi satu pukulan pelan oleh Ansara. "Ih, kamu nih, jangan aneh-aneh, ya, Mas!".

BUMIGANTARAWhere stories live. Discover now