Untuk Menjadi Istri yang Baik

119 32 10
                                    

Seperti yang sudah tertera pada berita di koran mingguan Solephim tiga hari lalu, pesta pernikahan putri tunggal Hierra akan diselenggarakan hari ini dan Putri Loynith akan segera dinobatkan menjadi putri mahkota setelah sumpah pernikahan mengikat...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seperti yang sudah tertera pada berita di koran mingguan Solephim tiga hari lalu, pesta pernikahan putri tunggal Hierra akan diselenggarakan hari ini dan Putri Loynith akan segera dinobatkan menjadi putri mahkota setelah sumpah pernikahan mengikat dirinya dan sang suami nanti.

Semua orang sibuk. Dengan porsi dan jenis kesibukan masing-masing tentunya. Para pelayan sibuk menata meja-meja bufet penuh makanan. Dari yang sangat manis hingga yang paling asin. Dayang-dayang sibuk menata para anggota kerajaan. Sementara Ane, sibuk duduk di depan cermin sementara kedua tangannya sibuk mengayam rambut. Membuat anyaman berbelit-belit yang nantinya akan digelung menjadi sanggul yang manis di rambutnya.

Meski begitu, pikiran Ane berada di lain tempat. Kata-kata mengenai ramalan yang terus ia dengar beberapa hari ini tidak pernah berhenti mengusik batin walau telah berusaha diusir jauh-jauh. Ditambah lagi Ane selalu teringat akan perintah aneh Eros tiap matanya bertemu dengan bunga anemon kering di atas meja.

"Madge," panggilnya pada gadis dayang yang tengah sibuk memasang perhiasan sana sini di tubuh nonanya.

"Ya, Nona?"

"Apa kau tahu sesuatu tentang ramalan yang mungkin pernah kau dengar dari Putri Loynith?"

Madge menghentikan jemari yang tadinya bergerak memasang anting perak di telinga Ane. Raut lembutnya begeming seperti tengah memikirkan sesuatu. Ane berharap apa pun yang si dayang pikirkan bisa memberinya pencerahan walau sedikit saja.

"Maafkan aku, Nona. Sepertinya tidak."

Sepertinya. Kata itu sebenarnya cukup untuk memberi harapan bahwa setidaknya ada sepersekian persen dari fakta yang Madge ketahui. Namun, Ane tidak berniat berharap banyak-banyak.

"Tapi," sambung si dayang. Membuat Ane menarik napas.

"Aku pernah mendengar dari beberapa pelayan dan pengawal kalau sebenarnya ada sebuah kamar yang hanya bisa dibuka jika ... mungkin, seseorang yang sudah diperkirakan, datang ke istana." Keraguan dalam nada bicara itu membuat Ane skeptis. Bukan terhadap apa yang Madge katakan, melainkan terhadap maksud dari perkataan itu. Terutama saat kata-kata diperkirakan diucap dengan intonasi yang lebih terdengar ragu daripada keraguan itu sendiri.

"Kau tahu di mana tepatnya kamar itu?" Namun, jika memang benar kamar yang si dayang bicarakan bisa menjawab pertanyaannya, maka setidaknya Ane harus tahu letaknya.

"Maaf, Nona. Yang Mulia Ratu tidak pernah memberi tahu siapa-siapa selain keluarga kerajaan mengenai kamar itu."

Pupus sudah harapan Ane, entah untuk yang keberapa kalinya. Untung saja Madge segera mengalihkan pikirannya dengan sensasi terjambak di beberapa helai rambut saat gadis dayang itu menggelung anyaman yang telah dibuat nonanya. Beberapa pin rambut dikaitkan dan rasanya seperti menusuk-nusuk kepala Ane dengan tebakan-tebakan asal terhadap ramalan yang terus terngiang.

Madge meraih bunga anemon kering dari atas meja. Menyelipkan tangkainya di antara ayaman berbelit yang telah tergelung. Bahkan tangkai itu terasa lebih tajam dari pin rambut saat Ane mengingat bahwa ia resmi menjadi boneka mainan Eros saat dirinya dengan benar-benar rela, mengenakan bunga itu tanpa sedikit saja berusaha membantah. Bunga anemon kering itu tersemat di sisi kiri rambutnya. Dan kekehan Eros yang penuh dengan olok-olokan pun terbawa saat Ane melihat dari cermin.

