Setelah Malam Pengantin

94 22 8
                                    

Ane terbangun pagi ini bersama sebuah surat yang diletakkan asal di samping bantalnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ane terbangun pagi ini bersama sebuah surat yang diletakkan asal di samping bantalnya. Apa yang tertulis di sana membuat ia kontan melihat telapak kanan. Tanda utang itu sudah sepenuhnya sirna. Seperti yang selalu Ane inginkan. Namun, entah mengapa rasanya ia belum puas dengan itu.

Ane membaca surat itu lagi. Kata demi kata yang tertulis di sana membuat pipinya memanas. Ia membayangkan bagaimana Eros masuk ke dalam kamar ini tadi malam, menggenggam tangan kanannya saat mata laut itu memperhatikan ia tertidur, lalu menulis surat kecil dan meninggalkannya tepat di samping bantal Ane.

Ia tidak lagi memikirkan bagaimana cara pemuda itu masuk.

Malam kemarin memang menyenangkan. Ane mengakui itu. Kecuali bagaimana Eros terus-terusan mengancamnya sebelum semua yang manis-manis terjadi. Gadis itu mengakui ia tidak bisa tidak memikirkan Evangelo setelah semalam berdansa dengannya. Tetapi, ia juga tidak bisa berhenti memikirkan fakta bahwa seluruh kesenangan yang ia dapat dari Tuan Adipati adalah hal palsu. Efek mantra pemikat semata. Jadi Ane tidak boleh berharap lebih.

Madge membuka tirai pembatas kamar. Serta-merta menunduk kala mendapati nonanya telah duduk di atas kasur dengan mata terbuka yang kabur.

"Selamat pagi, Nona. Mimpi indah semalam?" Pertanyaan itu membuat Ane mengernyit. Namun, lekas rasa herannya hilang saat Madge kemudian menyibak tirai lebar. Mempersilakan silau mentari menerobos masuk. Ane lalu melihat sendiri bagaimana kedua tangan Madge terayun menggiring serabut cahaya untuk masuk dan menyebar ke seluruh ruangan sampai semua sudut kamar itu menjadi sangat hangat dan terang. Kelihatan sungguh ajaib, tetapi gadis dayang itu membuatnya tampak seperti hal yang akan terjadi setiap hari selayaknya rutinitas menyapu atau mengepel lantai.

"Madge, menurutmu apa aku bisa menemui Putri Loynith di hari pertama bulan madunya?" tanya Ane mengubah posisi duduk. Menyamping menghadap si dayang yang telah rapi berbalut gaun warna gading terseret-seret. Sedangkan ia sendiri masih dibungkus dengan gaun tidur tipis.

"Biasanya tidak, Nona. Bulan madu pasangan kerajaan memberi kebebasan pada pengantin baru untuk tidak bertemu siapa-siapa. Tapi sepertinya Tuan Putri maupun kakakmu tidak akan keberatan dengan itu."

Ane turun dengan perasaan lega dari tempat tidur. Ia harus menemui sang Putri-yang kini adalah kakak iparnya-untuk mengucapkan selamat. Sebab setelah upacara pernikahan selesai kemarin, ia tak sempat lagi berbincang dengan Loynith. Lagi pula, sedikit-sedikit Ane juga ingin tahu lebih dalam tentang Evangelo Amivous dan ia yakin Loynith pasti punya jawaban.

"Tolong ambilkan gaunku, Madge," pintanya setelah si gadis dayang ternyata telah lebih dulu mengambil sebuah gaun biru muda terang sewarna langit Solephim.

***

Kamar itu lebih mirip kapal pecah daripada kamar seorang putri yang selalu tertata.

Sejenak, napas Ane tercekat membayangkan apa yang terjadi di malam pengantin kakak tirinya. Apakah Damian dan Loynith bertengkar begitu hebat hingga mengacaukan kamar mereka, ataukah matra cintanya telah habis sehingga pertengkaran itu terjadi?

Namun, Ane lekas mengubah pikiran setelah beberapa detik mengamati kamar itu lagi. Sprei kasur berantakan. Selimut berhambur serampangan di pinggir ranjang. Potongan kain di mana-mana. Damian yang tidur di ujung kasur nyaris jatuh, dan apa yang ia lihat di atas bantal? Bekas gincu?

Pipi Ane memerah. Pemandangan yang ia lihat telah menepis seluruh dugaan buruknya pada pengantin baru itu. Berganti dengan rasa takjub akan efek ramuan cinta yang bisa membuat kekacauan sedahsyat ini di dalam kamar seorang putri.

