Ratu Meredith

81 21 5
                                    

Happy reading all!
.
.
.
.

Rupanya semua perkiraan buruk yang Ane pikirkan masih jauh lebih baik dari apa yang sebenarnya terjadi.

Istana Solephim tampak bak sebuah kapal yang terlahap badai petir, kemudian terbakar di tengah ombang-ambing ombak lautan. Kacau. Halaman belakang, tempat pesta bulan madu sang Putri diselenggarakan dengan megah kini lebih mirip sebuah kuburan yang habis tenggelam dalam banjir bandang. Berantakan.

Mozaik berlukis matahari kehilangan kepingan-kepingan pualamnya di setiap beberapa jengkal. Sedangkan yang masih bertahan, tampak hangus, juga pecah berkeping-keping. Rerumputan hijau yang menghampar entah sudah pergi ke mana sekarang. Sebab yang tersisa hanyalah abu berserakan didampingi gelas-gelas kristal yang hancur menyedihkan.

Langit Solephim tampak lebih kusam. Bahkan serabut cahaya menolak untuk kembali membelai tanah dengan kehangatannya. Enggan menyapu hawa dingin yang masih tersisa dari kejadian semalam.

Setelah masuk ke dalam istana, pemandangan malah semakin buruk. Di pinggir-pinggir koridor utama terdengar isak-isak yang menyentil telinga dengan penderitaan. Beberapa pelayan kehilangan kemahiran mereka dalam menata rumah tangga istana sementara sebagian pengawal terkapar di dalam baju-baju zirah yang berlumuran darah.

Pemandangan itu mengiris-ngiris hati Ane menjadi bagian-bagian yang nian tipis. Kemudian mencincangnya sampai hancur lebur. Hingga rasa sakit sepertinya masih terlalu ringan jika dibandingkan apa yang ia saksikan. Bahkan belaian lembut yang Ane terima dari tangan Madge tidak berhasil mengalihkan pandangannya.

"Aku bilang aku tidak peduli dengan serdadu-serdadu sialan Noxeham. Aku hanya harus menemukan tunanganku sekarang, dan jika kalian berani mencegahku, akan kupastikan kalian akan kesulitan masuk lagi ke dalam istana ini!"

Dari kejauhan, bentakan seorang pria muda menggema menyusur koridor. Mata Ane berkaca-kaca mendapatinya. Evangelo, calon suaminya berjalan dengan langkah tergesa-gesa di dalam kemeja yang koyak dan buts yang terbakar. Tetapi dia hidup, dan itu membuat linang air pada pelupuk Ane menjadi semakin ruah saat bibirnya membisu.

Setidaknya masih ada yang hidup, itu sedikit banyak mengurangi perasaan bersalah Ane yang terasa jauh lebih buruk daripada semua yang terjadi. Meski ia tidak benar-benar tahu bagaimana kabar anggota kerajaan yang lain.

Tidak perlu waktu lama bagi Evangelo untuk menoleh lurus ke depan. Lalu mendapati kekasih hatinya berdiri di sana dengan geming yang melegakan. Menciptakan belalak pada mata langit sang Adipati yang lekas berlari. Tergopoh-gopoh menghambur memeluk calon istrinya yang menghilang semalaman.

"Ane! Aku kira aku tidak akan menemukanmu lagi!" Nada bicaranya nyaris terisak. Evangelo meraup pipi Ane mesra dengan sorot mata yang menunjukkan rasa syukur paling dalam. Jempolnya membelai anak-anak rambut Ane lembut hingga tidak ada satu pun yang menutupi wajah. Kemudian menggerakan dagu pelan dengan sorot mata yang berubah menjadi langit teduh. Setengah terpejam.

Rasanya menyenangkan saat Evangelo mendekapnya seperti ini. Tetapi bibir mereka sebentar lagi bertemu dan itu bukan merupakan sesuatu yang bagus. Evangelo akan jatuh cinta selamanya pada Ane secara tidak alami jika sebuah ciuman mendarat. Bahkan cinta dalam pengaruh mantra akan mengubah esensinya menjadi obsesi perlahan-lahan. Dan itu lebih seperti kutukan daripada anugerah. Bibir Ane terkutuk. Itu bukan sesuatu yang bagus.

Ia menolehkan wajah supaya ciuman Evangelo mendarat di pipi alih-alih pada bibir. Kecupan itu terasa sangat dalam. Terlebih saat sang Adipati mulai membelai rambut Ane sembari memindahkan ciuman-ciuman berikutnya. Menyusuri tiap inci ubun-ubun si calon istri.

To Make A Goddess Where stories live. Discover now