Ane Lou

255 45 13
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬

ℬ𝒶ℊ𝒾𝒶𝓃 ℐ, 𝒟ℯ𝓂𝒾 𝒞𝒾𝓃𝓉𝒶𝓃𝓎𝒶

▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬

▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

*
*
*
*
*

Berdasarkan apa yang Ane dengar, ada dua kemungkinan yang akan didapati setiap gadis yang berani membuka pintu itu. Hidup bahagia selamanya bersama cinta mereka, atau sama sekali tidak mendapat sedikit pun dari apa yang sudah diidam-idamkan.

Rumor dari pusat kota kemarin mengatakan, di distrik rumah toko di pinggir kota, ada sebuah toko baru yang muncul. Atau tidak bisa disebut toko karena tempatnya terlalu terpencil untuk menjual sesuatu. Tersembunyi di dalam gang yang mustahil ditemukan jika tidak sengaja mencari. Ada yang bilang itu rumah dukun cinta, ada juga yang bilang tempat peramal takdir, tetapi Ane lebih suka dengan cara gadis-gadis lain memberi sebutan tempat praktik ahli pelet keliling.

Gadis itu menarik napas saat mengingat statusnya di Kota Timur. Ia adalah putri Bupati. Meskipun caranya menjadi putri Bupati tidak sama dengan cara kakak tirinya menjadi putra Bupati. Setidaknya, Ane berharap siapa pun yang berada di balik pintu itu tidak akan berani macam-macam jika ia membawa nama ayah angkatnya. Walau Ane tidak berharap sama sekali harus melakukan itu.

Lagi pula, mengapa ia harus takut pada sebuah pintu? Itu hanya pintu kayu biasa yang sudah keropos pada bagian bawahnya. Bahkan kentara sekali pintu itu dicat menggunakan cat murahan yang akan luntur bila terbilas hujan. Terbukti dari warnanya hijaunya yang tumpah kemana-mana. Memberi kesan bahwa tempat kecil itu sangat dipaksa untuk bertahan tetap berdiri walau hanya perlu menendang dinding untuk merobohkannya.
Ane memeras sapu tangan yang terlampau basah karena air mata. Hatinya terlalu patah untuk diam di depan pintu ini lebih lama lagi, jadi Ane buru-buru memasukkan sapu tangan lembab itu ke dalam saku roknya yang terlalu berat untuk tertiup angin. Lalu tanpa menunggu hatinya lebih remuk lagi, ia membuka pintu dan langsung menutupnya rapat-rapat.

Matanya terbuka, dan Ane menemukan sepetak ruangan dengan berlapis-lapis karpet di atas lantai kayu licin. Di tengahnya berdiri satu meja bundar dikelilingi empat kursi berbeda bentuk. Empat lilin di atasnya menjadi satu-satunya penerangan yang menyala selain cahaya matahari yang memaksa masuk dari balik terali hitam pada jendela mungil di sisi kanan ruang. Gorden-gorden tebal juga kerap terlihat berat menyembunyikan sisi-sisi lain ruangan.

Ane menarik napas, ia tak kuasa menahan sesak dadanya. “Aku … aku hanya ingin hidup yang bahagia bersamanya. Aku mencintainya lebih dari apa pun setelah kedua orang tuaku meninggal. Ta-tapi,” isaknya tak lagi bisa ditahan.

“Tapi aku tidak tahu kenapa ….” Ane menghentikan kalimatnya. Ia juga tidak tahu mengapa ia sampai di sini sekarang saat sihir bahkan tak pernah sekali pun berkenalan dengannya. Sang ibu juga selalu melarangnya untuk berharap pada siapa pun, atau apa pun selain yang menciptakan mereka, tetapi Ane di sini sekarang. Diantar oleh patah hati dan harapan mengenai obat untuk rasa sakit itu.

To Make A Goddess Onde histórias criam vida. Descubra agora