Ane lekas menutup tirai pembatas. Memilih menunggu di dekat pendiangan alih-alih mencari kakak iparnya di dalam kamar pengantin yang ia seharusnya tahu akan menjadi sekacau apa. Sosok Loynith keluar dari balik tirai dengan gaun yang rapi terlepas dari rambutnya yang berantakan. Belum sempat ditata karena para dayang terlalu cepat mengumumkan kedatangan tamu mereka.

"Ane?" Binar mata sang Putri masih sama. Secerah mentari Kota Cahaya. Bahkan lebih cerah dari yang terakhir kali Ane ingat. "Senang sekali melihatmu lagi." Loynith duduk tepat di samping Ane. Menghadap pendiangan tanpa nyala api karena suhu di sini pun sudah cukup hangat. Bahkan panas.

"Tapi kita baru saja bertemu kemarin."

"Bertemu tanpa berbicara sama saja dengan tidak bertemu, Adik Ipar. Nah, kau membutuhkan sesuatu?"

Ane tersenyum. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Kemarin kalian terlihat sangat sempurna. Semua orang memperhatikanmu, Yang Mulia."

Loynith memiringkan kepala. Tatapannya pada Ane kini berubah, lebih mirip seperti tatapan menggoda. "Mereka memperhatikan aku, atau kau dan Evangelo?"

Ane jadi salah tingkah. Terkesiap karena tuduhan Loynith membuatnya merasa amat bersalah. "Aku? Tidak, Yang Mulia. Aku hanya berdansa sekali dengan Tuan Adipati dan tidak ada yang memperhatikan kami. Semua mata tetap tertuju pada kau dan-"

"Oh, Aneku yang manis, kau tidak perlu menyembunyikan kebahagiaanmu demi menjaga perasaanku. Kemarin memang hari pernikahan kami, tapi seperti yang kubilang, kau terlalu cantik untuk melajang. Aku malah akan menjadi pengantin yang sedih jika saja tidak melihatmu berdansa bersama seorang lelaki."

Loynith merengkuh kedua bahu Ane erat. Kedua tangan sang Putri kemudian merambat, turun dan menggenggam telapak tangan sang adik ipar. "Lagi pula, aku sudah beranji padamu untuk memberikan panggung pada pesta bulan maduku malam ini."

"Itu benar-benar tidak perlu, Putri. Pesta bulan madu adalah waktu di mana semua orang merayakan kebahagian pengantin."

"Dan bagaimana jika kebahagiaan si pengantin itu adalah melihat adik iparnya tidak lagi melajang?"

Ane ingin berharap. Sangat ingin, terutama pada pria muda yang mengajaknya berdansa semalam. Kecuali Eros, karena berharap pada pemuda itu sama saja dengan mengharapkan seekor singa berhenti memakan daging. Ia mungkin tidak mencintai Evangelo, atau setidaknya belum. Tetapi itu tidak masalah, karena jika Ane memang ditakdirkan bersama dengan seseorang, ia pasti juga ditakdirkan mencintai orang itu. Kapan pun yang dikehendaki takdir, dan ia tinggal menunggu waktu itu datang.

Namun, Ane tidak bisa berharap. Semua yang terjadi padanya semalam sepenuhnya palsu dan merupakan pengaruh sihir yang diberikan Eros padanya. Jadi gadis itu sebisa mungkin menepis seluruh lengkung senyum yang tercipta di wajah saat memikirkan pesta nanti malam dengan angan Evangelo akan kembali menghampiri dan mengajak berdansa. Pasti efek mantra itu sudah menghilang malam nanti dan Ane tidak akan bertemu lagi dengan sang Adipati, kecuali sekadar bertatap mata dari kejauhan.

"Kau terlalu baik," ucapnya berusaha tersenyum. Meski telah bisa dikira-kira apa yang akan terjadi di pesta nanti malam.

"Tidak ada yang terlalu baik untukmu, Ane." Loynith mengembangkan senyum lebar. Matanya menatap Ane dengan teramat dalam. Serupa dengan tatapan yang ia layangkan saat pertama kali mereka mengadakan pesta minum teh kecil-kecilan. Berpindah dari mata kanan Ane ke mata kiri, kemudian kembali lagi ke mata kanan. Seakan mencari sesuatu yang hilang di sana.

***

To Make A Goddess Where stories live. Discover now