Pemanggil Sihir

80 18 5
                                    

Happy reading All ^^
.
.
.
.
.

Entah ekspresi apa yang coba Evangelo kesankan pada wajahnya setelah mereka keluar dari ruang penuh sihir tempat matahari palsu dibuat. Yang pasti, ekspresi itu bukan ekspresi menyenangkan. Bisa jadi raut penyesalan, atau setidaknya begitulah yang Ane kira meski ia tak ingin beranggapan seperti itu.

Namun, yang membuatnya berpikir demikian adalah perintah yang ia terima dari si calon suami untuk pergi dan duduk manis di kamarnya sementara pria muda itu mengurusi hal-hal lain yang perlu diurusi, terutama saat ratu mereka telah mati dan sang Putri Mahkota tengah kacau sebab suaminya menghilang.

Evangelo hanya ingin Ane bersikap sebagai seorang calon istri yang baik dengan melakukan satu hal: tidak mati. Tetapi, untuk melakukan itu ia harus mengurung diri sendiri di kamar, atau setidaknya di istana. Namun, bahkan mengurung diri di istana tidak akan menjamin nyawanya aman mengingat penyerangan semalam yang benar-benar tidak kenal tempat dan waktu. Apalagi masih ada beberapa jasad bergelimpangan di sekujur koridor dan halaman belakang yang mungkin akan membunuhnya pelan-pelan dari dalam.

Ane tidak mau.

Yang menghilang ini adalah Damian, kakak tirinya. Kakaknya. Dan meskipun ia enggan mengakui, sisa-sisa perasaan cinta yang ia miliki untuk Damian masih banyak membekas. Bahkan setelah melihat laki-laki itu menciumi wanita lain dan mengacaukan ranjang istrinya. Cinta lama, apalagi pertama, tidak mungkin hilang semudah itu. Kalaupun Ane tidak mencintainya, ia masih sangat menyayangi Damian sebagai seorang kakak.

Maka selopnya bergema saat menubruk bertubi-tubi lantai pualam yang kehilangan kesan ajaibnya akibat penyerangan. Ia berniat menuruti perkataan Evangelo untuk kembali ke kamar dan duduk dengan manis. Tetapi ia punya alasan lain, bukan semata-mata untuk membuat dirinya menjadi seorang calon istri yang tidak mati.

"Madge!" ia berseru setelah detik sebelumnya membuka pintu ruangan serta-merta.

Si gadis dayang berada di sana. Duduk di atas sofa dengan meja rendah di depan pendiangan. Tampak buru-buru mengangkat pencetak segel lilin hitam dan cepat-cepat menyembunyikan surat di tangan dengan menyelipkan kertas itu asal di saku gaunnya. Lekas berdiri kala mendapati Ane datang dengan raut penuh was-was dan suara yang terengah-engah.

"Ada yang kau perlukan, Nona?"

"Banyak sekali."

Ane sebenarnya sedikit penasaran dengan surat yang buru-buru Madge sembunyikan. Namun, agaknya situasi sekarang kurang mendukungnya untuk penasaran pada sesuatu yang kecil.

"Noxeham menculik kakak tiriku sebagai tawanan perang," ucapnya pilu.

"Tuan Damian yang malang ...." Sedikit nada iba turut menyertai penuturan duka yang Madge ucap. Sedikit. Mungkin kesan itu timbul karena setiap tutur kata si gadis dayang selalu serba lembut ditambah wajahnya yang kerap memandang sayu pada apa pun, atau mungkin itu karena kesiapannya untuk patuh terhadap para anggota keluarga kerajaan.

Tetapi Madge juga seorang manusia magis.

"Aku percaya kau mungkin tahu sesuatu tentang apa yang akan mereka lakukan pada Damian. Maksudku, pada para tawanan perang, kau tahu, kan?"

Wajah gadis itu menjadi penuh harap. Eros bilang, Madge adalah seseorang yang hobi menerewang, dan kali ini ia cukup berharap pada keahlian yang digadang-gadangkan ada pada si dayang. Sementara Madge terdiam beberapa saat. Mengibaskan rambutnya yang kecokelatan seakan itu dapat menghilangkan raut gugup yang entah sejak kapan terlukis di wajahnya.

"Hampir tidak ada kesempatan bagi seorang tawanan perang untuk mendapatkan sesuatu yang bagus, Nona. Menurutku, kemungkinan terbaiknya adalah Pangeran Noxeham akan membawanya ke penjara bawah tanah."

To Make A Goddess Where stories live. Discover now