Berutung warna kekuningan dari bunga itu senada dengan gaunnya yang menyapu lantai saat Ane berdiri. Itu adalah gaun panjang berwarna putih redup dengan kelim bertumpuk yang ditaburi mutiara bercahaya di setiap jengkal roknya. Bagian atas gaun itu sedikit terbuka. Membingkai dada berdampingan dengan lengan renda berbentuk kelopak bunga. Bertabrakan dengan sarung tangan katun panjang yang membungkus lengan. Sekilas, Ane terlihat seperti si pengantin alih-alih seorang pengiring pengantin seperti yang sudah Loynith rencanakan.

Gadis itu berjalan beberapa langkah untuk pergi ke kamar pengantin sesungguhnya. Tempat aroma bunga melati segar menguar sejak pertama kali Ane membuka pintu. Seketika ia merasa salah telah menilai dirinya berpenampilan mirip pengantin. Sebab Loynith yang berdiri di dekat jendela itu lebih mirip pengantin, dan memang dialah pengantinnya.

Gaun sang Putri berpendar memantulkan serabut cahaya. Yang melapisi gaunnya bukan lagi mutiara, melainkan berlian putih berkilau. Panjang ekor di gaun putih terangnya memenuhi seluruh ruang hingga Ane harus meregangkan kaki lebar-lebar saat melangkah demi menghampiri si pengantin. Rambut merah pucat Loynith tergerai indah dengan sedikit kepangan dari dua sisi rambut. Dipertemukan di belakang kepala dengan hiasan melati putih yang terkesan ajaib. Ditutup dengan kerudung pengantin sepanjang kaki yang membawa aura magis memikat.

Ane tersenyum sesaat setelah tiba di samping calon kakak iparnya. Dalam hati memuji bagian kemban gaun Loynith yang memamerkan dada berkalung kristal mewah. Diapit dengan lengan balon yang mengembang tiga kali lipat lengan pemakainya sendiri.

"Kau terlihat menawan," celetuk Ane. Menyita perhatian sang Putri yang terus menatap ke balik jendela. Memperhatikan orang-orang yang kalang kabut mempersiapkan altar pernikahan di halaman istana.

"Kau yang terlihat sangat cantik."

"Tolong, jangan membuat semua ini tentang aku. Ini hari pernikahanmu. Kau adalah ratunya hari ini."

Loynith tersenyum mendengar itu. "Kalau aku ratu, maka kau adalah sang putri." Tipis terdengar getaran dalam tutur katanya. Menggerakkan Ane untuk sontak menyentuh bahu berlengan balon itu dengan raut khawatir.

"Kau baik-baik saja, Yang Mulia?"

"Tidak ... ya! Tentu saja. Lumayan baik. Tidak, tidak sama sekali." Raut berseri Loynith meredup. Alisnya terpaut dan gusar tampak jelas dari pipinya yang berlapis perona merah muda.

"Aku hanya sedikit gugup, mungkin. Bagaimana kalau aku tidak bisa menjadi istri yang baik? Atau bahkan gagal mengatakan sumpah di altar nanti."

Ane tersenyum kecut. Bertanya-tanya apa yang telah diperbuat Damian hingga membuat calon istrinya merasa cemas seperti sekarang. Tetapi sebagai seseorang yang patah hati karena pernikahan ini, Ane hanya bisa mengatakan satu hal, "Awal pernikahan pasti selalu dipenuhi cinta, Yang Mulia. Kau tidak perlu takut karena kakak tiriku hanya membutuhkan itu agar bisa melihatmu sebagai seorang istri yang baik."

Hati Ane teriris saat kata-kata itu keluar. Namun, setidaknya ia berkata jujur. Jelas hanya cinta yang diperlukan dalam sebuah pernikahan yang didasari pengaruh mantra. Sisanya tinggal mempertahankan cinta palsu itu atau berusaha menghadapinya dengan benar saat mantra itu pudar. Atau bahkan mencari cara agar efek mantra itu tidak akan pernah benar-benar menghilang.

"Kau yakin begitu?" tanya Loynith. Suaranya melirih saat sorot matanya kembali berbinar.

"Tentu saja. Damian itu sangat mencintaimu, Yang Mulia."

Sang Putri tersenyum meraih kedua bahu Ane. Merengkuh tubuh calon adik iparnya dengan lebih lembut. Mungkin khawatir pelukannya akan merusak dandanan mereka berdua. Saking lembutnya, Ane hampir tidak percaya pelukan semacam ini datang dari seseorang yang tempo waktu mengatakan sesuatu tentang warna mata ametisnya. Apalagi sesuatu itu agaknya bukan sesuatu yang bagus-bagus.

***
.
.
.
.

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
To Make A Goddess Where stories live. Discover now