Kakak Tiri dan Cinta

115 39 6
                                    

*****

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*
*
*
*
*

Istana rupanya jauh berbeda dengan rumah yang Ane tinggali selama ini. Menurutnya, rumah Tuan Bupati saja sudah cukup besar, bahkan terlalu besar. Namun, besar rumah itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan Istana Solephim.

Seperti sekarang, Ane ditempatkan di sebuah kamar yang bahkan lebih luas dari ruang perapian di rumah lamanya. Kamar itu sendiri terdiri dari dua ruangan yang dipisahkan dengan gorden berwarna biru langit. Ruang pertama dapat dilihat begitu membuka pintu. Isinya perabotan mewah seperti sofa yang muat diduduki empat orang, meja putih dengan ornamen keemasan, satu set peralatan minum teh, dan perapian yang Ane ragu akan terpakai dalam cuaca yang selalu sepanas ini.

Ruangan kedua adalah kamar utama. Tempat tidur yang lebih tertutup. Loynith bilang tidak sembarang orang boleh masuk ke kamar utama tanpa seizin pemilik. Hanya pelayan atau dayang yang sedang bertugas. Sisanya hanya boleh membuka gorden jika mendapat izin. Pengecualian untuk tabib atau bidan. Orang-orang yang bertanggung jawab dengan nyawa itu boleh masuk keluar sesuka hati dalam keadaan darurat. Tetapi Ane tidak berencana sakit atau melahirkan di kota ini.

Gadis itu berbaring di atas ranjang yang tidak terlalu besar tetapi terlalu empuk. Menenggelamkan raganya dalam selimut kapas yang mengembang. Ia menghela napas panjang. Sebagian pikirannya masih menyangkal ini semua benar. Tidak percaya bahwa kini tubuhnya tengah merebah di sebuah kasur istana. Namun, Ane lebih tak percaya lagi dengan penyebab ia sampai di sini sekarang."

"Nona," panggil seseorang setelah sebelumnya menyibak tirai. Ane menaikkan kepala untuk melihat siapa di sana. Rupanya seorang gadis dayang yang ditugaskan sang Ratu untuk mengurus kamarnya. "Tuan Damian ada di sini."

Napas Ane berhenti dan matanya terbelalak. Buru-buru sekali dirinya terduduk. Sontak, entah karena reflek atau kemauannya sendiri, Ane bergerak cepat merapikan rambutnya. Bersiap untuk seseorang yang akan membuka gorden di detik selanjutnya. Damian muncul dari balik sana. Celingukan mencari sang adik tiri.

Pengecualian terakhir untuk peraturan perizinan masuk keluar kamar di istana, anggota keluarga kerajaan-atau yang hampir menjadi anggota keluarga-diperbolehkan membuka tirai kamar utama setelah dayang atau pelayan mengumumkan kehadiran mereka.

"Damian? Ada yang kau butuhkan?" Ane berusaha tersenyum. Sedikit geli mendengar suaranya yang tiba-tiba terdengar sangat lembut.

"Tidak, aku hanya ingin melihatmu." Pemuda itu berjalan mendekat. Duduk di samping Ane dengan jarak yang tidak lebih jauh dari sejengkal telapak. Ane kembali merasakan jantungnya terlonjak memanas. Sejenak, kupu-kupu beterbangan di perutnya. Namun tidak lama. Semua yang ia rasakan menghilang saat Ane mengingat wajah Loynith saat menerima cincin pertunangan tempo waktu.

"Dengar, Ane ... Aku minta maaf." Damian mengusap tengkuk seakan ragu ingin mengatakan itu.

"Untuk apa?"

"Jangan berpura-pura tidak paham, Dik. Aku tahu aku menyakitimu sangat buruk dengan meminang Loynith. Bahkan mungkin aku sudah menyakitimu jauh sebelum itu. Kau tahu, di toko bunga ayahmu waktu itu."

Ane tidak suka pembahasan ini. Mengingat-ngingat saat ia menyatakan cinta adalah satu-satunya hal paling memalukan di hidupnya. Wajah Ane menjadi merah padam. Kali ini bukan karena tersipu, melainkan jengah.

"Tapi ketahuilah, Ane. Aku benar-benar tidak berniat menyakiti adikku yang berharga. Aku berharap kau bisa paham bahwa jatuh cinta bukan sebuah hal yang bisa disengaja, dan kau tahu sendiri bagaimana Loynith begitu mencintaiku juga. Kau melihatnya, kan? Saat aku dan Loynith tadi-"

"Aku paham! Aku paham," sahut Ane, berusaha menghentikan Damian mengatakan hal-hal yang tidak ingin ia ingat lagi. "Aku tidak pernah menyalahkanmu." Kurang lebih karena semua ini terjadi akibat tindakannya sendiri.

"Aku sendiri juga tidak bisa mengontrol siapa yang ingin kucintai dan siapa yang tidak. Aku mengerti saat itu kau pasti bingung dengan pernyataanku, dan aku tidak pernah marah hanya gara-gara kau belum menemukan orang yang kau ingin cintai saat itu. Justru aku lega sekarang, kakakku akan menikahi seorang putri yang mencintai dan dicintainya."

Ane mengatakan itu semata-mata untuk meyakinkan hatinya sendiri. Paling tidak, sebuah senyum melengkung di bibir Damian. Lalu telapak kirinya mendarat pada bahu Ane dengan tepukan lembut yang menyenangkan.

"Terima kasih, Ane," ungkap pemuda itu lega.

Ane tersenyum sejenak. Mulai merasa canggung setelah lengang mengisi ruang beberapa saat. Ia beranjak tanpa aba-aba. Secara peksa melepas tangan sang kakak tiri dari bahu. "Kurasa aku ingin pergi keluar. Melihat-lihat kota yang akan kita tinggali mulai sekarang."

"Izinkan aku menemanimu." Damian ikut berdiri berusaha meraih tubuh adik tirinya.

"Tidak. Tidak perlu. Aku sedang memberi waktu berduaan dengan calon istrimu sekarang." Ane membuka gorden lebar-lebar. Berjalan beberapa langkah ke pintu sebelum akhirnya kembali menoleh.

"Puas-puaskanlah masa pacaran kalian. Setelah menikah nanti, semuanya akan berbeda. Aku tahu dari ibuku."

Gadis itu mengedipkan satu mata sembari tersenyum jahil. Menyeret gaunnya pergi dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Meninggalkan Damian yang masih berdiri di dalamnya. Apa yang tidak Ane ketahui adalah, semua yang diucapkan manusia-manusia tertentu bisa saja menjadi kenyataan. Entah kenyataan itu manis seperti madu atau pahit seperti racun.

***
.
.
.
.

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
To Make A Goddess Where stories live. Discover now