14. si kembar

5K 504 7
                                    

BAB 14. Si kembar

 

Pukul 22:30 Al baru pulang setelah menghabiskan waktunya dengan Kavi, tidak tau kenapa yang jelas Al merasa nyaman, bahkan tidak merasa terganggu saat bersama Kavi.

Pemuda itu sangat baik, ia melakukan dirinya seperti adiknya sendiri, entah itu hanya perkiraannya atau memang begitu adanya, yang jelas hari ini Al sedikit merasa senang dalam dirinya.

Saat sudah masuk ke dalam langkahnya terhenti karena Vano yang sudah berdiri tegak di hadapannya.

Al mengangkat satu alisnya bingung, sekarang gantian anaknya ya bukan Ayahnya? Pikirnya. Karena biasanya yang menghadang kepulangannya adalah Mahendra bukan Vano ataupun yang lainnya.

“Abis dari mana aja lo, jam segini baru pulang!” tanya Vano dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, tatapannya menajam memindai penampilan Al yang serba hitam, apakah selera anak itu juga berubah? Kenapa ia mengenakan pakaian dengan warna gelap? Biasanya ia akan mengenakan pakaian yang berwarna.

“Bukan urusan lo” jawab Al dingin, kembali berjalan melewati Vano.

Mendapat jawaban dingin dari Al, tangan Vano mengepal kuat, ia tidak suka entah karena apa, tapi ia benar-benar tidak suka dengan perubahan Al.

“Gw abang lo, gw berhak tau apa yang lo lakuin diluar sana!” kesalnya tak terima.

“Sejak kapan?” tanya Al tanpa berbalik, namun kakinya terhenti ketika Vano mengucapkan hal yang sangat ia benci.

Vano diam, lehernya merasa tercekik bibirnya kelu, seolah tak mampu menjawab pertanyaan Al.

Kini Al membalikkan tubuhnya, menatap dingin Vano yang terdiam dengan tangan yang masih terkepal, kepalanya menunduk seolah malu menatap dirinya.

“Sejak kapan gw tanya, sejak kapan gw jadi adik lo? Kenapa? Lo gak bisa jawab?”

“Apa apaan lo ngomong gitu, kita emang keluarga, lo dan gw lahir dari rahim yang sama, dan itu artinya lo adek gw!” Vano mengangkat kepalanya menatap Al penuh ambisi.

Al berjalan mendekati Vano dan berhenti tepat di depannya.

“Lo benar, gw sama lo lahir dari rahim yang sama, tapi semua itu gak ngebuktiin kalo lo abang gw, lo tau peran abang untuk adeknya itu gimana? Gw gak mau jelasin lebih rinci, lo pinter gunain otak lo yang selalu menjadi kebanggaan Ayah lo”

“Dan satu lagi, jangan berani sebut nama keluarga di depan gw, karena gw benci itu, semenjak kepergian bunda, gw udah gak punya keluarga, hanya bunda satu satunya keluarga gw!” Setelah mengucapkan itu, Al pergi dari sana menuju lantai 2, yaitu kamarnya, namun saat melewati tangga ia berpapasan dengan Vino.

“Al,,,” sebelum menyelesaikan perkataannya, Al sudah berlalu mengabaikannya.

Ia terdiam, menatap punggung sempit itu yang mulai menghilang di balik pintu, kini pandangannya berubah menatap Vano yang masih terdiam di bawah, masih tetap sama kedua tangannya mengepal kuat, bahkan Vino melihat bahwa kuku itu sudah mulai memutih.

Di sisi Kavi, ia sudah pulang ke mansion nya yang terletak di pinggir kota, mansion besar itu di kelilingi dengan pepohonan yang tinggi sehingga hanya orang tertentu yang mengetahui tempat itu.

Namun jangan salah, walaupun terletak di pinggir kota, tidak membuat kemewahan mansion itu memudar, justru terlihat lebih asri dengan pemandangan yang cukup memanjakan di setiap penglihatan.

Kini Kavi sudah bersandar rapih di kasur king size nya, kasur yang mampu menampung banyak orang di atasnya, namun hanya Kavi yang berada disana.

Matanya sedari tadi tidak lepas memandangi kalungnya sendiri, bukan hanya karena peninggalan sang ibu, namun yang membuat wajahnya lebih berseri adalah karena kalung itu memiliki pasangan yang sudah berada di tangan orang yang tepat.

Tanah Tandus || ENDWhere stories live. Discover now