Evangelo Amivous

101 22 7
                                    

Selamat datang di penghujung pesta!

Selamat menikmati dansa terakhir Nona Patah Hati di Solephim!

*
*
*

Ane sebetulnya kesusahan menapaki undakan tangga dengan gaun putih redup yang mekar di pinggulnya. Terlebih kini mutiara-mutiara yang bertabur di bagian rok terasa amat berlebihan jika dilihat sekilas di atas tangga meliuk kecil ini. Meski begitu, ia tak terlalu memikirkannya. Ada hal yang lebih penting terlintas di benak. Yaitu perasaan bodoh karena Ane rupanya takluk pada Eros untuk tidak melepas bunga anemon itu dari anyaman rambutnya.

"Katakan dengan jujur, sebenarnya kenapa kau menaruh mantra pemikat di rambutku?" tanya Ane tak kuasa lagi menahan rasa malu pada diri sendiri.

"Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau, Nona Patah Hati."

"Lalu apa? Kau akan mempengaruhi kawan lamamu itu dengan mantra cinta?"

Ane memang sempat berpikir demikian. Barangkali Eros mempunyai sisi hati yang masih bisa merasakan nikmatnya mengerti apa yang dirasakan orang lain. Terutama setelah gadis itu gagal menggunakan ramuan cinta. Ia tidak pernah berharap, tetapi mungkin sempat mengira bahwa Eros ingin menggantikan takdir cintanya yang mengenaskan dengan sebuah kisah cinta yang baru. Mengingat hubungan mereka yang lebih mirip seperti seorang pembina kisah cinta dan seorang klien patah hati.

"Pikiranmu terlalu sempit." Rupanya Ane salah total. "Kalau kau memang mengira aku akan mempengaruhi Evangelo untuk jatuh cinta padamu, aku bisa saja langsung memberinya anggur yang dicampur ramuan cinta. Lalu menyuruhnya mencium tanganmu dan kalian akan berakhir seperti pengantin baru itu."

Eros sengaja mengingatkannya. Dia sengaja mengingatkan Ane pada keteledorannya yang sungguh membuat jengah. Perut gadis itu mendadak terasa mulas karena kilas balik yang berputar. Membayangkan bahwa ia akan berakhir seperti Loynith saja sudah membuat bulu kuduk Ane meremang. Fobia akan cinta palsu.

"Jadi apa alasanmu sebenarnya?" Ia tahu percuma menanyai Eros lagi di detik-detik terakhir sebelum mereka sampai di puncak tangga. Jadi pemuda itu tidak lagi menjawab pertanyaan Ane. Antara karena memang tidak sempat atau memang tidak mau.

Seorang laki-laki muda berdiri tepat di hadapan mereka yang baru saja menginjak balkon. Sebuah kursi beludru biru berdiri di belakangnya. Laki-laki muda itu mengenakan jas berekor terbelah warna hijau toska yang terlihat amat lembut. Celana abu-abunya sungguh serasi dengan sepatu kulit yang bahkan siapa pun bisa membandingkan seluruh isi dompetnya dengan harga sepatu itu.

Dia bersandar di balkon dan mengerling ke bawah. Seolah-olah akan mati jika sebentar saja beralih pandang dari lantai dansa.

"Beri salam, menunduk dengan hormat, dan jadilah gadis yang manis," bisik Eros sepelan mungkin. Tetapi Ane masih dapat mendengar nada memerintahnya yang penuh ambisi.

"Kau tidak bisa memerintahku."

"Dan kau juga tidak bisa memaksaku menghapus tanda utangmu."

Ane mendengkus. Sungguh sebuah ancaman yang bagus, ia pikir. Sebab kini kakinya mau tidak mau melangkah mendekati si laki-laki muda yang entah akan menoleh padanya atau tidak nanti.

"Tuan Adipati," sapa gadis itu. Suaranya selembut saat ia berbicara dengan Damian-ia sengaja melakukannya.

Laki-laki muda itu menoleh. Rupa-rupanya lantai dansa tidak benar-benar menghipnotisnya. Ane menunduk dalam saat tatapan itu melayang padanya. Tatapan sebiru langit yang tampak terlampau teduh saat gadis itu telah kembali berdiri untuk melihatnya.

To Make A Goddess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang