Pendiangan

104 20 6
                                    

Happy reading All!
*
*
*

Mata Ane pedih. Dingin yang membakar meredupkan pandang. Nyaris membekukan bola mata yang kini digunakan untuk mencari. Sosok Eros berdiri tepat di depannya, dan itu membuat bola mata Ane menghangat. Akhirnya muncul sebuah harapan, meski rasa-rasanya ia tak sanggup menjawab apa yang ditanyakan Eros tadi. Bahkan Ane ragu sudah menedengar penyataan itu dengan benar.

"Eros ...."

Bibirnya tak kuasa bergerak. Beruntung satu bisikan lirih berhasil lolos dari lisannya. Ane tidak mengerti, juga sesungguhnya benar-benar terkejut atas kehadiran si ahli pelet yang sempat berkata tidak akan mengganggunya lagi malam ini. Tetapi ia sama sekali tidak peduli. Begitu sosok pemuda itu tertangkap mata, Ane merasa gangguan dari Eros itu rupanya sangat ia butuhkan.

Melihat postur Eros mengundang keinginan Ane untuk menghambur. Memeluk pemuda itu dan mencari kehangatan di sana. Semata-mata hendak melelehkan bunga-bunga es yang menyelimuti tubuh. Sebab Eros tampak sangat hangat dan bebas. Sorot biru di matanya terlihat seperti hamparan laut di tengah samudra yang terpantul sinar musim panas.

"Eros ...." Ia berbisik, sekali lagi dan kali ini lebih keras sedikit.

"Itu namaku," sahut Eros asal. Tubuhnya yang membungkuk kini berlutut menyelaraskan tubuh Ane yang meringkuk. Tangan Eros menyelip di antara lekuk lutut dan punggung Ane dengan sangat tergesa-gesa. Sekonyong-konyong mengangkat tubuh gadis itu tanpa wajah yang menyiratkan sedikit pun bahwa dia terbebani.

Pada akhirnya jantung Ane kembali berdetak dalam beku yang menyiksa. Melegakan ia dengan fakta bahwa rupanya maut tidak akan cepat-cepat menjemput malam ini. Tetapi barangkali detak itu terlalu cepat hingga Ane kesulitan bernapas.

"Aku tidak akan memaksamu berdiri, tapi setidaknya peganganlah yang erat." Eros memandangi sejenak gadis di dalam dekapannya.

"Apa?" ucap Ane gemetaran.

"Pegangan yang erat, Nona Patah Hati, dan jangan sampai kaulepas. Tidak lucu jika kau mati di hari pertunanganmu sendiri."

Ane merapatkan jas Evangelo yang masih terselampir di pundak. Eros benar, ia tidak boleh mati. Ia tidak akan mati.

Tawaran yang diberikan pemuda itu, atau mungkin perintah untuk berpegangan padanya sedikit banyak telah sangat menggoda Ane. Ia sedari tadi memang ingin memeluk Eros. Tetapi sebelum ia melakukan itu saja, tubuhnya telah terasa sepanas api, namun barangkali itu hanya efek hawa dingin yang membakar.

Ane mengalungkan kedua lengan pada bahu dan leher Eros kuat-kuat. Telinganya sempurna menempel pada pemuda yang mengggendongnya. Samar-samar terdengar detak dari sana. Ritmenya sungguh cepat dan yang paling penting,

Hangat.

Ia memejamkan mata. Berusaha menikmati itu sembari menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ane bisa merasakan bahwa tangan yang menopang punggungnya kini terlepas. Menyisakan tangan lain yang tetap menopang lutut Ane yang terkulai.  Disusul dengan suara besi pedang yang ditarik keluar. Lalu Eros mulai berlari secepat-cepatnya. Membuat guncangan pada tubuh Ane yang tengah sangat rapuh. Namun, cengkeramannya pada bahu Eros mengalahkan guncangan-guncangan itu.

Bunyi denting-denting pedang terdengar dengan teramat nyaring di setiap langkah yang Eros tapaki. Ane bisa merasakan bagaimana pemuda yang menjadi tempatnya menggantung hidup, kini menangkis apa-apa saja yang menghalangi jalan mereka hanya dengan satu tangan. Juga sebuah pedang seukuran lengan.

Kelopak matanya masih terasa sungguh berat saat kegelapan pun masih membutakan. Ane merasakan Eros melompat tinggi-tinggi. Menerbangkan rambut-rambut mereka di udara sebelum kembali mendarat dengan satu lagi tangkisan yang terayun di tangan kanan. Kali ini berhasil menumpahkan darah salah satu orang berseragam kulit.

To Make A Goddess Where stories live. Discover now