Perbatasan Duyung

9 2 0
                                    

Happy Reading All! <3
.
.
.
.
▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬

Bagian III, Noxeham

▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬


Rupanya Eros tidak main-main saat dia bilang akan membantu. Sebelum Ane menyadari, ia telah duduk manis dengan kaki-kaki yang menyentuh karpet beludru sebuah kereta kuda yang bergerak teramat mulus. Padahal Ane bisa dengan sangat jelas menyadari kehadiran ratusan batu kerikil bertaburan di jalan. Seharusnya kereta kuda ini bergoyang-goyang seperti kereta-kereta yang pernah Ane tumpangi, tetapi kali ini, sama sekali tidak.

Mungkin, selayaknya orang yang menyiapkannya, kereta kuda ini juga memiliki daya magis. Jika tidak, kereta ini pasti telah dimantrai, sebab itu bukanlah suatu hal yang sulit dilakukan oleh dua atau bahkan satu orang penyihir. Ane begitu yakin akan itu karena bahkan Eros, yang seharusnya menyetir kuda-kuda di depan, kini duduk menyilangkan kakinya dengan amat serampangan. Terus saja melepas pandang ke luar jendela seolah sama sekali tidak ada seorang gadis muda yang duduk di hadapannya.

Ane mulai tidak menyukai suasana di sini. Pertama, karena ia tidak benar-benar paham ke mana penyihir mengerikan ini akan membawanya. Kedua, karena Eros tak kunjung membuat setidaknya sebuah suara embusan napas untuk mengingatkan Ane bahwa ia tidak sendirian di kereta ini. Atau, ketiga, mungkin gadis itu hanya merasa bersalah karena kabur dan membohongi tunangannya untuk pergi bersama laki-laki lain.

Tidak, Ane tidak pernah merasakan hal seperti alasan yang terakhir itu.

Namun, Ane tidak bisa berbohong. Terlepas dari semua kemungkinan yang mungkin menjadi alasannya merasa tidak nyaman, ada secuil bagian dalam hati Ane yang terus mencari celah untuk menikmati perjalanan ini dan barangkali bagian itu sudah menemukannya.

Jendela di kereta cukup luas. Tirai pun agaknya sedikit enggan ntuk menutupi pemandangan di luar, tetapi sorot ametis dari mata Ane entah mengapa ingin terus-terusan memancar pada pemuda di hadapannya. Barangkali pada mata laut Eros yang berkelip. Memantulkan refleksi pohon-pohon berdaun jarang serta kepakan sayap kupu-kupu yang terseret tatapannya di luar, turun menyaksikan apa-apa saja lagi yang ada di sana. Atau mungkin pada rambut keemasannya yang terombak diterpa angin yang melawan laju kereta.

Sorot mata gadis itu bergerak liar. Turun menyusuri wajah cerah Eros yang tajam namun membelai. Jatuh pada sisi-sisi rahangnya yang tegas membingkai rupanya yang menawan. Kemudian mengalir kembali, melipir pada sisi-sisi leher yang sempurna, lembut dan menjebak. Sebelum akhirnya tatapan itu tersangkut pada kancing-kancing yang bebas, tidak terkait satu sama lain. Menciptakan figura indah untuk dada bidang eros yang ....

"Kau memerhatikan kemejaku seperti ingin merebutnya." Ucapan itu menyambar telinga Ane seperti sebuah petir menghancurkan tiang besi di tengah lapangan tandus. Sekonyong-koyong melempar mata gadis itu kembali pada mata si penyihir yang kali ini menatap penuh ledekan. Segera, sensasi panas muncul dari lehernya dan menjalar hingga memanggang jantung Ane sampai masak.

Gadis itu membuang muka. Namun sepertinya sedikit salah arah. Alih-alih melempar wajah ke jendela, ia malah membuat dirinya tampak seperti gadis puber salah tingkah dengan melempar tatap pada arah sebaliknya. "Aku ... itu tidak benar."

"Tidak perlu mengelak, Nona Patah Hati. Aku bisa memberimu selusin kemeja seperti ini kalau kau meminta. Atau mungkin tidak jika ternyata kau tadi memperhatikan sesuatu yang lain." Eros mengangkat satu alisnya. Kali ini dialah yang tidak melepas pandang dari wajah kepanasan Ane. Hampir mendidih. Apalagi saat ia mulai menyadari tingkahnya yang konyol dan kembali memberanikan diri menatap lelaki di hadapannya. Namun, itu malah membuat wajahnya terlihat seperti memohon saat tanpa sengaja, pandangannya kembali jatuh pada kancing-kancing serampangan itu.

To Make A Goddess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang