Chapter 24 - His Precious 1

373 157 193
                                    

Autumn, 2016

Hidup seorang diri itu ternyata berat ya?

Soobin menghela napas. Menjatuhkan tubuhnya yang terasa ngilu di sana sini ke atas kasur. Kepalanya pening, Soobin mengambil satu bantal untuk ia simpan di atas kepala, melakukan hal tersebut agar rasa pusing itu menghilang dari sana.

Begitulah kebiasaan Soobin begitu dirinya masuk ke kamar. Merebahkan tubuh di atas ranjang, lalu pergi ke alam mimpi. Tidak repot-repot dulu pergi membersihkan diri karena terlalu kelelahan.

Berjam-jam waktu yang dihabiskan di sekolah sudah bisa membuat energi habis, dan seakan itu tak cukup, Soobin masih harus melanjutkan aktivitas dengan sisa-sisa energi yang ada. Untuk pergi mencari secarik uang agar bisa bertahan hidup di kota yang serba mahal ini.

Meski sudah tinggal di sini selama enam bulan lamanya, Soobin masih belum terbiasa, dia selalu terkesiap setiap kali menghitung keuangan. Biaya sekolah yang mencekik, biaya tempat tinggal yang tak pernah memberi keringanan, sampai harga makanan yang tak masuk akal hingga membuat dia seringkali kelaparan di akhir bulan sebab tak memiliki sisa uang sedikit pun untuk mengganjal perut.

Sebenarnya Soobin bisa hidup lebih santai dan tidak perlu repot-repot bekerja keras seperti ini jika saja dia tinggal di kota kelahirannya. Namun satu alasan membuat dia pindah dan terpaksa bertahan hidup di tempat ini. Seseorang yang paling berharga untuknya.

"Kau akan pindah dan bersekolah di sini, 'kan?"

Suara yang penuh harap itu berdenging di telinganya. Meskipun sudah ia katakan berkali-kali kalau dia benar-benar akan pindah, suara di sebrang sana itu selalu mempertanyakan hal yang sama setiap saat.

Matanya mendelik, agak capek untuk menanggapi, tapi Soobin tetap mengangguk walaupun lawan bicaranya tak bisa melihat, "iya. Bulan depan aku akan pindah. Tak usah khawatir."

"Yes!!" Orang itu berseru senang. "Aku akan menunggumu. Kalau sudah sampai sini, kabari aku lagi ya, aku akan datang untuk membantumu beres-beres nanti."

Meski tidak diminta pun, Soobin akan dengan senang hati menghampiri. Mengorbankan tubuhnya berkerja siang malam agar bisa selalu dekat dengannya.

Jika saja otak Soobin cemerlang sedikit, dia mungkin bisa masuk ke sekolah yang sama dengan orang yang dimaksud. Atau setidaknya mengambil beasiswa agar tidak perlu pusing-pusing memikirkan biaya sekolah. Sayang sekali, kapasitas otaknya tidak mampu menggapai semua itu. Dirinya tidak secerdas orang itu.

Tapi sudahlah, berada di kota yang sama pun Soobin sudah seharusnya bersyukur. Dahulu mereka hanya dapat bertukar kabar lewat telepon, sekarang mereka bisa menyetor wajah masing-masing ke satu sama lain setiap hari. Itu sudah cukup untuknya.

Sangat lebih dari cukup daripada yang pernah dia pikirkan. Soobin pikir bertemu kembali dengan orang itu akan membuat hidupnya lebih tenang, tapi nyatanya Soobin malah mendapat masalah baru. Padahal hidupnya sudah sangat-sangat melelahkan.

Orang itu akan datang setiap hari ke asrama kecil milik Soobin, menginap di tempat itu di banyak kesempatan, menyelinap masuk saat Soobin sedang keluar untuk bekerja.

Sebenarnya Soobin tidak ada masalah dengan semua itu, Soobin senang-senang saja jika orang yang dia sayangi ingin berada di dekatnya, sebelum satu panggilan telepon datang dan membuat Soobin selalu gelisah setiap kali menemukan orang itu ada di kamarnya.

"Hallo? Kau, Choi Soobin bukan?" tanya seorang wanita di sebrang sana. "Sejak kau tinggal di sini, anakku jadi malas belajar dan jarang pulang. Kau tahu apa sebabnya jika dia terus melakukan itu, 'kan?"

Hopeless Shadow || TXT SoobinWhere stories live. Discover now