Kebutaan

102 19 6
                                    

Happy Reading, All!

*
*
*

Hitam.

Baik mata kanan maupun mata kiri kini rasanya seperti kehilangan fungsi. Bahkan hanya untuk sekadar mencari ujung tangan calon suaminya saja, terasa nyaris mustahil.

Ane beranjak saat menyadari tangan Evangelo menghilang dari dekatnya. Tak lagi mendekap tubuhnya. Tangannya sendiri terjulur meraba-raba sekitar dengan gemetaran. Suhu kini menjadi sangat dingin setelah gelap menyeruak dan merisak pesta bulan madu sang Putri. Rasanya seperti tidak ada hal penting selain meringkuk demi menghangatkan diri. Bahkan dingin ini tidak membuat menggigil, melainkan terasa membakar.

Evangelo ….

Ane berbisik lirih. Suaranya tercekat karena pita suara yang mulai membeku. Perlahan-lahan kehilangan daya. Ia mencoba melangkah, tetapi setiap langkah yang ditapak terasa seakan membakar kakinya. Membuat selop jinjit yang mengalasi telapak kaki tergelincir. Seakan tengah menapaki bongkahan es basah yang licin.

“Pergi! Menjauhlah dariku!”

“Jangan sentuh istriku!”

Pekik ketakutan terdengar jelas menyambar telinga Ane yang bergetar hebat. Warna suara Loynith mengiris hatinya dengan rasa khawatir yang teramat sangat. Terlebih saat gema suara sang kakak tiri menyusul.

Selanjutnya, ingar-bingar sempurna memenuhi halaman belakang istana Solephim. Menyamarkan semua suara yang Ane kenal dan menggantikannya dengan gerung-gerung ketakutan serta seruan-seruan berdarah.

Ane tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Di sini terlalu gelap, hingga rasanya lebih mencekam daripada kebutaan. Ia membuka mulut sekali lagi.

“Evangelo!”

Kali ini sebuah pekikan lirih berhasil lolos dari pita suaranya yang membeku. Namun, ia ragu calon suaminya akan mendengar itu.

“Loynith!”

Itu dia, suara Evangelo. Membuat napas Ane tersendat karena yang dipanggil oleh pria muda itu bukanlah namanya. Tetapi kelegaan sedikit menerangi hati Ane sebab itu berarti sang kakak ipar akan segera mendapat bantuan.

Di kejauhan secercah cahaya melesat dari siluet sebuah telapak kala pengelihatan Ane meredup. Cahaya itu membesar mengarah ke segala arah. Tetapi kegelapan masih tetap sama. Menyelimuti dan membutakan semuanya.

Samar-samar Ane mengenali tangan yang membentuk cahaya itu. Tangan Evangelo, yang kini bergerak ke arah lain.

Dari pendar cahaya itu, terlihat pula siluet redup dari satu dua orang pria dewasa berseragam baju kulit tebal. Mengacungkan pedang tinggi-tinggi hendak menyerang si pembuat cahaya. Lalu perkelahian terjadi antara Evangelo dan kedua orang itu sebelum cahaya dari tangannya sirna. Kembali membiarkan kegelapan membutakan mata Ane tanpa menulikan telinganya. menyiksa gadis itu teramat kejam dengan nada gerung paling mengerikan dari suara Evangelo yang mengerang.

Ane melangkah tertatih. Hati kecilnya sangat ingin berjalan menemui Evangelo. Memastikan bahwa pria muda itu baik-baik saja. Atau setidaknya masih hidup walau sudah di ujung nyawa. Tetapi bunga-bunga es mulai menjalari kakinya. Membekukan tangannya. Membuat seluruh tubuhnya terasa berat. Meski begitu kakinya tetap memaksa selop jinjit untuk menapak.

Namun, agaknya orang-orang tidak merestui ide Ane yang satu itu. Dari arah berlawanan, beberapa orang kalang kabut berlari tanpa wujud yang bisa ditangkap mata Ane. Menubruk tubuhnya sana-sini beberapa kali seolah-olah memaksa ia untuk mundur gara-gara tak kuasa melawan arus. Sepenuhnya kehilangan kendali atas diri sendiri.

To Make A Goddess Where stories live. Discover now