Kerabat Kerajaan

97 18 5
                                    

Happy reading All!!!
.
.
.
.
.

"Jangan bercanda, Ane."

Ane tidak benar-benar paham apa maksud dari mata Evangelo yang kini menyeringai. Entah menganggapnya serius, atau seringai itu lebih untuk meremehkan kata-katanya. Atau bahkan, pria muda itu memang hanya menganggapnya bercanda. Padahal rupa Ane telah sengaja ia buat-buat seserius mungkin hingga rasanya melelahkan.

"Aku tidak pernah berniat seperti itu," sangkalnya dengan gelengan tipis berharap sang Adipati akan benar-benar menganggapnya bersungguh-sungguh kali ini.

"Kalau begitu mungkin kau bisa kembali ke kamarmu sampai aku mendapat kabar. Setelah itu aku akan membawa kakakmu ke sini sebagai hadiah pernikahan kita."

Ane mengira, Evangelo pikir calon istrinya bisa berhenti bicara gara-gara dia menyinggung soal pernikahan ditambah harapan yang disertakan dalam tawaran itu. Tetapi tidak. Ane sudah sangat terbiasa untuk berharap dan hasilnya selalu kurang bagus—tidak bagus—dan itu telah membuatnya menjadi gadis yang tidak mudah percaya. Apalagi terhadap sebuah janji abu-abu.

"Jangan suruh aku diam saja, Tuan Adipati. Kau mungkin bisa memberiku hadiah pernikahan yang mahal, atau bahkan bak mandi penuh emas jika kau mau dan aku yakin kau mampu. Tapi untuk yang satu ini ... tidak. Maafkan aku, Tuan, aku meragukannya."

Seringai yang tadi menghias wajah Evangelo memudar. "Aku tidak perlu keyakinanmu untuk ini, Sayangku."

"Kalau begitu aku juga tidak perlu persetujuanmu untuk pergi ke Noxeham."

"Kau tidak akan berani."

"Oh, tentu saja aku akan."

Alis Ane bertaut saat dahinya bersungut-sungut. Evangelo mungkin memang seorang adipati, tetapi bahkan seorang raja pun tidak akan bisa mencegah tekadnya untuk mencari sang kakak tiri. Apalagi sekadar tatapan sinis dari pria muda itu yang kini berangsur-angsur melembut.

Evangelo menghela napas. Telunjuk dan jempolnya bekerja sama menahan gurat-gurat lelah yang sontak tercipta di keningnya.

 "Aku tidak suka perdebatan ini, Ane," keluhnya sembari berbalik. Menghadap pendiangan berharap api yang meretih di sana bisa sedikit menghangatkan perasaannya.

"Akhirnya kita merasakan hal yang sama."

Lengang tercipta untuk beberapa saat. Dan untuk beberapa saat itu pula Ane mencoba menyusun kata-kata yang dapat lebih membungkam Evangelo daripada sekarang. Retih-retih api di pendiangan seakan berteriak sebab enggan menjadi satu-satunya yang bersuara. Ane lama-lama juga menjadi bingung mengapa sang Adipati tak juga berbicara. Padahal ia sangat menunggu sangkalan yang bisa mematik kata-kata sangkalan lain keluar dari mulutnya.

"Itu tetap tidak akan mengubah keputusanku bahwa kau tidak akan pergi ke mana pun, Ane Lou." Lagi. Suara Evangelo terdengar seberat dendam itu sendiri. Ane mengerling kontan dan menilik kilat di mata calon suaminya yang mendadak berpendar mengalahkan cahaya api. Ia menarik napas.

"Dan aku memutuskan bahwa Ane boleh pergi ke mana pun untuk mencari kakak tirinya!"

Suara yang lain masuk sesaat setelah suara pintu terbuka merambat mengisi ruangan lengang. Merampas seluruh perhatian dari Evangelo yang tengah kalut dan Ane yang dilanda gundah.

Loynith berjalan mencincing gaun hitam kusutnya yang menyapu lantai. Wajah sang Putri masih kemerahan. Sembab dan tampak menyedihkan saat rambut merah pucatnya pula tergerai asal di salah satu sisi pundak. Kehilangan ikal yang biasa mengombak-ngombak memanjakan mata. Meski begitu ekspresinya telah jauh lebih baik dan diam-diam, tampak teramat tegas.

To Make A Goddess Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt